Ketarangan foto bisnis.com

“Percayakanlah kepada lembaga hukum untuk penyelesaian sengketa pemilu. Gunakanlah jalan yang telah ada. Kata pepatah Arab: “tarju al-najat wa lam tasluk masalikaha, inna al-safinat la tajri ‘ala al-yabas” (Ingin selamat tapi tidak berjalan pada jalannya. Ketahuilah sesungguhnya kapal tidak berjalan di atas daratan).”

Oleh Achmad Murtafi Haris

PERHELATAN pemilu sudah berlalu. Hasil quick count sudah keluar dengan kemenangan telak Prabowo-Gibran sebagai pemilihan presiden dan wakil presiden Republik Indonesia. Tuduhan kecurangan bermunculan dari kubu yang kalah terutama kubu Anies-Muhaimin. Ganjar selaku paslon nomor urut 3 tidak menyangka suaranya sekecil itu (17%).

Sementara Gibran dalam sambutan kemenangannya juga tidak menyangka suaranya sebanyak itu. Dia dan kebanyakan orang mengira suara terbanyak yang paslon 2 peroleh adalah dari kaum muda yang secara emosional dekat dengan Griban yang berusia 36 tahun.

Pendukung paslon 1 yakin, bahwa, ada kecurangan dalam pemilu kali ini. Din Syamsuddin mewakili pendukungnya dengan ditemani para punggawa mengeluarkan pernyataan sikap menolak hasil pemilu yang secara sistemik menggandakan suara  Prabowo-Gibran dan menurunkan suara yang lain.

Emha Ainun Najib (Cak Nun) lebih garang lagi menyebut perhelatan ini semua telah ada dalam genggaman Jokowi yang mampu mengatur hasil pemilu dari hulu sampai hilir. Untuk kedua kalinya Emha menyebut Jokowi dengan Firaun yang mampu mengendalikan segalanya di bawah kekuasaannya.

Mahfud MD yang pernah berkata saat pelantikan komisioner pemilu bahwa tuduhan kecurangan selalu muncul dari paslon yang kalah, berkata bahwa apa yang dia sampaikan bukan berarti tuduhan curang itu sekedar luapan emosi tanpa kebenaran. Tapi bisa jadi benar dan terbukti di Madura saat Pilgub Jatim, hasil perolehan suara pemenang dibatalkan dan diadakan coblosan ulang.

Artinya bahwa untuk kali ini bisa jadi tuduhan curang itu benar dan untuk itu harus diproses. Lebih tegas Mahfud mengatakan bahwa kalau terbukti secara meyakinkan bahwa kecurangan dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan massif, paslon tersebut (Prabowo-Gibran) bisa didiskualifikasi. Usulan hak angket pun digulirkan agar tuduhan curang itu dibahas di DPR dan bukan sekedar wacana publik yang panas di medsos.

Apakah paslon 2 yang mendapat perolehan tertinggi berdasarkan hitung cepat tinggal diam dengan berbagai tuduhan atas dirinya. Tentu tidak. Dia punya hak untuk membela diri.  Jokowi yang dituduh ada di balik kemenangan Gibran dengan memanfaatkan posisinya menanggapinya dengan berkata bahwa semua ada mekanismenya jadi tidak perlu berteriak-teriak di medsos. Kalau ada kecurangan, silahkan laporkan ke Bawaslu dengan bukti yang cukup dan ke Mahkamah Konstitusi yang berwenang mengadili sengketa pemilu.

Sementara dari pihak paslon 01, dibalas bahwa percuma menempuh jalur hukum sebab semuanya sudah dikuasai oleh Jokowi. Ujung-ujungnya tetap saja paslon 02 yang menang. Keberadaan Anwar Usman, adik ipar Jokowi, di Mahkamah Konstitusi cukup untuk menjadi pengaman kepentingan Jokowi dalam memperjuangkan anak kandungnya untuk memenangkan pilpres. Untuk itu MK sudah tidak bisa dipercaya lagi seru pendukung Anies-Muhaimin, paslon 1 yang kalah.

Tidak Mudah

Memilih pemimpin melalui pemilu, memang, tidak mudah. Persaingan antarcalon pemimpin menuntut seperangkat aturan yang bisa menjamin perhelatan berlangsung secara jujur dan adil. Pembuktian material harus dilalui oleh siapa pun yang menuntut keadilan. Tanpa bukti material, maka tuduhan  lantang hanya dianggap angin lalu.

Bagi tokoh pendukung Anies-Muhaimin yang keras menyuarakan kecurangan pemilu harus menempuh semua jalan termasuk jalan hukum. Penggiringan hak angket sebagai jalan politik telah didengungkan namun apakah ia akan berlanjut dan benar berproses di DPR, kita lihat saja nanti. Kalau jalan penguasaan opini, sudah dilalui dan dominan.

Tapi apakah cukup?  Jangan-jangan karena keasyikan bermain di ranah opini publik lewat medsos melupakan upaya hukum yang menjadi solusi formal yang berkekuatan hukum mengikat (legally binding). Keberadaan Anwar Usman bukanlah penentu segalanya di Mahkamah Konstitusi. Dia hanyalah 1 dari 9 hakim yang tidak bisa disetir begitu saja oleh Anwar jika Anwar berkepentingan berpihak kepada paslon 2 sebagai tergugat kecurangan.

Tentunya jika Anwar Usman seorang negarawan yang mementingkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan kelompoknya, lebih baik mengikuti keputusan Majelis Kehormatan MK yang mencopotnya dari posisi ketua dan melarangnya terlibat dalam pengadilan kasus pemilu.

Keputusan MKMK sudah tepat untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap MK. Kalau memang pasangan Probowo-Gibran menang secara jujur, mengapa pula membutuhkan Anwar Usman untuk menjaga kemenangan paslon 2. Keberadaan hakim yang berhubungan keluarga dengan pihak yang berperkara akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap keputusan MK. Untuk itu sebaiknya Anwar reses (dulu) sampai perhelatan pilpres selesai.

Proses hukum adalah proses yang dibuat untuk menyelesaikan sengketa apa pun termasuk hasil pemilu. Untuk itu ia harus ditempuh oleh pendukung paslon 1 yang keras menyuarakan kecurangan paslon 2 dan Jokowi yang dituduh ada di balik itu. Jika proses hukum tidak ditempuh dan melulu mengandalkan penguasaan opini medsos, maka ia hanya menghasilkan hirup pikuk dan kebencian tanpa menyelesaikan masalah. Bisa-bisa malah menimbulkan simpati masyarakat terhadap lawan yang dituduh curang. Atau setidaknya membuat pendukung lawan menjadi gerah dan balik melawan dengan serangan serupa atau lebih.

Percayakanlah kepada lembaga hukum untuk penyelesaian sengketa pemilu. Gunakanlah jalan yang telah ada. Kata pepatah Arab: “tarju al-najat wa lam tasluk masalikaha, inna al-safinat la tajri ‘ala al-yabas” (Ingin selamat tapi tidak berjalan pada jalannya. Ketahuilah sesungguhnya kapal tidak berjalan di atas daratan). (*)

*Achmad Murtafi Haris adalah dosen UIN Sunan Ampel Surabaya

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry