“Pemenangnya sudah hampir pasti Paslon 02 Prabowo-Gibran, kecuali ada force majeure berupa badai politik yang tidak dapat diantisipasi.”

Oleh Dr H Syarif Thayib, SAg. MSi*

BANYAK pihak menyebut bahwa Pemilihan Presiden (Pilpres) kali ini tidak se-seru Pilpres 2014 dan 2019. Pada dua Pilpres itu pasangan Jokowi–JK dan Jokowi-Ma’ruf benar-benar menghadapi lawan yang sebanding, yaitu pasangan Prabowo–Hatta Rajasa (Pilpres 2014) dan Prabowo–Sandiaga Uno (Pilpres 2019).

Waktu itu “pertarungannya” benar-benar  menguras energi/emosi pemilih. Sebagian kalangan menyebut Pilpres 2014 adalah “pertarungan bergengsi” antar dua Ormas terbesar di Indonesia (NU–Muhammadiyah). Kubu Prabowo menggandeng Ketum PAN (kader Muhammadiyah), sedangkan Jokowi merangkul JK sebagai Cawapres yang dianggap representasi Nahdliyin.

Kemudian puncak konflik Pilpres terjadi pada 2019. Waktu itu, pasangan Jokowi–Ma’ruf (Nasionalis–Religius) yang didukung mayoritas Islam moderat (NU dll) menghadapi Prabowo–Sandiaga Uno yang didukung mayoritas Islam sayap kanan dan “keras” (FPI, ex HTI dll).

Kini pada Pilpres 2024 potensi konflik Pilpres 2014 dan 2019 nyaris tidak mengemuka, karena dari 3 pasangan calon (Paslon) yang ada sekarang adalah buah dari proses “rekonsiliasi”.

Paslon 01 Anies-Muhaimin merupakan gabungan dua kubu yang pada Pilpres 2019 lalu membawa perseteruan “Kadrun Vs Kampret”.

Paslon 02 Prabowo–Gibran bin Jokowi merupakan gabungan rival abadi Pilpres 2014 dan 2019. Sedangkan Paslon 03 Ganjar–Mahfud adalah gabungan partai yang di Pilpres 2019 lalu telah  “mempermalukan” Mahfud MD batal menjadi Cawapres Jokowi.

Polemik Lembaga Survei

Hampir semua lembaga Survei per-tanggal 11 Pebruari 2024 atau pasca debat Capres terakhir telah merilis temuannya. Paslon 02 Prabowo-Gibran bisa dipastikan menang satu putaran, sebagaimana berita dari Kontan.co.id pada saat tulisan ini dibuat.

Pertama, menurut hasil survei Indikator, Pasangan Prabowo-Gibran dalam simulasi surat suara meraih 51,8%. Kemudian, sebanyak 24,1% memilih Pasangan nomor urut 01, yaitu Anies-Muhaimin, dan sebanyak 19,6% memilih Pasangan nomor urut 03 Ganjar-Mahfud.

Kedua, hasil Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA  menunjukan elektabilitas tertinggi juga diraih oleh Prabowo-Gibran yang tembus 53,5%. Kemudian disusul oleh Anies-Muhaimin 21,7% dan Ganjar-Mahfud 19,2%.

Ketiga, hasil dari rilis Lembaga Survei and Polling Indonesia juga menegaskan elektabilitas Prabowo-Gibran masih unggul. Pasangan nomor urut 02 ini berhasil tembus 50,9%, disusul dengan Ganjar-Mahfud 23,5% dan Anies-Cak Imin 18,7%.

Oleh karena itu banyak pihak menganggap bahwa Pilpres 2024 sudah selesai (game over). Pemenangnya sudah hampir pasti Paslon 02 Prabowo-Gibran, kecuali ada force majeure berupa badai politik yang tidak dapat diantisipasi atau dikendalikan parapihak.

Menolak Hasil Survei

Seperti biasa, pendukung yang kalah Survei menuduh bahwa lembaga-lembaga itu tidak independen, dibayar Bandar dan seterusnya. Mereka menyajikan bukti/fakta sebagaimana terjadi pada Pilkada DKI (2012 dan 2017).

Pasangan Jokowi–Ahok yang oleh mayoritas lembaga Survei dinyatakan kalah, akhirnya jadi pemenang Pilkada DKI 2012. Pun pasangan Anies–Sandiaga Uno bisa menang di Pilkada DKI 2017 meski semua lembaga Survei ketika itu memprediksinya kalah.

Klaim bahwa prediksi lembaga-lembaga Survei itu bisa keliru, saya setuju. Tetapi kalau kontra argumennya itu dikaitkan dengan hasil Pilkada DKI di atas sebaiknya kita luruskan bersama. Mengapa?

Pada Pilkada DKI 2012, lembaga-lembaga Survei menurut Edi Sudarjat, peneliti di IndopacificEdelman (Detik, 13 Juli 2012) diburu nafsu memprediksikan siapa pemenang Pilkada DKI, sehingga mengabaikan temuan-temuannya sendiri.

Lembaga survei ketika itu telah menemukan terdapat sekitar 26 persen pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided vooters) atau pemilih yang akan mengubah-ubah dukungannya (swinging voters). Tetapi lembaga survei mengabaikan temuan ini dan tidak menyampaikan analisisnya kepada publik bahwa 26 persen pemilih itu bisa mengalirkan suaranya ke berbagai Cagub (calon Gubernur), termasuk ke Jokowi-Ahok, sehingga mengubah peta elektabilitas yang sudah ada.

Ketika Pilkada DKI Jakarta digelar, ternyata mayoritas undecided voters atau swinging voters itu mengalirkan suaranya ke Jokowi-Ahok. Jadilah Jokowi-Ahok di urutan pertama, sementara incumbent Fauzi-Nara di urutan kedua.

Kemudian pada Pilkada DKI 2017, mengapa pasangan Ahok-Djarot bisa kalah dengan pasangan Anies–Sandiaga? Karena Ahok melakukan kesalahan fatal slip of the tongue dengan mengutip dan menafsirkan QS. Al Maidah ayat 51 sembarangan. Maka jadilah dia common enemy (musuh bersama) umat Islam yang merasa kitab sucinya dinistakan Ahok demi kepentingan politik.

Kubu Anies–Sandiaga lantas tidak menyia-nyiakan “blunder” Al Maidah: 51 itu. Bola panas pun makin tak terkendali. Kesalahan Ahok terus digoreng hingga menjadi sentimen agama.

Puncaknya, pendukung Anies-Sandiaga sukses memobilisasi umat Islam pada 12 Desember 2016 yang kemudian dikenal menjadi gerakan atau perkumpulan 212 dan seterusnya. Anies–Sandiaga benar-benar bejo. Pasangan ini akhirnya menjadi pemenang.

Pertanyaannya, apakah hasil Survei untuk Pilpres 2024 ini berpotensi mbleset (salah) seperti dua Pilkada DKI di atas?

Kemungkinan Mblesetnya sangat kecil. Karena Pertama, jumlah swinging voters atau undecided voters pada Pilpres 2024 ini menurut temuan Burhanuddin Muhtadi hanya sekitar 10,5 persen saja (Merdeka, 9 Pebruari 2024). Artinya, kalaupun suara itu diberikan semua ke pasangan 01, maka kenaikan suara Pasangan Anies–Muhaimin menjadi sekitar 31,5% saja. Masih kalah dengan prediksi perolehan Pasangan nomor urut 02 yang sekitar 54,1%.

Begitupun kalau suara itu diberikan ke Pasangan 03 semua, maka kenaikan Pasangan Ganjar-Mahfud menjadi sekitar 30,8% saja. Masih kalah dengan prediksi perolehan Pasangan 02 yang berkisar 54,1%. Apalagi kalau suara “tak bertuan” itu dibagi rata ke Pasangan 01, 02, dan 03, tentu pasangan Prabowo-Gibran makin tak terkejar.

Kedua, kemungkinan adanya prahara slip of the tongue yang dilakukan Prabowo–Gibran sebagaimana “blunder” Al Maidah: 51 oleh Ahok pun sepertinya kecil sekali, karena Prabowo dan Gibran adalah seorang Muslim yang relatif taat, meski keduanya dianggap abangan.

Kalaupun sampai terjadi kesalahan ucap dari pasangan Prabowo–Gibran, maka tidak cukup waktu bagi pihak lawan untuk “menggoreng” berita itu menjadi senjata “bumi hangus” suara milik pasangan 02.

Walhasil, kalau ingin wujudkan prediksi menang satu putaran, maka tim Paslon 02 Prabowo–Gibran harus cermat menjaga suasana bathiniah pemilih agar tidak berubah pikiran dan pindah ke lain Paslon.

Tetapi jika hasil Pilpres 14 Pebruari 2024 Rabu besok tidak ada yang berhasil memenangkan 50 plus 1, maka kemungkinan kubu Paslon 01 dan 03 bersatu masih fifty-fifty, bisa iya bisa tidak.

“Iya” karena kecenderungan pihak yang (senasib) kalah lebih mudah menyatu. “Tidak” karena dalam politik semuanya bergantung Deal antarpihak: Wani piro?

*Dr. H. Syarif Thayib, S.Ag. M.Si. adalah Dosen UINSA, mantan Anggota Panwaslu Jawa Timur 2002-2004

 

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry