JAKARTA | duta.co – Geger soal nasab (pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah) mencuat ke publik. Muncul penelitian yang menyebut dirinya klan Ba’alawi, ternyata diduga kuat tidak sambung sampai ke Kanjeng Nabi, bahkan, konon mereka menjadi tangan kanan kolonial (penjajah) Belanda di Indonesia. Sekaligus merusak perabadan Islam Nusantara.

Bagaimana menyikapi perang nasab ini? Kamis (9/5/24) kepada redaksi duta.co Pengurus Besar JATMI ( Jam’iyah  Thoriqoh Al-mu’tabarah Indonesia) mengeluarkan sikap dan rekomendasi, dan ini sangat urgen untuk diketahui umat.

Didahului mujahadah, selanjutnya rapat pleno JATMI di PP Abdurrahman Wahid Sokotunggal Rawamangun Jakarta, merasa perlu memberikan tausiah menghadapi dinamika kehidupan masyarakat khususnya tentang polemik Nasab. Berikut lengkapnya:

Sehubungan dengan adanya polemik nasab yang terus berkembang di tengah-tengah masyarakat, maka Pengurus Besar JATMI (Jam’iyah Thoriqoh Al-mu’tabarah Indonesia)  memandang perlu memberikan tausiyah dengan merujuk manhaj sebagaimana pemahaman dan amaliah kaum thoriqot yang dibangun atas dasar firman Allah SWT. QS. Ali Imran 112:

Dalam konteks hablumminallah dimulai dari kalimat tauhid (laailaha Illallah) dengan landasan kalimat tauhid inilah,  maka selain Allah SWT adalah sesuatu yang (hakikatnya) tidak memberi makna apa-apa, baik itu menyangkut harta, tahta dan nasab atau asal-usul.

Selain Allah SWT. semua  tidak memberi makna karena yang kita tuju hanyalah Allah SWT dan RidhoNya. Sedangkan dalam konteks habluminannas  PB JATMI mengimplementasikan dalam bentuk jalinan persaudaraan (ukhuwah) dengan saling memahami keperbedaan (lita’arafu), bersikap adil (‘adalah), toleransi (tasamuh) dan menghargai kemuliaan manusia yang telah diberikan oleh Allah SWT.

Oleh karena itu, dalam pandangan PB JATMI tidak ada manusia yang memiliki keagungan dan kemuliaan atas dasar  biologis atau garis keturunan, sebab manusia memiliki derajat yang sama firman Allah SWT: Allah memuliakan anak (bani) Adam. Allah tidak melihat tampan lahiriyah (tahta, harta dan nasab), tetapi yang dilihat oleh Allah adalah hatinya, maka dari itu pengamal thoriqoh memberikan perhatian yang serius pada upaya penyucian hati (tazkiyatun nafsi).

Dalam prespektif PB JATMI  beberapa sebab manusia mendapat kemuliaan yaitu : Kerena Kebersihan hati (tazkiyatun nafsi) Karena kuatnya keimanan, luasnya ilmu dan akhlak yang terpuji.

Hal ini terkonfirmasi dengan kisah putra Nabi Nuh  AS yang tenggelam bersama kaum yang durhaka. Memberi hikmah meskipun anak nabi, tidak selamat dari akibat keburukan yang diperbuat dan Sabda Nabi: Jika putriku (Fatimah) mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya. Ini menegaskan semua sama di depan hukum.

Berdasarkan pemikiran di atas, maka PB JATMI memberikan tausiah  sebagai berikut:

Pertama, dalam pandangan PB JATMI  bagi mereka yang memiliki catatan nasab yang tersambung sampai ke (nabi, walisongo, raja-raja dll) itu adalah catatan yang bersifat privasi (internal) untuk di lingkungan keluarga saja, bukan untuk konsumsi pablik. Dan semua pihak harus menghormati hak privat tersebut.

Namun jika catatan nasab dan atau gelar kehormatan yang berbasis nasab disampaikan di ruang publik, maka hal itu menjadi ranah publik dan dapat berdampak buruk (mafsadah dan madharat) baik dari segi syar’i, maupun dari segi UU-ITE.

  1. Dari sisi Syar’I berpotensi mafsadah:

a.Dalam dimensi ruhani (tasawuf) ia berpotensi  menjadi amalan riya, sementara riya adalah bagian dari perbuatan yang tercela (mudzmumah) sifat riya’ juga yang membawa ke neraka wail (surah al-ma’un)

b.Fenomena yang terjadi selama ini, keunggulan nasab (seperti nasab nabi, nasab walisongo, nasab raja-raja) berpotensi berbangga diri dan tinggi hati. Sementara itu adalah sifat iblis, menolak perintah Allah agar sujud kepada Nabi Adam.  Disebabkan merasa asal-usul dari api lebih mulia (berkualitas), dibanding Nabi Adam dari tanah liat (min thini lazib)

  1. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah diatur oleh tata aturan hukum positif, khususnya  UU ITE, maka bagi mereka yang memiliki catatan nasab tersambung ( ke nabi, Walisongo atau raja-raja)  diumumkan ke public, dan ada pihak lain yang melaporkan,  maka  berimplikasi dapat  dikatagorikan menyebar kebohongan, dan dapat dipidana jika tidak mampu menghadirkan “pembuktian otenik” yang ditetapkan oleh pengadilan.

Kedua,  mengikuti kaidah “Sad al-Dzariah” (sikap preventif mencegah keburukan terjadi) mencegah keburukan atau menghindari hal yang buruk terjadi harus didahulukan. kaidah “dar al-mafasid muqaddamun (“menghindari mafsadah didahulukan), serta kaidah, “al-khiruju ‘anil ikhtilaf musatahbbun, (keluar dari perselisihan adalah dianjurkan), maka membuka catatan nasab ke ruang publik sebaiknya dihindari.

Ketiga, PB JATMI menyadari,  bahwa kita semua berada dalam satu bingkai NKRI dalam masyarakat yang majemuk, maka ia memerlukan kebesaran hati dari semua elemen masyarakat yang beraneka ragam, suku ras dan kepercayaan untuk tidak menonjolkan asal usul nasab  (biologis), karena hal itu tradisi jahiliyah yang sudah dihapus oleh nabi Muhammad SAW.

“Atas dasar itu, maka PB JATMI mengajak kepada seluruh elemen masyarakat untuk meningkatkan apa yang dianjurkan oleh Allah SWT yaitu fastabqul Khairat (berlomba-lomba memberikan kontribusi kebaikan) bagi kemajuan bangsa agama dan masyarakat secara keseluruhan,” demikian akhir dari rekomendasi yang diteken KH Nurul Arifin selaku Ketua dan KH Muhammad Tauhid  sebagai Rais Am JATMI. (rls)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry