KH Masjkur Hasyim (paling kiri) dalam sebuah acara bersama Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa. (FT/IST)

“KH Maimoen Zubair atau Mbah Moen, punya banyak referensi soal istri pertama Kanjeng Nabi ini. Mbah Moen gemar mengkaji manakibnya, berikut mempopulerkan sholawat ‘Saduna Fiddunya’ yang bikin merinding pendengarnya.”

Oleh : Lia Istifhama

TIDAK mudah membiasakan menulis. Tetapi, kalau sudah terbiasa, maka, tidak ada yang sulit. Ada istilah:  Sesulit apa pun, kalau terbiasa, menjadi mudah. Semudah apa pun, kalau tidak terbiasa, menjadi sulit.

Tawaran Hari Umum Duta Masyarakat, untuk hadir setiap Edisi Senin di media cetak, ini menjadi tantangan menarik. Ini kesempatan bagi saya untuk mengunggah kembali (kisah) kehebatan para tokoh terdahulu.

Banyak kisah orang hebat yang masih tercecer, belum diketahui publik. Salah satunya Sayyidah Khadijah al-Kubro, istri Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Naskahnya sudah saya kirim ke redaksi cetak, tempo hari.

KH Maimoen Zubair atau Mbah Moen, punya banyak referensi soal istri pertama Kanjeng Nabi ini. Mbah Moen gemar mengkaji manakibnya, berikut mempopulerkan sholawat ‘Saduna Fiddunya’ yang bikin merinding pendengarnya.

Tetapi, sebelum itu, saya ingin ‘pamit dulu’ kepada Allah Yarham KH Masjkur Hasyim, ayah saya yang wafat Kamis 2 April 2020 lalu. Kebetulan, Ahad (10/5/2020) adalah tepat 40 harinya. Kebetulan juga, ayah adalah santri KH Zubair, notabene ayah Mbah Maimoen Zubair. Beliau memiliki kesukaan yang sama, berusaha mengikuti jejak para tokoh terdahulu.

Tentu, sosok pertama yang paling dikagumi adalah Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Saking gandrungnya, segala sesuatu harus disandarkan kepada Kanjeng Nabi. Sampai urusan jumlah anak. Meski, ini tidak masuk di akal.

Misalnya, ketika saya ditanya orang, berapa saudara Anda? Untuk menjawab ini, diminta ingat kepada Rasulullah. “Kami enam bersaudara. 4 perempuan dan 2 laki-laki, seperti halnya putra-putri Rasulullah dengan Siti Khadijah al-Kubro ra.,” demikian jawaban saya.

Selain santri Almaghfurlah KH Zubair, ayah saya juga santri Almaghfurlah KH Wahab Chasbullah, muassis Nahdlatul Ulama (NU), Tambakberas, Jombang. Lantaran besar di pondok pesantren, membuatnya mudah menguasai banyak kitab klasik. Hari-harinya sering diisi dengan membaca kitab-kitab hadits, seperti Shahih Bukhari.

Pesannya semakin kuat setelah wafat. Kepergiannya membuat saya berani membuka kitab-kitab itu. Dan, ternyata, banyak lipatan dalam kitab-kitab tersebut. Ini pertanda tidak sekedar membaca sebuah buku atau kitab, melainkan mengkaji secara teliti terkait hal-hal tertentu.

Pas, jika dikaitkan dengan kegiatan hari-harinya sebagai muballigh. Kekuatan hafalannya pun membuat orang di sekitarnya mudah bertanya. Saya sering memanfaatkan itu, ketika kesulitan mencari hujjah terkait sabda Kanjeng Nabi.

Upayanya untuk menjadi orang yang sabar, mengikuti jejak ulama salaf, patut diikuti. Salah satu sifat yang ingin dijauhi adalah marah. Sebagai anak, nyaris tidak pernah menemukan kapan dia marah. Wajahnya selalu berseri, sebagaimana wajah Mbah Moen, Mbah Zubair dan Mbah Wahab Chasbullah yang, selalu berusaha meniru Kanjeng Nabi.

Ayah saya (KH Masjkur Hasyim red.) tergolong orang ‘gak mentoloan’ (mudah luluh hatinya red.). Memasuki usia senja, jiwa sosialnya semakin besar. Ini membuat keluarga, kadang, ewuh-pakewuh. Faktanya, memang, sulit dibendung, karena jiwa sosial itu, sudah terpatri kuat sejak belajar di pondok pesantren.

Melalui kolom ini, saya ingin meneruskan tradisinya: Berdakwah. Kalau dia jejuluk ‘singa podium’, karena aktivitas dakwah yang tiada henti, berani menyampaikan yang haq meski harus mengoreksi pemilik kebijakan, maka, kolom ini hanyalah tempat bercermin kepada manusia-manusia hebat terdahulu.

Semoga dari kolom ini, ada kebaikan yang terus mengalir kepadanya, kepada guru-gurunya, kepada para masyayikh dan, tentu, kepada keluarga kita yang telah menghadap Allah SWT. Amin. (*)

Lia Istifhama adalah pembina Raudlatul Banin wal Banat Al-Masykuriyah.
Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry