Dokter Zulkifli S Ekomei. FT/IST)
“Satu satunya jalan bagi elit partai adalah menyadari kesalahannya, meminta maaf pada rakyat. Mumpung pintu tobat belum ditutup. Jika tidak, penguasa dhalim akan ditawur oleh rakyatnya sendiri.”
Oleh: Zulkifli S Ekomei

SAYA menulis catatan ini sesaat setelah gagal sidang mediasi, antara saya — selaku penggugat – dengan para elit partai politik (tergugat) tentang pemalsuan UUD 1945. Mediasi gagal karena tergugat justru meminta saya menarik gugatan. Ini terjadi pada sidang ke sekian kalinya, di PN Jakarta Pusat, Senin 2 Maret 2020.

Tanggal 28 Oktober 2019, saat bangsa ini memperingati hari Sumpah Pemuda, saya mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta, MENOLAK UUD’45 PALSU. Sampai sekarang, persidangan masih berjalan. Tergugat antara lain MPR dan turut tergugat adalah partai-partai politik yang ada di parlemen.

Selama persidangan, pihak tergugat dan turut tergugat yang mengirimkan kuasa hukumnya adalah MPR, DPR, Presiden, Menteri Dalam Negeri dan Partai Persatuan Pembangunan. Sementara partai-partai lain, seperti PDIP, Partai Golkar, PKB, Partai Gerindra, PKS, Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional tidak pernah hadir, tanpa pemberitahuan yang jelas.

Ketidakhadiran partai politik ini, tidak bisa dianggap sepele. Mengapa? Karena, dengan abainya mereka, semakin memperjelas posisinya sebagai penghianat. Pengkhianatan pertama, justru mereka lakukan pada partainya sendiri. Kecuali PAN dan PUDI, seluruh partai yang duduk di MPR saat itu, tidak pernah mewacanakan Perubahan UUD’45.

Pertanyaannya kemudian: Siapa yang memerintahkan mereka untuk melakukan ‘kudeta konstitusi’ terhadap UUD’45, atau yang mengobrak-abrik konstitusi negara ini? Jawabannya pasti kekuatan besar terutama dari segi pendanaan, alias uang.

Pengkhianatan berikutnya adalah mereka melakukan pada MPR, karena TAP MPR RI no. IV tentang GBHN yang berlaku untuk periode 1999-2004, jelas-jelas tidak memerintahkan untuk melakukan perubahan UUD’45. Akibatnya, kedaulatan rakyat dirampok oleh partai-partai.

Maka, rakyat tidak lagi bisa menentukan pemimpinnya. Semua ditentukan partai, sehingga lahirlah para penguasa, bukan pemimpin. Penguasa adalah person atau kelompok berkuasa yang menggenggam kekuasaan, tetapi, yang ada di dalam pikiran dan perilakunya, hanya merampok uang rakyat untuk melanggengkan kekuasaannya. Faktanya banyak penguasa yang masuk penjara karena kasus korupsi.

Perampokan uang rakyat ini dilanjutkan secara terang benderang dan telanjang. Ini tak terbendung lagi. Contoh kasus yang paling nyata adalah kasus Jiwasraya, Asabri dan dana haji. Sementara rakyat tetap diperas dengan banyaknya pungutan dan pajak yang diada-adakan. Ujung-ujungnya rakyat juga yang dipaksa membail-out kerugian.

Langkah menggugat UUD’45 Palsu lewat jalur hokum ini, karena masih menganggap Indonesia adalah negara hokum, bukan negara kekuasaan. Tetapi kalau upaya hukum ini diabaikan oleh para elit partai, sama halnya mereka menunjukkan arogansi kekuasaannya. Maka, jangan salahkan jika nanti rakyat menggunakan hukumnya sendiri.

Sekarang, tidak ada cara lain. Satu satunya jalan bagi para elit partai adalah menyadari kesalahannya, kemudian meminta maaf pada rakyat untuk menghindari kemarahan rakyat yang tak terbendung. Mumpung pintu tobat belum ditutup. Jika tidak, penguasa dhalim akan ditawur oleh rakyatnya sendiri.

Berjalan Bagaikan Zombie

Kondisi yang melilit bangsa ini, semakin kompleks. Ini bisa menjadi ‘bom waktu’ yang meluluh-lantakkan tatanan sosial. Bukan sekedar masalah stabilitas politik, tetapi sudah merobek jatung ekonomi, di mana amarah rakyat bisa datang secara tiba-tiba.

Maka, setelah meminta maaf, seyogyanya memohon pengampunan pada Tuhan, karena masing-masing pemimpin disumpah di bawah kitab sucinya. Ini sebagai akad perjanjian, bahwa, mereka akan melaksanakan amanah yang diberikan dengan sebaik-baiknya. Maka dalam setiap pengambilan sumpah jabatan, ada kata-kata demi Allah… Ingat itu!

Artinya, pengambilan sumpah ini dimaksudkan agar person pemangku kebijakan atau kekuasaan, berlaku amanah, tidak aniaya, tidak dholim dan tidak mengkhianati kepercayaan rakyat.

Permohonan ampun dilaksanakan agar langkah ke depan bisa lebih berkah, untuk kebaikan banyak orang dan bangsa. Dengan memohon ampunan, menunjukkan dengan sebenar-benar penerimaan kesalahan, karena manusia tempatnya salah, manusia makhluk yang dlaif. Jangan berlaku sombong, meniadakan Tuhan.

Hari ini bangsa kita menyaksikan, apa pun dikeruk dengan kemaruk, seolah-olah Tuhan tak menyaksikan. Apa pun diuntal (ditelan red) oleh kalian, embuh (apa itu) bantal, embuh aspal, embuh kadal, embuh suwal, embuh sandal, embuh kapal….semua bal geduwal.

Saking rakusnya kalian… seakan menepuk dada: Sopo siro sopo Ingsun. Berbuat Adigang Adigung Adiguna… mengingkari kebenaran. Mengambil alih wewenang Tuhan. Akhirnya tak ubahnya laksana hidup, tetapi, sesungguhnya mati, seperti mayat-mayat hidup yang berjalan bagaikan Zombie.

Itu yang disebut Tuhan sebagai “Summun, Bukmun wa Umyun” atau pekok, bisu dan buta. Ini adalah predikat yang pas buat orang-orang yang buta mata hatinya. Nauzubillahi mindzalik!

Semoga kita semua terjaga dari berlaku yang demikian. Salam Patriot Proklamasi! (end)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry