RESES : Anggota Komisi IX DPR RI, M Yahya Zaini didampingi Direktur RSUD Wahidin Sudirohuso, Sugeng Mulyadi berdialog dengan pasien. Kunjungan politisi Golkar ini ke RSUD dr Wahidin Sudirohuso dalam rangka reses, Kamis (9/1/2020).  Duta.co/yusuf

MOJOKERTO – Anggota Komisi IX DPR RI dari Dapil VIII, M Yahya Zaini mengunjungi RSUD dr Wahidin Sudirohusodo Kota Mojokerto, Kamis (9/1/2020). Kedatangan politisi Partai Golkar dalam rangka reses ini disambut Wakil Wali Kota Mojokerto, M Rizal Zakaria, dan Direktur RSUD dr Wahidin Sudirohuso, Sugeng Mulyadi bersama jajarannya.

Kesempatan tersebut digunakan Rizal untuk wadul soal BPJS Kesehatan yang lebih memberatkan beban keuangan daerah ketimbang total coverage, program kesehatan gratis milik Pemkot Mojokerto. “Dengan kenaikan iuran BPJS yang sekarang ini Penerima Bantuan Iuran Daerah  (PBID) yang ditanggung Pemkot Mojokerto sangat besar, selisihnya separuh ketimbang total coverage,” ungkapnya.

Untuk diketahui, sebelum ada program BPJS dari pemerintah pusat, Pemkot Mojokerto terlebih dahulu telah memili program kesehatan gratis yang dikenal dengan total coverage. Dengan program ini seluruh masyarakat Kota Mojokerto mendapatkan pelayanan pengobatan gratis sampai sembuh, tidak peduli kaya atau miskin. Dengan hanya membawa KTP/KK ke tempat pelayanan kesehatan maka pasti mendapat pelayanan kesehatan gratis.

Namum seiring dengan adanya program BPJS, pemerintah pusat mengharuskan program total coverage dialihkan ke BPJS. Dengan dialihkan ke BPJS maka Pemkot Mojokerto setiap bulan harus membayar PBID BPJS, yakni seluruh masyarakat Kota Mojokerto 0 yang tidak memiliki jaminan kesehatan,tidak peduli kaya atau miskin.

Akibatnya, anggaran yang harus dikeluarkan lebih besar ketimbang total coverage. Sebab, untuk total coverage, Pemkot Mojokerto hanya mengeluarkan anggaran untuk membayar klaim rumah sakit atau puskesmas. Sedang untuk BPID, Pemkot harus membayar bulanan secara rutin, baik sakit maupun tidak.

Tidak hanya Rizal,  Sugeng pun mengeluhkan sejumlah layanan rumah saki yang tidak bisa diklaimkan ke BPJS. Contohnya, seusai aturan BPJS, kunjungan pasien baru hanya diperbolehkan dua kali dalam sebulan. Padahal setelah tiga atau empat kali kunjungan baru diagnosa tapi yang dibayar BPJS hanya dua kunjungan.

“Kalauseperti itu kan rugi rumah saki. Demikian juga untuk Nginatal Intensif Care Unit (NICU) untuk bayi, kita selalu rugi karena klaim dari BPJS rendah,” ungkapnya.

Tidak hanya itu, aturan BPJS yang mengharuskan rujukan berjenjang mengakibatkan pasien RSUD dr Wahidin Sudirohusodo turun drastis.

“RSUD dr Wahidin Sudirohusodo sudah tipe B, sedangkan rumah sakit swasta yang jumlahnya banyak hanya tipe C. Akibatnya pasien banyak di swasta, apalagi dokte rumah sakit swasta juga dari kita,” katanya.

Menanggapi keluhan tersebut, Yahya Zaini mengatakan, dirinya telah banyak menerima masukan baik dari Wakil Wali Kota maupun dari Direktur. Misalnya soal rujukan yang berjenjang, rumah sakit pemerintah yang fasilitasnya lengkap dirugikan karena tipenya lebih lebih tinggi dibandingkan rumah sakit swasta di sekitarnya.

“Ini merupakan temuan. Rumah sakit pemerintah yang canggih dan dibiayai negara justru dirugikan karena penjenjangan, ini yang dirugikan kan pemerintah juga. Masalah ini akan saya bawa ke Jakarta. Nantinyaakan saya sampaikan ke Menteri Kesehatan dan BPJS. Kita diskusikan bersama, mudah-mudahan cepat ada solusinya,” katanya.  ywd

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry