Prof. Dr. Achmad Chusnu Romdhoni, dr., Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.Onk.(K)., FICS – Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

KARSINOMA Nasofaring (KNF) merupakan keganasan yang muncul pada daerah nasofaring, sebuah area yang cukup tersembunyi, dan terletak di atas tenggorok dan di belakang hidung . Penyakit ini ditandai dengan adanya gejala hidung, gejala telinga, gejala leher, dan gejala neurologis/saraf.

Wilayah Asia tenggara, merupakan salah satu wilayah dengan angka kejadian KNF yang tinggi di dunia, menyumbang hampir 25% dari seluruh kasus KNF di dunia. Di Indonesia, KNF menduduki peringkat pertama distribusi keganasan di area kepala leher, dengan 6,2 kasus per 100.000 penduduk per tahun, dengan hampir sekitar 13.000 kasus baru.

Penyakit ini umumnya menyerang penderita usia produktif. Jika dianalogikan dengan jumlah penduduk di Kota Surabaya, yaitu sekitar 2,9 juta penduduk, maka akan ada hampir 200 pasien baru di Kota Surabaya yang menderita KNF setiap tahunnya.

Hal ini tentu akan berdampak pada produktivitas penduduk, keadaan ekonomi penderita dan keluarganya, hingga pola pembiayaan kesehatan negara. Besarnya dampak yang ditimbulkan oleh penyakit ini menjadikan KNF sebagai penyakit yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Analisis yang komprehensif dari hulu ke hilir, sejak proses terjadinya penyakit hingga evaluasi keberhasilan terapi, sangat diperlukan untuk menemukan solusi terhadap masalah yang terjadi pada tatalaksana KNF

Mediko Sosio Kultural Ekonomi
Setelah menganalisis dari segi segitiga epidemiologis, analisis yang lebih mendalam mengenai aspek mediko-sosio-kultural-ekonomi terhadap faktor risiko penyakit, dapat menjelaskan penyebab tingginya angka kejadian KNF di Indonesia.

Kejadian KNF yang tinggi di Indonesia dapat dipengaruhi salah satunya oleh karena perpindahan masyarakat, dari wilayah lain yang memiliki angka kejadian penyakit KNF yang tinggi, misalnya Cina atau negara asia timur lainnya. Hal ini dapat memicu terjadinya perubahan pola distribusi genetik, terutama gen yang rentan terhadap KNF.

Kondisi ini juga diikuti dengan kebudayaan maupun kebiasaan masyarakat yang dapat meningkatkan potensi terjadinya penularan penyakit, peningkatan paparan terhadap bahan karsinogenik nitrosamin.

Pada salah satu penelitian penulis tentang faktor risiko terkait KNF di Indonesia yang menunjukkan masyarakat Indonesia sebagai negara maritim yang banyak mengkonsumsi ikan asin sebagai makanan pokok sehari-hari terutama pada masyarakat menengah ke bawah (low income), ternyata signifikan meningkatkan risiko KNF.

Selain murah, ikan asin juga merupakan bahan makanan yang dianggap dapat dikombinasikan dengan berbagai menu makanan lain, turut menjadikan jenis makanan ini pilihan utama bagi sebagian kelompok masyarakat di Indonesia.

Masalah KNF di Indonesia tidak berhenti hanya pada tingginya angka kejadian KNF, namun diperparah dengan permasalahan tatalaksana KNF di hulu yaitu keterlambatan diagnosis akibat deteksi dini penyakit yang belum berjalan dengan baik. Hal ini menyebabkan pasien sering datang pada stadium lanjut.

World Health Organization (2017) telah menyarankan bahwa waktu tunggu terapi ideal dari onset awal muncul gejala sampai dimulainya terapi adalah kurang dari 90 hari. Hal ini bertujuan untuk mengurangi keterlambatan dalam terapi, menghindari pasien mangkir dari follow-up dan mengoptimasi keefektifan dari terapi.

Target durasi yang tepat dapat berbeda pada setiap sistem kesehatan tergantung kepada kapasitas rumah sakit. Hal yang perlu diperhatikan adalah perawatan kanker harus memperhatikan waktu.

Terapi dari kanker bergantung kepada staging dari penyakit, yang kemudian berpengaruh terhadap survival rate. Ada perbedaan survival rate pada pasien dengan waktu tunggu terapi kurang dari 90 hari dibanding waktu tunggu lebih dari 180 hari .

Tingginya angka kejadian KNF stadium lanjut ini dapat menurunkan angka harapan hidup. Berkembang pesatnya keilmuan dan teknologi diagnostik pada KNF tidak merubah secara signifikan kondisi tersebut. Sebuah studi di era 1990-an didapatkan bahwa proses diagnostik KNF membutuhkan rata-rata waktu sekitar 7,2 bulan, dan jumlah ini hanya menurun menjadi 6 bulan era 2010-an.

Pandemi COVID-19 di era awal tahun 2020 juga berdampak pada keterlambatan diagnosis KNF. Beberapa faktor yang berkontribusi pada kondisi ini dari sisi medis diantaranya, tenaga medis yang kurang perhatian terhadap gejala awal KNF, hasil dari proses pemeriksaan penunjang untuk diagnostik yang tidak tepat, hingga rumitnya sistem rujukan maupun pembiayaan pengobatan).

Dari sisi pasien hal ini dapat disebabkan karena kurangnya pengetahuan terhadap penyakit KNF, pengalaman tidak menyenangkan di masa lalu, penolakan untuk dilakukan pemeriksaan, atau tidak patuh dalam prosesnya .

Masalah Hilir

Permasalahan tatalaksana KNF juga terdapat di hilir yaitu terapi KNF yang tidak dapat berjalan dengan maksimal. Angka kejadian penyakit yang tinggi tidak diimbangi dengan sarana dan prasarana penunjang radioterapi yang memadai, mengingat modalitas ini merupakan terapi utama pada KNF.

Di Indonesia, rumah sakit (RS) yang mempunyai pelayanan radioterapi berjumlah 49 RS, dan lebih dari 50% (28 RS) diantaranya terletak di pulau Jawa. Hal ini menyebabkan menumpuknya antrian pasien yang akan dilakukan radioterapi. Pasien memerlukan waktu setidaknya 60 sampai 115 hari sejak tegak diagnosis KNF hingga memulai radioterapi.

Dalam rentang waktu tersebut, kondisi pasien dapat berkembang menjadi stadium lanjut, sehingga sembari menunggu antrian radioterapi pasien stadium lanjut diberikan kemoterapi sebagai terapi kombinasi.

Dalam pelaksanaannya ini tentu sangat dipengaruhi oleh ketersediaan dokter spesialis telinga hidung tenggorok bedah kepala dan leher (THTBKL) subspesialis onkologi yang saat ini hanya berjumlah 64 orang di Indonesia).

Tatalaksana KNF stadium lanjut menjadi lebih rumit karena terdapat komponen psiko-neuro-imunologi yang berpengaruh terhadap perkembangan penyakit dan kondisi pasien, diikuti dengan tatalaksana yang belum komprehensif dan mencakup aspek mind-body-soul pasien secara keseluruhan.

Mengetahui betapa kompleksnya permasalahan KNF, dari faktor risiko yang sudah melekat dengan aspek mediko-sosio-kultural-ekonomi di Indonesia hingga mayoritas pasien yang datang berobat saat sudah memasuki stadium lanjut sehingga efektivitas pengobatan menjadi kurang optimal, bukan berarti tidak ada yang bisa diupayakan untuk merubah keadaan yang ada.

Berdasarkan analisis komprehensif dari hulu ke hilir, gerbang solusi pertama dan utama terletak pada deteksi dini KNF. Karenanya, perlu upaya untuk meningkatkan wawasan dan kewaspadaan masyarakat secara umum terkait gejala dini KNF, dan himbauan untuk segera mencari bantuan/mendatangi layanan kesehatan.

Selain itu. efektivitas deteksi dini di faskes primer, serta mensosialisasikan tindak lanjut yang harus dilakukan oleh tenaga medis apabila mendapati kecurigaan terhadap KNF juga perlu dikembangkan. Yang terakhir, Mengasemoga stakeholder yang berwenang, untuk melakukan analisis geospasial terkait KNF dan mendorong pengembangan pusat pelayanan kanker berdasarkan hasil analisis tersebut. *

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry