Prof Dr Mohammad Ali Aziz bersama Istri dalam sebuah acara. (FT/dok)

“Suara wanita yang tampilannya amat sederhana dengan sandal jepit merah itu, ‘wejangannya’ amat mantap dan merasuk hati saya dan istri. Sebab, ia berbicara dari hati, bukan dari mulut yang jangkauannya hanya sampai di telinga.”

Oleh Moh Ali Aziz*

USAI cek jantung, sambil menunggu kamar untuk opname, saya benar-benar tercerahkan. Bahkan terasa dijendul (ditegur) “penceramah” berbaju daster hijau di kamar yang berselahan dengan kamar saya di UGD.

Ibu itu berbicara dengan bahasa Jawa melalui telpon dengan seseorang, yang kemungkinan besar saudara kandungnya. Suaranya meledak-ledak, sampai pasien di kamar sebelah kirinya, terlihat tidak nyaman.

Tapi, saya dan istri justru menikmatinya, bahkan terhibur. “Mas, ini ceramah nisfu Sya’ban,” celetuk istri sambil menahan tawa.

Jika Anda ingin benar-benar terhibur dan ikut dijendul, please dengarkan tausiyah ibu setengah baya itu.

“Ning, jangan mengeluh terus. Belajarlah pada Ibu X yang membesarkan 12 anaknya bersama suami yang hanya bekerja sebagai kuli bangunan,” sarannya.

Ia, katanya, tidak pernah sambat (mengeluh) seperti sampean. “Ning deloken aku iki, luwih melarat ketimbang sampean (lihatlah aku yang jauh lebih miskin dari engkau). Suamiku libur, tidak ada pekerjaan, dua anakku sedang sakit. Aku juga sekarang sedang menunggu ibu di RS,” jelasnya.

Selesai? Belum. “Tapi, aku tidak mengeluh. Saya jalani saja. Gusti Allah ora turu, Ning (Allah SWT tidak tidur dan berpangku tangan). Hidup itu ya begini ini. Jangan sekali-kali berburuk sangka kepada Gusti Allah. Itu dosa, dosa, dosa, Ning,” tuturnya.

***

Suara wanita yang tampilannya amat sederhana dengan sandal jepit merah itu, ‘wejangannya’ amat mantap dan merasuk hati saya dan istri. Sebab, ia berbicara dari hati, bukan dari mulut yang jangkauannya hanya sampai di telinga.

Wanita yang diajak bicara itu, tampak tidak diam, tapi justru berteriak, “Enak saja kamu bicara. Kamu belum pernah merasakan yang saya alami,” barangkali kalimat yang keluar.

“Ya Ning, sepurane,” jawabnya singkat.

Lalu ia melanjutkan tausiyahnya: “Hidup itu memang sengsara pada saat anak-anak kita masih kecil. Tapi, yakinlah nanti jika mereka sudah besar dan bekerja, siapa yang kebanjiran rizki, jika bukan orang tuanya? Enak Ning, enak. Nanti kita kebanjiran pahala, kebanjiran duit pemberian anak, kebanjiran keharuman nama. Pokoknya enak Ning, jika Ikhlas dan tidak mengeluh. Hidup juga harus sabar meskipun kadang diolok-olok oleh saudara kandung sendiri. Sabar, sabar Ning,” sarannya lagi.

Wis yo sak mene disek. Aku diceluk suster Ya sSudah, kita putus bicara sebentar, sebab dipanggil perawat,” kata ibu itu menutup tausiyahnya.

Yang mendengar, tentu, terenyuh, termasuk istri saya. “Mas, kita harus belajar kepada ibu itu. Luar biasa, Allah mencerdaskan kita dengan mengirimkan penceramah yang dahsyat,” kata istri saya.

“Ibu ini jika digandengkan dengan Gus Iqdam, tambah jos,” kata saya dengan tawa lebar, sambil meluruskan pipa infus yang sedang tertindih lengan saya. (*)

RSUA, Surabaya, Kamis, 22-2-2024

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry