SURABAYA  | duta.co – Mengejutkan! Membaca Surat Terbuka (Dr KH Aguk Irawan MN) untuk Menag dan Jajarannya, sungguh prihatin. Betapa tidak, kiai kelahiran April 1979, itu awalnya sudah dinyatakan lulus sebagai calon petugas haji 2024, tiba-tiba didiskualifikasi tanpa ada alasan jelas.

Padahal, dalam pengumuman terang benderang, ia telah lulus administrasi. Lulus seleksi tahap 1, lulus seleksi tahap 2, surat pemberitahuan cek kesehatan MCU dan koordinasi tahap awal calon petugas haji dari DIY di awal bulan Februari, semua tertulis dengan stempel, lengkap dengan kop surat dan tandatangan.

“Tapi tiba-tiba saya didiskualifikasi tanpa penjelasan, tanpa pemberitahuan pula melalui surat formal. Padahal banyak ucapan selamat dari keluarga, kolega, kiai dan sahabat atas terpilihnya saya sebagai calon petugas haji (satu-satunya) mewakili pesantren di DIY, tapi ternyata perjuangan ini harus berhenti, Kanwil tidak menyertakan nama saya sebagai salah satu peserta Bimtek, padahal sekali lagi saya dinyatakan sudah lulus tahapan demi tahapan seleksi,” tulisnya.

Keganjilan itu kemudian ia tumpahkan dalam Surat Terbuka sebagai cermin bagi Menteri Agama dan Jajarannya. Berikut lengkapnya:

Surat Terbuka untuk Menag dan Jajarannya

Assalammualaikum warahmatullah Wabarakatuh.

TAHAYITTAN tayyibatan waba’du. Tulisan ini saya buat bersamaan dengan beredarnya berita, “Mulai tahun ini, KUA tidak hanya melayani pernikahan muslim. Tapi juga non muslim..”

Sungguh terobosan yang luar biasa untuk praktik moderasi beragama setelah sebelumnya juga keluar surat edaran (SE) Menteri Agama tentang Pemanfaatan Kantor Kementerian Agama sebagai rumah ibadah bagi pemeluk agama apapun.

Selain itu, tentu saja, dengan makin meningkatnya profesionalitas, akuntabilitas dan transaparansinya Kemenag akhir-akhir ini yang, panjenengan nahkodai.

Tetapi “ledakan” program moderasi beragama yang inovatif dan transpransi di semua birokrasi serta jargon meritokrasi berdasarkan kualifikasi dan profesional ini menyisakan sedikit keganjilan — setidaknya berdasarkan pengalaman saya pribadi.

Sekali lagi, sedemikian rupa narasi untuk menghormati perbedaan dipublikasikan, tetapi di lapangan kenyataannya ada banyak hal yang berbeda jalan. Dan, perbedaan itulah yang saya rasakan dan alami sendiri.

Begini cerita singkatnya: Bulan Desember 2023 kemarin Kemenag (dalam hal ini Kanwil DIY) telah mengumumkan seleksi pendaftaran calon petugas haji 2024 dari berbagai unsur, termasuk dari unsur Pesantren, dan saya salah satu pendaftar yang mendapat rekomendasi dari Forum Komunikasi Pondok Pesantren (FKPP) untuk ikut mendaftar seleksi itu. 

Tahapan demi tahapan secara prosedur sudah saya lewati. Setidaknya ada 5 surat legal-formal yang sampai kepada saya, pertama pengumuman lulus administrasi, lalu lulus seleksi tahap 1, lulus seleksi tahap 2, surat pemberitahuan cek kesehatan MCU dan koordinasi tahap awal calon petugas haji dari DIY di awal bulan Februari, semua tertulis dengan stempel, lengkap dengan kop surat dan tandatangan. 

Tapi tiba-tiba saya didiskualifikasi tanpa penjelasan, tanpa pemberitahuan pula melalui surat formal. Padahal banyak ucapan selamat dari keluarga, kolega, kiai dan sahabat atas terpilihnya saya sebagai calon petugas haji (satu-satunya) mewakili pesantren di DIY, tapi ternyata perjuangan ini harus berhenti, Kanwil tidak menyertakan nama saya sebagai salah satu peserta Bimtek, padahal sekali lagi saya dinyatakan sudah lulus tahapan demi tahapan seleksi.  

Apakah saya berhenti mencari keadilan? Tidak. Sejak kabar pendiskualifikasian via WA itu saya terima, saat itu juga saya langsung menghadap pihak-pihak terkait. Awalnya, penjelasan yang saya peroleh berkelit soal birokrasi, tetapi kemudian dengan jujur pihak terkait itu mengatakan perihal yang sesungguhnya, bahwa keputusan ini terpaksa diambil karena ada tekanan dan arahan dari atasan dan menurutnya memang saya satu-satunya calon petugas haji 2024 yang terdiskualifikasi. 

Sayapun bertanya kenapa beliau ditekan? Dijawab dengan sangat berat dan terbata-bata, ini semua karena faktor politik. 

Saya pulang dengan membawa rasa penasaran, persoalan politik apa yang dimaksud? Apakah karena selama ini tulisan-tulisan saya terkait Ormas yang saya cintai dan lainnya dirasa terlalu kritis, sehingga menganggu atau bagaimana?

Jika ini alasannya, saya sangat tidak yakin, karena saya yakin beliau-beliau pasti paham sekali, bahwa kritik sama pentingnya dengan apresiasi, yaitu sebuah cara untuk mencintai dengan cara berbeda. Lebih-lebih Kemenag yang sedang menekankan pentingnya meritokrasi, toleransi dan moderasi bagi kelompok lain, atau masalah lain, misal apakah faktor berbeda pilihan politik? Jika alasan ini, bukankah dalam sistem demokrasi berbeda itu adalah wajar, bahkan kebaikan?

Sedangkan saya — seburuk-buruknya — masih bagian dari rumah besar yang sama yaitu nahdliyin. Saya tidak perlu menuliskan deretan angka betapa banyak saya pernah berkhidmah di organisasi ini, mulai dari tingkat bawah sampai pusat, pembaca bisa menengok sendiri di laman online. Selain dari pada itu, hampir saja setiap minggu saya tidak pernah absen berkhidmah, khususnya sebagai pemateri di berbagai acara yang diselenggarakan oleh rumah besar itu.

Sebenarnya keganjilan ini — yaitu adanya tangan gelap yang membatasi usaha saya untuk berkhidmah — sudah saya rasakan sejak akhir tahun kemarin, karena beberapa pesantren yang jauh hari sudah merencanakan untuk menjadikan saya sebagai salah satu pemateri halaqoh fiqih peradaban juga tiba-tiba membatalkan dengan alasan yang sama, yaitu adanya arahan dari atasan, mengingat halaqoh yang diselenggarakan di banyak pesantren itu dibiayai sepenuhnya oleh Kemenag (APBN).

Sungguh, hati dan pikiran saya tak bisa diam. Upaya moderasi dan transparansi pada semua lini birokrasi  yang terus-menerus digaungkan oleh Kemenag, berbanding terbalik dengan apa yang saya alami.

Tetapi khusnudzon dan tabayun adalah tradisi kami, maka sebelum saya menulis ini dalam waktu kurang lebih seminggu, saya berikhtiar mencari jalan keadilan, dengan pihak-pihak terkait, bahkan sampai kepada panjenengan selaku Menteri Agama, saya beranikan bertanya, harapannya selain dapat keadilan juga dapat tabayun dan masukan-masukan, karena saya menganggap mereka semua adalah kawan seperjuangan, lebih-lebih pada panjenengan selaku Menag adalah “sahabat”, teladan dan senior dalam pergerakan. Saya adalah salah satu “alumni” diklat muadalah pimpinan Ansor tahun 2017. Nyatanya tak ada tabayun yang berarti dan perubahan kebijakan apa pun.

Secara pribadi, sejatinya saya tidak begitu keberatan, jika ketidakadilan ini menimpa pada diri saya seorang, apalagi segala upaya sudah dilakukan, bukankah kita yakin tiap peristiwa akan ada hikmahnya, hamba yang lemah tinggal menunggu takdir terindah lain dari Allah. Tetapi terlepas dari penyerahan diri kepada Allah itu, bukankah tersisa kekhawatiran lain, kalau-kalau nasib serupa yang saya alami ini bisa saja terulang dan dialami oleh orang lain. Siapa yang bisa menjamin kalau yang lain akan bebas dari perlakuan yang tidak adil semacam ini dalam kasus-kasus lain yang berbeda? 

Selain dari pada itu, terpaksa tulisan ini dibuat, karena kami meyakni bahwa prinsip dasar civil soceity adalah warga negara menjadi kekuatan bersama untuk penyeimbang pemerintah dengan segala kewenangannya.

Hanya sekedar info saja, tentu dengan segala kekurangan dan keburukan, saya yang terdiskualifikasi ini pernah mendapat apresiasi dan kehormatan dari Kemenag RI era Pak Lukman Hakim sebagai salah satu tokoh inspiratif dari pesantren, dokumen apresiasi itu telah dibukukan dan beredar di masyarakat dengan judul “Tokoh-Tokoh Inspiratif dari Pesantren: Merawat Indonesia Ala Kiai Muda.” (Penerbit Direktorat Jendral Pendidikan Islam, Kemenag; 2019).

Terakhir, sejak remaja kebetulan saya tumbuh dengan  buku-buku sastra perlawanan seperti yang ditulis Pramoedya, WS Rendra, Wiji Thukul, satire Cak Nun dan Gus Mus, juga polemik kebudayaannya Goenawan Mohamad, serta buku kritik hegemoni Ariel Heryanto. Saya juga beruntung sebagian buku saya dipengantari oleh mereka. Kalau sekarang ini saya menulis esai-esai sedikit kritis, buku-buku itulah yang mengasah kepekaan sosial saya sebagai warga negara, jadi mohon dimaafkan. Terimakasih atas perhatian dan segala khilaf. Wallahu’alam bishawab.

Wassalammualaikum warahmatullah Wabarakatuh.

(Aguk Irawan MN)

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry