Dr Yusuf Amrozi, MMT (FT/IST)

“Kita tunggu perkembangan berikutnya. Karena secara kelembagaan, ada banyak “meja” yang harus dilalui untuk memastikan kapasitas PTKIN tersebut cukup feasable .“

Oleh Yusuf Amrozi*

MENGAPA harus Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum? Pertanyaan ini bukannya tidak bisa dijawab, atau berat untuk diimplementasikan, tetapi perlu resoaning tegas, baik dari sisi akademik maupun urgensinya secara manajerial.

Opini ini hendak mengemukakan beberapa argumen tentang relevansi keberadaan perguruan tinggi dengan status kelembagaan PTN-BH, serta tantangan dan konsekuensi atas konsep PTN-BH tersebut.

PTN-BH adalah perguruan tinggi negeri yang memiliki status badan hukum yang dengan kewenangan yang diberikan memiliki otonomi dalam mengatur kegiatan akademik, administrasi, dan keuangan.

Perkembangan perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN-BH) di Indonesia telah mengalami peningkatan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu nilai positif atau keuntungannya dari status PTN-BH tersebut memiliki kebebasan dalam mengelola sumber daya dan anggaran.

Hal tersebut memungkinkan Perguruan Tinggi mengembangkan program dan fasilitas secara lebih baik, meningkatkan kualitas pengajaran dan penelitian, dan memberikan kemudahan akses pada mahasiswa. Perkembangan PTN-BH juga tercermin dari peningkatan jumlah perguruan tinggi yang memperoleh status badan hukum.

Merujuk pada Wikipedia, sejauh ini telah ada 22 perguruan tinggi yang telah beralih status menjadi PTN BH, yaitu: UI, ITB, IPB, Undip, UGM, Unpad, ITS, Unair, Unhas, USU, UPI, UNS, Unand, UB, UM, UNP, UNY, Unnes, Unesa, Unsyiah, Universitas Terbuka (UT), dan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII).

Konsep PTN-BH pada awalnya merupakan adalah semangat otonomi dalam tatakelola. Dengan demikian perguruan tinggi juga diharapkan untuk menjalankan visi dan misi nasional dalam pengembangan pendidikan dan penelitian.

PTN-BH diharapkan dapat berkontribusi dalam menghasilkan lulusan yang berkualitas dan mampu berkompetisi di tingkat internasional, serta melakukan penelitian yang berguna bagi masyarakat dan pembangunan nasional. Namun demikian, perkembangan PTN-BH juga dihadapkan dengan beberapa tantangan. Tantangan utama adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang ada, baik dosen maupun tenaga kependidikan.

Selain itu, PTN- BH juga perlu terus berupaya meningkatkan infrastruktur dan fasilitas pendidikan agar dapat memenuhi kebutuhan mahasiswa dan menciptakan suasana belajar yang kondusif.

Lebih lanjut berdasar diskusi dengan beberapa sejawat, beberapa tantangan yang dihadapi oleh Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum yang juga menjadi catatan krusial antara lain:  Pertama, Penurunan dana pendidikan: PTN-BH mengalami penurunan ‘jatah’ alokasi dana dari pemerintah (karena statusnya tersebut) sehingga sulit untuk memenuhi kebutuhan operasional, serta tuntutan peningkatan dan pengembangan kualitas pendidikan.

Kedua, Mahalnya uang kuliah tunggal (UKT): Semakin tingginya biaya UKT dan persaingan antara perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, menyebabkan camaba yang rasional mempertimbangkan opsi pilihan lain, karena biaya yang tidak murah. Meskipun disejumlah PTN-BH justru menggenjot pagu PMB-nya. Hal ini bisa disebabkan oleh biaya pendidikan yang lebih mahal dibandingkan dengan PTN yang tidak berbadan hukum.

Ketiga, Peningkatan kualitas pendidikan: PTN BH perlu terus meningkatkan kualitas pendidikan mereka agar dapat bersaing dengan perguruan tinggi lainnya, terlebih lagi tuntutan menuju world class university. PTN-BH juga dituntut mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas dan siap menghadapi tantangan dan kebutuhan dunia kerja.

Selain itu juga ada faktor-faktor lain yang dipandang sebagai tantangan, Maka, keempat, adalah  Manajemen keuangan yang efektif: PTN-BH harus memiliki manajemen keuangan yang efektif dan transparan agar dapat menghadapi berbagai tantangan finansial. PTN-BH perlu memperhatikan pengelolaan keuangan, termasuk dalam memperoleh sumber pendanaan lainnya seperti kerja sama dengan pihak swasta, peningkatan pendapatan dari penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, serta pemanfaatan dana hibah atau kerjasama dengan lembaga internasional.

Kelima, Penyesuaian kurikulum: PTN-BH perlu terus melakukan penyesuaian terhadap kurikulum mereka agar relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kebutuhan dunia kerja.

Keenam, Penggunaan teknologi informasi: PTN-BH perlu memanfaatkan teknologi informasi dalam proses pembelajaran serta pengelolaan administrasi. Penggunaan teknologi informasi dapat membantu mempercepat akses informasi, mengoptimalkan pembelajaran jarak jauh, dan meningkatkan efisiensi operasional.

Ketujuh, Peningkatan manajemen risiko: PTN-BH perlu meningkatkan manajemen risiko untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya masalah seperti bencana alam, kekurangan dana, atau adanya kejadian tak terduga lainnya. PTN-BH harus mampu menyusun rencana pengelolaan risiko yang baik agar dapat bertahan dan tetap berjalan optimal meskipun menghadapi situasi sulit.

Dalam satu kesempatan penulis pernah mendengar ungkapan dari salah satu rektor PTN terkemuka di Jawa Timur, bahwa “Kami sebagai rektor tidak hanya diminta untuk menghasilkan lulusan yang terbaik dengan segala luaran product knowlegde-nya, tetapi kami juga diminta pandai dan cekatan untuk mencari duit untuk membiayai intitusi perguruan tinggi kami”, paparnya dalam suatu talkshow di stasiun radio di Surabaya.

Dengan demikian beban berat sang rektor tersebut mau tidak mau juga akan “terdistribusikan” pada civitas akademikanya (dosen, tenaga kependidikan serta para mahasiswa). Oleh sebab itu tidak ada cara lain yang barangkali dapat mengatasi tantangan itu adalah bahwa PTN-BH perlu melibatkan semua pihak terkait seperti pemerintah, stakeholder, dan masyarakat dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah yang dihadapi.

Selain itu, PTN-BH juga perlu terus melakukan evaluasi dan inovasi untuk memperbaiki sistem dan kualitas pendidikan yang mereka berikan. Dengan demikian walaupun tentu format PTN-BH ini mungkin ada sejumlah internal stakeholder di perguruan tinggi yang tidak sependapat, bahwa secara umum perguruan tinggi memiliki peluang dalam hal pengembangan kelembagaan dalam otonomi tatakelola perguruan tinggi.

Sebagai dosen di PTKIN, kami pernah berdiskusi dengan rekan sejawat di PTKIN, tentang ketidaksetujuannya UIN menjadi PTKIN-BH (PTN-BH di PTKIN), namun beliau sungkan dengan rektornya untuk tidak mengiyakan rencana pencapaian PTKIN-BH. Pertanyaannya adalah bagaimana PTN-BH di lingkungan perguruan tinggi keagamaan, utamanya PTKIN?

Selain UIII yang telah beralih status menjadi PTKIN-BH (sebutan PTN-BH dilingkungan PTKIN), berdasarkan informasi yang berkembang di Kementerian Agama, beberapa UIN telah didorong dan mempersiapkan diri untuk menuju PTKIN-BH, diantaranya adalah: UIN Jakarta, UIN Bandung, UIN Semarang, UIN Yogjakarta, UIN Surabaya, UIN Malang, dan UIN Makassar.

Kita tunggu perkembangan berikutnya. Karena secara kelembagaan, ada banyak “meja” yang harus dilalui untuk memastikan kapasitas PTKIN tersebut cukup feasable. Sejumlah kementerian lain akan ikut menguji, seperti Kementerian PAN-RB, Kemenkeu, hingga Kementerian Sekretariat Negara hingga SK alih status tersebut di teken oleh Presiden. (*)

*Dr Yusuf Amrozi, MMT adalah Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya, sedang meneliti persiapan UIN menuju PTKIN-BH.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry