Ketua Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyyah (PPKN), H Tjetjep Muhammad Yasin. (FT/duta.co)

SURABAYA | duta.co – Ketua Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyyah (PPKN), H Tjetjep Muhammad Yasin, mengaku heran dengan para tokoh di negeri ini. Mereka hanya sibuk mengutuk ketika ada isu yang memojokkan agama. Sementara, kekerasan lebih jahat, sebagaimana dialami wartawan Tempo, tak terdengar suara kutukannya.

“Catat ya! Tidak ada agama yang membenarkan bom bunuh. Ironisnya, banyak tokoh agama yang sibuk mengaitkan bom bunuh diri dengan paham radikal. Lagi-lagi Islam tertuduh. Sementara, ketika terjadi kekerasan terhadap wartawan, semua diam. Padahal, ini tak kalah jahat dibanding bom bunuh diri,” demikian disampaikan Gus Yasin, panggilan akrab H Tjetjep Muhammad Yasin kepada duta.co, Senin (29/3/21).

Ingat Analisa Gus Dur

Menurut alumni PP Tebuireng ini, apa yang dialami Nurhadi, reportet Tempo adalah warning keras bagi kemerdekaan pers Indonesia. Kita harus mengutuk keras. Apalagi membaca kronologi penyiksaannya, sangatlah tidak manusiawi. Wartawan yang sedang menjalankan tugas jurnalistik, dengan enaknya dikeroyok, ditonjok, ditampar, diancam bunuh.

“Saya hanya merenung, kalau perlakuan biadab terhadap wartawan ini dibiarkan, maka, ke depan tidak akan ada kebebasan pers. Ironisnya, sampai detik ini, tidak ada yang mengutuk, bahkan tokoh-tokoh agama yang biasanya lantang, juga diam, tidak bereaksi seperti bom Makassar, Sulawesi Selatan tempo hari,” tegasnya.

Pengacara senior Surabaya asal Kota Kediri ini, mengaku tidak habis pikir, mengapa semua diam melihat penyiksaan terhadap wartawan. Bukankah ini berdampak yang serius terhadap ratusan juta penduduk Indonesia. “Semua akan ketakutan mengangkap kejahatan. Sementara kita tahu, soal bom gereja, saya teringat analisa Gus Dur, bahwa, itu bisa jadi motif politik,” pungkasnya. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry