Tampak LS Wenny SIP MHum – Dosen Program Studi Ilmu Perpustakaan FAH UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta saat menyaksikan foto Riyanto (Banser) yang menjadi korban kebiadaban teroris di Mojokerto, Jawa Timur. (FT/MKY)

SURABAYA | duta.co – Menarik! Begitu menyaksikan data-data primer (dasar) data penting di Museum Nahdlatul Ulama (NU) Surabaya tentang rekam jejak berdirinya NU dan perjuangan para kiai untuk NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), salah satu dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta itu tertarik untuk meneliti lebih jauh.

Adalah Lili Sudria Wenny SIP MHum – Dosen Program Studi Ilmu Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta yang telah menyusuri benda-benda peninggalan para masyayikh di Museum NU.

“Saya datang ke MINHA (Museum Islam Indonesia KH Hasyim Asy’ari) di Jombang, tetapi disarankan ke Museum NU Surabaya terlebih dulu. Begitu saya masuk, benar, di sini rekam jejak perjuangan para masyayikh terekam jelas,” demikian LS Wenny sebagaimana disampaikan Mokhammad Kaiyis, Direktur Museum NU kepada duta.co, Jumat (1/3/24).

Menurut Kaiyis, Kamis (29/2), Dosen Program Studi Ilmu Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah itu datang ke Museum NU. Intinya izin penelitian dengan menyertakan surat dari UIN Syarif Hidayatullah.

“Menurut Cak Anam (Penggagas Museum NU) bersama almaghfurlah Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) bahwa Museum ini sudah mendampingi (kelulusan) banyak doktor. Kita sambut niat baik dosen UIN Syarif Hidayatullah, semoga ada manfaatnya bagi umat,” tegas Aggota Dewan Kehormatan PWI Jatim ini.

Tidak Butuh Pembubaran Pengajian

Dari gedung Museum NU, memang, terbaca betapa hebat pemikiran para masyayikh NU. Bukan hanya dalam mempertahankan amalan ahlussunnah wal-jamaah an-nahdliyah, tetapi, juga dalam mengawal tegaknya NKRI.

“Sebelum Indonesia merdeka, zaman almaghfurlah Mbah Hasyim Asy’ari (Pendiri NU KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Chasbullah), sudah ada kelompok garis keras (Wahabi) yang ingin berdiri tegak di republik ini. Tetapi, para masyayikh berhasil menghalau, bukan hanya di Indonesia tetapi juga sampai Kerajaan Arab Saudi,” tegas Kaiyis saat mendampingi LS Wenny menyusuri isi Museum NU.

Banyak hal menarik. Selain data-data otentik tentang berdirinya NU, keputusan Khittah 1926 NU, cara masyayikh menegakkan Islam ahlussunnah wal jamaah an-nahdliyah, sampai salah satu rekaman sejarah — yang tidak boleh kita dilupakan — seperti surat dari Raja Saud (Saudi Arabia) soal diperbolehkannya mengikuti salah satu dari 4 madzhab (Imam Syafi’i, Hanbali, Maliki dan Hanafi) di tanah suci, Makkah al-Mukarromah dan Madinah al-Munawwaroh patut untuk diabadikan.

“Perjuangan kiai ini perlu kita kaji lebih dalam. Terima kasih atas atensinya untuk melakukan penelitian di Museum NU. Dengan mencermati gerakan para masyayikh tempo dulu, in sya Allah bisa untuk menghalau garis keras di Indonesia. Tidak perlu ada pembubaran pengajian,” tegas Kaiyis kepada LS Wenny.

Apalagi, menurut alumni Fak Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya dan IKAHA KH Hasyim Asy’ari Tebuireng, Jombang ini, belakangan jumlah Ma’had Aly di Indonesia terus bertambah. Setiap semester ada ribuan santri Ma’had Aly diwisuda.

“Garis keras, Wahabi, kalau masih menggunakan dasar agama dalam menyerang NKRI, amalan nahdliyin, maka, santri Ma’had Aly lebih dari cukup untuk mengimbanginya. Keilmuan harus diimbangi dengan ilmu. Tidak perlu membubarkan pengajian. Para masyayikh telah membangun pondasi kuat bagaimana ber-Islam dan berbangsa Indonesia,” pungkasnya. (zi)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry