Syafruddin Arsyad Temenggung (ist)

JAKARTA | duta.co – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Kasus ini merugikan negara Rp 138,4 triliun.

“Maka ditetapkan, sudah terpenuhi dua alat bukti, dan KPK sudah melakukan gelar perkara atau ekspose. Pimpinan dan penyidik menyepakati meningkatkan perkara ke penyidikan. KPK menemukan bukti permulaan yang diduga tindak pidana korupsi suap, yaitu tersangka SAT (Syafruddin Arsyad Temenggung),” ujar Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa (25/4).

KPK menyangka Syafruddin dengan Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Syafruddin diketahui menjabat Ketua BPPN sejak 2002.

BLBI adalah skema pinjaman yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat krisis moneter 1998. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. Pada Desember 1998, BI menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank.

Kejaksaan Agung saat itu, MA Rachman, menerbitkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) terhadap 10 tersangka kasus BLBI pada 2004. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan Rp 138,4 triliun dari Rp 147,7 triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional dinyatakan merugikan keuangan negara. Penggunaan dana-dana tersebut kurang jelas.

Basaria Panjaitan menjelaskan, kasus tersebut berawal ketika Syafruddin menjabat ketua BPPN pada April 2002. Kemudian pada Mei 2002, Syafruddin menyetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) atas proses likuidasi terhadap kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh obligor kepada BPPN sebesar Rp 4,8 triliun.

“Hasil restrukturisasi adalah Rp 1,1 triliun dinilai sustainable dan ditagihkan dan Rp 3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi sehingga seharusnya masih ada kewajiban obligor Rp 3,7 triliun yang belum ditagihkan,” jelas Basaria.

Namun, lanjut Basaria, pada April 2004 Syafruddin malah mengeluarkan surat pemenuhan kewajiban atau yang disebut SKL (surat keterangan lunas) terhadap Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang memiliki kewajiban kepada BPPN. “Padahal seharusnya waktu itu ada kewajiban Sjamsul yang saya sebutkan tadi,” kata Basaria. hud, net

 

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry