SURABAYA | duta.co – Debat kusir politisi PDI-P dan Partai Demokrat (PD) di acara live TvOne, Jumat (27/7/2019) dengan tajuk ‘Kudatuli Diungkit Lagi’, menarik diikuti. Masinton Pasaribu, anggota DPR-RI dari PDI-P yang biasanya tampil galak, kali ini tampak ‘jinak’.

Begitu diberi kesempatan bicara, Masinton yang sempat meralat posisinya sebagai DPP PDI-P masih tampil garang.  Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), katanya, ketika pecah Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli) peristiwa berdarah 27 Juli 1996, adalah Kepala Staf Komando Daerah Militer (Kasdam) Jaya. SBY dianggap punya informasi-informasi penting yang bisa diungkap ke publik.

“Ini masalah masa depan bangsa, jauh lebih penting ketimbang bicara politik yang melankolis,” katanya.

Tapi, serangan Masinton ini langsung dilahap Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat (PD) Jansen Sitindaon. Jansen menyebutnya sebagai masalah kesiangan atau bahkan kemalaman. Mengapa pertanyaan itu (Kudatuli) muncul sekarang, 22 tahun kemudian.

“Kalau PDI-P benar-benar  ingin mengungkap masalah tersebut, mestinya bisa dilakukan ketika Megawati menjadi presiden. Mengapa tidak? Saya melihat ini hanyalah ritual politik, ‘menggoreng’ isu HAM untuk kepentingan politik,” jelas Jansen sambil menyebut sejumlah fakta, bahwa, sudah ada upaya pengungkapan kasus Kudatuli, tetapi, nyatanya justru dihadang PDI-P sendiri.

Bukan Saja Kesiangan tapi Kemalaman

Jansen menyebut posisi SBY saat Kudatuli meletus adalah Kasdam Jaya. Di atas Kasdam masih ada Pangdam Sutiyoso (Pangdam Jaya), Hamami Nata (Kapolda Metro Jaya), masih ada Panglima ABRI Faisal Tanjung. “Dan semua tahu, kasus tersebut bukan dalam skala daerah, tetapi, nasional. Dan Pak SBY hanyalah Kasdam. Kalau PDI-P ingin bertanya, silakan tanya mereka-mereka itu,” jelasnya.

Seperti diketahui, tragedi Kudatuli membuat 5 orang meninggal dunia, 149 orang (sipil maupun aparat) luka-luka, 136 orang ditahan. Komnas HAM juga menyimpulkan telah terjadi sejumlah pelanggaran hak asasi manusia.

Misterinya, ada dokumen menyebut pertemuan tanggal 24 Juli 1996 di Kodam Jaya yang dipimpin oleh Kasdam Jaya Brigjen Susilo Bambang Yudhoyono. Hadir pada rapat itu adalah Brigjen Zacky Anwar Makarim, Kolonel Haryanto, Kolonel Joko Santoso, dan Alex Widya Siregar. Inilah yang selalu dialamatkan kepada SBY.

Masih di acara TVOne, Burhanuddin Muhtadi, pengamat politik dan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia mencoba mengambil jalan tengah. Diakui Burhan, bahwa, posisi SBY sebagai Kasdam memang sangat kecil keterlibatannya. Tetapi, katanya, ketika SBY menjadi presiden, mestinya, bisa dimanfaatkan untuk mengungkap fakta, bahwa, dirinya bersih dari tuduhan itu.

Lagi-lagi, penyebutan SBY dimentahkan Jansen. Menurutnya, Megawati sendiri pernah menjadi presiden, dan tidak ingin mengungkap masalah tersebut. Padahal, kalau dia mau, bisa. Kalau Mega saja tidak mau, bahkan terkesan tidak lagi mempersoalkan, lalu, mengapa sekarang semua ribut.

“Bu Mega sendiri saya lihat tidak datang dalam peringatan Kudatuli. Lalu mengapa kader-kader PDI-P sekarang ribut, inilah yang saya sebut ritual politik PDI-P, ini bukan saja kesiangan, tetapi, sudah kemalaman,” tegasnya membuat Masinton terkesan ‘klepek-klepek’. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry