JAKARTA | duta.co – Habis sudah waktu untuk membahas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker). Hingga tutup masa sidang ke 3 — sesudah Perppu dikeluarkan Presiden dan disampaikan ke DPR pada 9 Januari 2023 — hingga Rapat Paripurna terakhir 16 Februari 2023, tidak ada agenda rapat paripurna persetujuan Perppu, apalagi keputusan DPR menyetujui Perppu.

“Artinya, Perppu Ciptaker ini gagal mendapat persetujuan dari DPR bukan hanya pada sidang berikut sesudah dikeluarkannya Perppu, sesuai ketentuan UUD, bahkan pada 2 rapat paripurna berikutnya juga tidak mendapatkan persetujuan dari rapat paripurna DPR,” demikian penjelasan anggota DPR RI sekaligus Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid di Jakarta, Selasa (21/02).

Menurut HNW, sapaan akrab Hidayat Nur Wahid, Perppu Ciptaker harusnya dicabut dan tidak bisa diberlakukan lagi, karena tidak berhasil memenuhi ketentuan UUD yaitu mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui forum akhir di rapat paripurna pada masa sidang setelah Perppu itu diterbitkan.

Merujuk aturan konstitusi yang berlaku, yakni Pasal 22 UUD NRI 1945, ketentuan itu menyatakan bahwa Perppu ditetapkan dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, lalu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan berikutnya.

Konsekuensi dari tidak diperolehnya persetujuan ini, lanjut HNW, maka sesuai ketentuan UUD yg mengatur soal Perppu, harusnya Perppu tersebut segera dicabut oleh Pemerintah atau oleh DPR. Itu dengan sangat jelas disebutkan dalam Pasal 22 UUD NRI 1945 berbunyi:

Pertama, dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang undang,” ungkapnya.

Kedua, lanjut HNW, Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. “Ketiga, Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut,” tegas HNW.

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa ketentuan Pasal 22 UUD NRI 1945 ditegaskan kembali dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan sebagaimana diubah beberapa kali dan terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022. Penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU tersebut, jelas, ang dimaksud dengan ‘persidangan yang berikut’ adalah masa sidang pertama DPR setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditetapkan.

Jadi? “Perppu ditetapkan pada 30 Desember 2022. Lalu, Masa Sidang III Tahun Sidang 2022-2023 telah dimulai sejak 10 Januari dan berakhir pada 16 Februari 2023, dan selama itu telah terjadi 3 kali rapat paripurna DPR, yang terdekat dari dikeluarkannya Perppu adalah rapat paripurna DPR pada 10 Januari 2023 yang juga tidak ada keputusan persetujuan terhadap Perppu sebagaimana diatur dalam UUD. Artinya, hingga masa sidang ditutup melaluai rapat paripurna ke 3 sesudah Perppu dikeluarkan, yakni sidang paripurna DPR pada 16 Februari 2023, tidak ada persetujuan dari DPR. Hingga saat ini kondisinya DPR sudah memasuki masa reses,” jelasnya.

 “Berdasarkan konvensi dan praktek di DPR dan peraturan perundang-undangan beserta tatib DPR, yang namanya persetujuan itu adalah di pembahasan tingkat II di Rapat Paripurna. “Nah, ini tidak ada persetujuan di tingkat II di rapat paripurna,” tukasnya serius.

Jadi? Agar tertib secara ketatanegaraan, DPR dan Presiden harus segera mengajukan RUU tentang Pencabutan Perppu Ciptaker, sebagai konsekuensi tidak berhasil mendapat persetujuan di rapat paripurna DPR. Dan apalagi tidak segera disetujuinya Perppu oleh DPR dalam persidangan berikut, menandakan tidak adanya ‘kegentingan memaksa’ yang jadi rujukan utama mengapa Perppu dibuat.

“Pemerintah sendiri selalu menegaskan tentang pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2023 yang bahkan lebih baik dari banyak negara G-20, maka, kegentingan memaksa itu makin tidak nyata,” tukasnya. (net)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry