Farah Nuriannisa, SGz, MPH – Dosen S1 Gizi Fakultas Kesehatan

DALAM program Scaling Up Nutrition (SUN), isu ketidaksetaraan gender merupakan salah satu isu yang diperhatikan karena diduga dapat menyebabkan masalah gizi di berbagai negara.

Masalah ketidaksetaraan gender ini menyebabkan wanita tidak dapat memperoleh haknya, misalnya dalam hal pekerjaan karena terbatasnya pilihan lapangan pekerjaan untuk wanita, sehingga akan menyebabkan rendahnya tingkat pendapatan keluarga.

Menurut framework determinan malnutrisi dari UNICEF (2015), keterbatasan ekonomi berdampak pada rendahnya ketahanan pangan dalam rumah tangga yang rendah sehingga ketersediaan, akses serta status gizi anggota dalam rumah tangga tersebut juga akan rendah.

Info Lebih Lengkap Buka Website Resmi Unusa

Karena dampak dari ketidaksetaraan gender ini sangat banyak dan luas, maka berbagai negara telah melakukan program-program upaya pemberdayaan terhadap wanita. Misalnya dengan melibatkan wanita dalam pemerintahan dan pengambilan berbagai keputusan penting (terutama yang berkaitan dengan gizi), mengadakan diskusi dan forum antar wanita (support group terkait pola asuh dan gizi keluarga), serta memberikan kuota untuk wanita dalam berbagai bidang pekerjaan.

Peningkatan status sosial pada wanita terbukti mampu meningkatkan pengeluaran keluarga terhadap gizi dan kesehatan keluarga (misalnya pengeluaran untuk membeli makanan sehat, biaya pendidikan, dan biaya pemeriksaan kesehatan).

Di mana peningkatan pendapatan pada wanita diestimasikan dapat mengurangi proporsi global terjadinya underweight pada anak sebesar 11,6% (SUN Movement, 2016). Penelitian yang dilakukan oleh Na et al. (2015) juga berpendapat bahwa pemberdayaan dan keterlibatan wanita, terutama dalam mengontrol pendapatan dan pengeluaran, mampu meningkatkan kesejahteraan keluarga sehingga kebutuhan makanan dapat terpenuhi.

Seiring berkembangnya teknologi, sektor industri pun ikut berkembang pesat. Pada beberapa perusahaan, misalnya perusahaan garmen/tekstil dan sepatu, mayoritas pekerjanya adalah wanita. Data dari Badan Pusat Statistik juga menunjukkan adanya peningkatan jumlah pekerja wanita dari 41,6 juta pada tahun 2011 menjadi 43,3 juta pada tahun 2012.

Peningkatan partisipasi wanita dalam sektor industri tersebut harus diperhatikan karena beban kerja berlebih dapat menyebabkan anemia pada wanita sehingga produktivitas kerja akan menurun. Anemia ini dapat terjadi karena beban kerja yang berat, di mana umumnya perusahaan atau pabrik memiliki lama kerja minimal selama 10 jam/hari dalam 5-7 hari kerja, sedangkan asupan makan tidak tercukupi dengan baik karena keterbatasan ekonomi dan waktu istirahat.

Risiko anemia semakin meningkat karena wanita kehilangan darah setiap bulannya pada saat menstruasi. Kondisi anemia dapat menyebabkan kemampuan dan produktivitas kerja menurun hingga 20%.

Hal ini akan mempengaruhi pendapatan (terutama pada pekerja pabrik yang diharuskan memenuhi target produksi) sehingga dalam jangka panjang akan mempengaruhi pola konsumsi keluarga, di mana dimana semakin rendah pendapatan keluarga, maka semakin rendah pula variasi dan kualitas makanan yang dikonsumsi.

Selain itu, kondisi anemia juga akan mempengaruhi aktivitas wanita di rumah, misalnya tidak dapat memasak karena lelah, sehingga akan mempengaruhi asupan makan anggota keluarga lainnya.

Untuk mengantisipasi penurunan produktivitas kerja akibat anemia, perusahaan atau pabrik dapat menyediakan kantin atau katering untuk pekerjanya, sehingga pekerja tidak perlu keluar pabrik untuk membeli makanan (supaya dapat meminimalisir pengeluaran untuk transportasi).

Di samping itu, perusahaan atau pabrik juga dapat menyediakan makanan selingan atau snack untuk meningkatkan asupan energi dan protein, misalnya dengan susu sebagai snack pagi atau sore. Perusahaan atau pabrik juga dapat menyediakan fasilitas kesehatan atau mengadakan pemeriksaan kesehatan secara rutin kepada pekerjanya, sehingga kelainan atau gangguan kesehatan dapat terdeteksi dini. *