“Ini kisah yang tersisa dari Haul ke 61 “Sayyidil Walid” Alhabib Syaikhani bin Abubakar Yahya, pendiri Pondok Pesantren Jagasatru. Banyak hal perlu kita gali lebih dalam demi mendapatkan pelajaran.”

Oleh Dr H Syarif Thayib, SAg MSi

ASLI. Saya penasaran dengan Syeikh Krian yang makamnya lurus dengan kepala (nisan)nya “Sayyidil Walid” Alhabib Syaikhani bin Abubakar Yahya atau Habib Syeikh yang baru saja diperingati Haulnya ke-61 kemarin (23/2).

Menurut cucu Habib Syeikh kang Hasanain bin Muhammad bin Syaikhani bin Abubakar Yahya. Habib Syeikh sendiri yang berwasiat supaya dimakamkan persis lurus dengan kakinya Syeikh Krian.

Jujur saya baru tahu, maka sayapun mencari tahu dengan browsing dan bertanya ke beberapa pihak, siapakah Syeikh Krian dan apa karomah beliau, sampai pendiri pondok pesantren Jagasatru yang sangat dimuliakan oleh masyarakat Cirebon berwasiat demikian?

Berguru pada Kiai Guru

Syeikh Krian ternyata tunggal guru dengan KH Sholeh Darat (gurunya pendiri NU Hadaratussyeikh KH. Hasyim Asy’ari, juga gurunya pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan).

Syeikh Krian dan KH. Sholeh Darat muda mengaji pada seorang Waliyullah bernama KH. Asy’ari bin Ismail bin H. Abdurrahman bin Ibrahim, atau yang dikenal dengan panggilan “Kiai Guru” Kaliwungu Jawa Tengah (1746-1876).

Karomah Kiai Guru Asy’ari Kaliwungu

Suatu ketika, saat semua santri sedang terlelap tidur malam, Kiai Guru mengendap-ngendap memasuki kebon kelapa belakang rumahnya. Setelah menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada orang yang melihatnya, Kiai Guru memanggil kelapa yang akan dipetik buahnya itu. Dengan izin Allah, pohon kelapa itu pun melengkung mendekat ke arah beliau. Maka, beliaupun dengan mudah memetik beberapa buah kelapa yang berada didekatnya tanpa memanjat pohonnya.

Tak disangka, ada salah satu santri beliau yang bernama Anwaruddin Krian menyaksikan kejadian langka itu. Kiai Guru langsung memanggil Anwaruddin dan mengingatkannya untuk tidak menceritakan kejadian barusan kepada siapapun, kecuali kalau (dirinya) Kiai Guru sudah meninggal.

Sebagai santri, Anwaruddin yang kemudian dikenal dengan panggilan Syeikh Krian itu  sami’na wa atha’na (patuh tanpa syarat) pada dawuh Kiai Guru.

Namun entah mengapa, Syeikh Krian muda itu akhirnya disuruh pulang ke Cirebon oleh Kiai Guru. Syeikh Krian tentu sangat sedih dan memohon pada Kiai Guru untuk tetap diakuinya sebagai murid. Kiai Guru pun mengabulkan permintaan tersebut.

Singkat cerita, setelah boyongan pulang, Syeikh Krian dipercaya oleh masyarakat untuk mengajar agama dan ngimami jamaah shalat di Cirebon. Juga ada banyak santri yang belajar kepadanya.

Anehnya, di tengah kesibukannya mengajar dan imami shalat rawatib, Syeikh Krian tetap istiqamah mengaji ke Kiai Guru Asy’ari Kaliwungu. Padahal jarak Cirebon – Kaliwungu itu 190km.

Kalau zaman now perjalanan dengan mobil pribadi ditempuh sekitar 3 jam. Tetapi Syeikh Krian bisa mengimami Shalat Maghrib di Cirebon, kemudian ikut Ngaji ba’da Maghrib di Kaliwungu, dan kembali ke Cirebon pas Adzan Isya’, sehingga Isya’pun beliau bisa mengimami santri-santrinya. Hal itu berlangsung selama bertahun-tahun.

Selain itu, Syeikh Krian setiap pagi bisa menghadiri pengajian Kiai Guru Asy’ari di Kaliwungu, padahal shalat Shubuh dan Dhuhurnya selalu ngimami di Cirebon.

Karomah lain yang dimiliki oleh Syeikh Krian adalah diselamatkan oleh ikan Pari atau iwak PE (Jawa) atau iwak Cucut (Cirebon) ketika tenggelam di laut lepas.

Ceritanya begini, pada saat beliau berangkat haji, tiba-tiba kapal yang ditumpangi bersama Jemaah haji Indonesia lain pecah terkena hantaman ombak besar. Sontak semua penumpangnya yang mayoritas Jemaah haji tercebur ke laut. Subhanallah dengan kuasaNya, Syeikh Krian ditolong oleh ikan Pari hingga selamat terdampar ke daratan pulau Malaysia.

Selama tinggal beberapa saat di Malaysia, Syeikh Krian sempat mendirikan Musholla, dan konon peninggalan Musholla itu masih terawat sampai sekarang.

Salah seorang kerabat Elang (pangeran) Kesultanan Kanoman Cirebon menambahkan, bahwa kalau ada orang Indonesia ke Musholla dimaksud, apalagi dari Cirebon selalu mendapat penghormatan luar biasa dari warga setempat.

Kemudian, sebagai bentuk “terimakasih”, maka keturunan dari Syeikh Krian ini sampai sekarang pantang untuk makan ikan Pari. Pernah suatu ketika ada yang _mbalelo_ maksa makan ikan tersebut, beberapa saat kemudian sekujur tubuhnya terasa gatal. _Wallahu a’lam bisshawab minal awwali ilal akhiri_ (hanya Allah SWT yang tahu kebenaran kisah yang ditulis di atas dari awal hingga akhir).

Syeikh Krian atau sebagian kalangan menyebutnya dengan nama Ki Buyut Krian adalah salah satu _assabiquunal awwalun,_ pengasuh awal Pesantren Buntet Cirebon dan Mufti Thariqah Syatthariyah di Kasultanan Cirebon. Beliau merupakan cicit dari KH. Muqoyyim (pendiri pesantren Buntet).

Wajar, kalau kemudian Habib Syeikh Jagasatru dengan tawadhu’nya berwasiat untuk dimakamkan persis lurus dengan kakinya Syeikh Krian di Maqbarah (pesarean) Jabang Bayi Kesambi Kota Cirebon.

Saya, alfaqir merasa berdosa kalau selama ini membelakangi Syeikh Krian di setiap ziarah ke keluarga besar Jagasatru disana. Lana wa lahum Alfatihah.

Dr Syarif Thayib, SAg MSi adalah Santri Pesantren Jagasatru Cirebon, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry