SAKSI BLBI: Dira Kurniawan Mochtar jelang diperiksa di Gedung KPK, Rabu (3/5). (ist)

JAKARTA |duta.co –  Mantan Direktur Manager Bank Internasional Indonesia (BII) Tbk Dira Kurniawan Mochtar diperiksa Pemberantasan Korupsi (KPK). Dira diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pemberian surat keterangan lunas (SKL) dalam bantuan likuiditas bank Indonesia (BLBI) untuk pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim.

Dira memenuhi panggilan KPK dan datang sekitar pukul 16.16 WIB. Dira yang datang menggunakan kemeja kotak-kotak tidak banyak memberikan komentar. “Iya (diperiksa kasus BLBI), nanti ya,” kata Dira di KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (3/5).

Juru bicara KPK Febri Diansyah membenarkan hal tersebut. Hanya saja terang Febri, Dira diperiksa bukan sebagai mantan direktur melainkan sebagai kepala long work out (LWO) Badan Penyehatan Perbankkan Nasional (BPPN). Pada saat itu, Dira mendapat tugas menangani BDNI terkait utang bertambah di Pasena.

Selain Dira, KPK juga menjadwalkan pemeriksaan terhadap Stephanus Eka Dasawarsa Sutanto.  “Dua orang itu diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Syafruddin Arsyad Tumenggung (SAT),” kata Febri.

KPK mendalami informasi soal pengambilan kebijakan dalam penyidikan kasus tindak pidana korupsi pemberian SKL kepada Sjamsul Nursalim senilai Rp 4,8 triliun sehingga merugikan negara Rp 3,7 triliun dengan tersangka Syafruddin Arsyad Tumenggung.

Sebelumnya, pada Selasa (2/5), Febri menyatakan, KPK ingin mendalami apa yang terjadi pada rentang waktu tersebut dan juga informasi-informasi tentang apakah pengambilan kebijakan sesuai dengan prosedur saat itu.

“Dilakukan berdasarkan aturan apa, kemudian kronologis pengambilan kebijakannya seperti apa dan jika dalam kondisi-kondisi tertentu, misalnya obligor masih memiliki kewajiban namun kemudian diterbitkan SKL itu diduga melanggar apa,” kata Febri.

Pada Selasa (2/5) KPK memeriksa Menteri Keuangan dan Koordinator Perekonomian periode 2000-2001, Rizal Ramli.  Seusai diperiksa KPK, Rizal menyatakan, bahwa kasus BLBI tidak bisa dilepaskan peranannya dari tekanan IMF kepada Indonesia.

“Seperti diketahui di Asia pada 1997-1998 mengalami krisis, negara-negara tetangga kena krisis dan Indonesia juga kena. Kalau kita undang IMF ekonomi Indonesia tetap kena krisis dan anjlok sekitar enam persen, dua persen bahkan nol persen,” kata Rizal.

Namun, kata dia, Menteri Perekonomian pada waktu itu mengundang IMF, akibatnya ekonomi Indonesia malah anjlok ke minus 13 persen. “Sebelum Managing Director IMF, Michael Camdessus ketemu Pak Harto pada Oktober 1997, saya diundang dengan beberapa ekonom, saya satu-satunya ekonom yang menolak IMF datang ke Indonesia karena pengalaman di Amerika Latin, IMF malah bikin lebih rusak daripada lebih bikin bagus,” katanya.

Pada saat itu, kata Rizal, IMF menyarankan agar tingkat bunga bank dinaikkan dari 18 persen menjadi 80 persen. Akibatnya, banyak perusahaan-perusahaan yang sehat menjadi bangkrut dengan bunga 80 persen tersebut.

“IMF memerintahkan supaya ditutup 16 bank kecil-kecil tahun 1998 tetapi begitu bank kecil ditutup rakyat tidak percaya dengan semua bank Indonesia apalagi bank swasta pada mau tarik uangnya seperti BCA dan Danamon. Bank-bank ini nyaris bangkrut, akhirnya pemerintah terpaksa menyuntik BLBI pada mata uang dolar AS pada waktu itu 80 miliar dolar AS,” tuturnya.

Selain memeriksa Rizal Ramli, KPK juga sempat memanggil Artalita Suryani. Sayangnya Artalita tidak datang namun mengirimkan surat izin dokter yang menyebutkan butuh waktu istirahat satu bulan untuk kesehatannya. “Katanya harus istirahat satu bulan, akan habis akhir Mei ini dan kita akan jadwalkan ulang,” terang Febri.

Pemeriksaan kepada Artalita dilakukan karena relasinya serta hubungan kerjanya dengan tersangka. Sehingga keterangan Artalita sangat dibutuhkan dalam mengusut kasus BLBI ini. hud, ntr

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry