Dr M Sholeh (kiri) dan Syafiq Riza Basalamah. (FT/IST)

SURABAYA | duta.co – Video pendek pembubaran pengajian Ustaz Syafiq Riza Basalamah di Masjid Assalam Purimas, Gunung Anyar, Kota Surabaya, Kamis malam, 22 Februari 2024 yang berakhir ricuh, masih masih berjalan di sejumlah media sosial.

Maklum, yang menolak kajian itu tidak sembarangan dan langganan, anggota Gerakan Pemuda atau GP Ansor dan Barisan Ansor Serbaguna (Banser) Nahdlatul Ulama (NU). Lalu, mengapa pengajian itu mereka tolak?

Berikut penjelasan Doktor M Sholeh Basyari, Direktur Ekskutif CSIIS (Center for Strategic on Islamic and International Studies) yang juga dosen di sejumlah kampus NU kepada duta.co, Sabtu (24/2/24).

“Isu Wahabi di Indonesia, itu (sesungguhnya) sudah lamna, sejak zaman Mbah Hasyim (KH Hasyim Asya’ri pendiri NU). Dan, mereka secara hujjah selalu kalah, walau menggunakan model Basalamah dan dilakukan atas nama pemurnian aqidah,” tegas Doktor M Sholeh.

Tapi, tegasnya, model pembubaran yang dilakukan teman-teman GP Ansor dan Banser, mestinya juga tidak boleh terjadi. “Berkaca pada sejumlah kasus misalnya, negara perlu turun tangan atas nama tertib sipil dan tertib beragama. Selebihnya, sudah saatnya negara dalam hal ini kementerian agama mendesign roadmap keberagaman yang tidak menjurus perpecahan. Harus ada “Islam madzhab negara”.”

Basalamah cs menyerang keyakinan warga nahdliyyin? “Ya! Itulah yang membuat GP-Ansor dan Banser meradang. Tidak sekali ini saja kajian keislaman versi salafi Wahabi dibubarkan Banser. Banser menyerang sebab merasa keyakinan dan tradisi keislaman mayoritas warga NU, diserang oleh atas nama kajian keislaman ala Basalamah cs. Ini pangkalnya,” tegas dosen di sejumlah kampus NU ini.

Pengamat politik Islam ini memberikan jalan keluar. “Sejumlah langkah dan kebijakan urgent untuk segera diambil Kemenag guna meminimalisir dan kalau perlu menghilangkan kejadian serupa. Pertama, belajar dari konflik antaraliran Islam di Pakistan, Iran, Syiria dan bahkan Saudi Arabia. Maka, Indonesia menghajatkan warna Islam negara sebagai representasi mayoritas pemeluk Islam,” terangnya.

Kedua, lanjutnya, negara melindungi minoritas bukan tanpa reserve. Minoritas wajib dilindungi manakala kajian-kajiannya tidak memprovokasi mayoritas. Ketiga, klaim kebenaran (truth claim), tidak dibenarkan didesakkan apalagi dipaksakan atas nama kemurnian dan kesucian agama sekalipun, di ruang terbuka. Tidak boleh, membid’ahkan orang yang kemudian menuduhnya kafir, sesat, neraka.

“Keempat, kajian-kajian keislaman yang materinya menyalahkan, tidak menghormati kelompok lain, ada baiknya dikategorikan sebagai “ajaran terlarang”. Tema-tema bid’ah, serangan atas tahlil, nisfu sya’ban dan tradisi ziarah kubur, tidak bisa serta merta dijadikan bahan dan obyek pemurnian. Kelima, provokasi salafi Wahabi  atas tradisi keislaman NU, tidak dibenarkan atas nama Hak Asasi Manusia (ham), moderasi atau bahkan pemurnian aqidah,” urainya.

Bukankah semua itu berbasis ke-ilmuan, pemahaman? “Ya, betul. Tetapi kalau sudah mengancam kerukunan umat beragama, keutuhan NKRI, maka, kejian-kajian provokasi itu harus ‘ditertibkan’. Negara hadir, jangan sipil vesus sipil, berbahaya,” tegasnya.

Selanjutnya, urai Dr M Sholeh, tradisi keislaman NU dibangun di atas pondasi keilmuan yang kokoh. Bangunan keilmuan yang dihadirkan sebagai dasar keislaman warga NU, adalah tradisi yang sambung menyambung (sanad musalsal) hingga Rasullullah. Dan, perlu diingat, umat Islam Indonesia memiliki puluhan Ma’had Aly, pesantren tingkat tinggi yang melahirkan ribuan kader-kader Islam handal. Kalau mau adu argumentasi, silakan gelar bahtsul masail, jangan masjid dijadikan tempat menyerang umat Islam lain.

“Kiai-kiai meneguhkan keilmuan NU yang mewujud menjadi tradisi yang khas, berdasarkan literatur tafsir, fiqih, Kalam (teologi), dengan standar etis serta ilmiah, Alquran-hadits. Basalamah cs dengan salafi Wahabi-nya, bukan menghadirkan pemurnian sunah, tetapi dia lebih banyak bicara tentang, perbedaan tafsir,” terangnya.

Nah, dengan begitu, mestinya tidak mengklaim paling benar, apalagi sampai menuduh yang lain dlolalah (sesat). “Apapun hebatnya tafsir, itu adalah produk manusia. Sebagai produk manusia, tafsir salafi Wahabi, tidak bisa dipandang mutlak sekelas teks asli (Alquran dan Hadits). Apalagi kalau kemudian tafsir ini digunakan untuk menyerang tafsir orang lain. Di sini masalahnya. Jadi jelas, mengapa kajian Islam atas nama pemurnian aqidah mendapat perlawanan,” pungkasnya. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry