SURABAYA | duta.co- Ansor bersama media online duta.co menggelar dialog publik membahas Khilafah ala Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Kantor Duta.Co Graha Astranawa Jl. Gayungsaro Surabaya Rabu 24 Mei 2017 pagi ini.

Dialog publik ini bertema “Benarkah Khilafah HTI Agenda Rasulullah SAW?” Untuk itu hadir sebagai pembicara Dr KH Imam Ghozali Said MA, pengasuh pondok pesantren mahasiswa An Nur Surabaya, Dr Achmad Murtafi Haris Lc, M.Fil alumni Al Azhar Kairo Mesir yang juga dosen UINSA Surabaya, dan HM Faridz Afif S.Ip M. AP Ketua PC Ansor Surabaya.

Para pembicara membahas sejarah sistem pemerintahan negara yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. Sistem pemerintahan tentu sangat penting dalam menata masyarakat sehingga Nabi SAW mestinya memberi model yang pasti pula. Tapi benarkah itu khilafah ala HTI? Ya, itulah yang akan dibahas oleh tiga pembicara bersama para peserta dialog dari berbagai kalangan yang hadir di Graha Astranawa pagi ini hingga siang nanti.

Namun, bila melihat sekilas sejarah, khususnya sistem yang dijalankann Nabi Muhammad Saw selama di Madinah sebenarnya cenderung mirip dengan sistem pemerinhan konfederasi, di mana kepala-kepala suku tetap berkuasa dalam komunitas sukunya dan menentukan sistem administrasi yang dikehendaki baik dalam memilih maupun dalam menentukan kebijakan. Nabi SAW tidak ikut campur terhadap urusan internal setiap suku dan sepenuhnya menyerahkan kepada kepala-kepala sukunya untuk mengatur urusan masyarakatnya sendiri.

Yang menjadi perhatian Nabi SAW adalah bagaimana setiap kepala suku mewujudkan masyarakat yang Islami yang menghormati hak-hak asasi manusia dan perlindungan terhadap kaum dhuafa serta perhatian pada kaum fakir miskin dan kaum wanita. Posisi Nabi Muhammad Saw di kalangan kepala suku bukanlah khalifah atau Amir atau raja akan tetapi Beliau adalah guru (muallim) kepada semua kepala-kepala suku termasuk suku yang belum menganut Islam atau agama lain di Madinah.

Kepala suku dan tokoh agama tetap berkuasa dalam lingkungannya dan mengatur masing-masing urusan dalam sukunya tanpa keterlibatan Rasulullah SAW. Pelaksanaan hukum dalam satu komunitas suku tetap mengacu kepada kebiasaan setiap suku dalam menyelesaikan persoalan yang muncul dalam setiap komunitasnya.

Nabi SAW hanya mengarahkan dan mengajarkan tentang penyelesaian setiap kasus yang didasarkan pada ajaran-ajaran Islam. Sistem ini seperti yang dikatakan di atas adalah sama dengan sistem pemerintahan konfederasi. Biasanya dengan solusi Islami, umat non-muslim akhirnya masuk Islam.

Ketika Abu Bakar Assiddiq hingga Ali Bin Abi Tholib menjadi khalifah, mereka tetap mengikuti gaya Rasulullah Saw dalam menjalankan kekuasaannya. Karena wilayah Islam telah meluas ke benua Afrika dan wilayah Persia maka para khalifah menunjuk Gubernur-Gubernur di setiap wilayah untuk mengatur urusan dalam wilayah tersebut. Sistem yang dijalankan oleh para Khulafaurrasyidin ini sama dengan sistem yang dijalankan oleh sejumlah negara di dunia ini termasuk Indonesia.

Artinya Khalifah dipilih setelah dibaiat oleh umat dan Ahlul Halli wal Aqd dan menunjuk Gubernur-gubernur di setiap wilayah dan selanjutnya Gubernur-Gubernur ini menunjuk pembantu-pembantunya untuk mengurus wilayah yang telah dibagi-bagi.

Jika sistem yang dijalankan oleh Khulafaurrasyidin mulai dari Abu Bakar hingga Ali bin Abi Tholib seperti yang disebutkan di atas, maka tidak ada yang membedakan dengan sistem yang dijalankan saat ini di beberapa negara termasuk di negara-negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Lalu apa yang membedakan pemerintahan Khilafah dengan pemerintah non-Khilafah?

Pada dasarnya tidak ada perbedaan inti dalam sistem Khilafah yang dijalankan oleh para Khulafaurrasyidin dengan sistem yang dijalankan oleh pemerintahan di beberapa negara saat ini. Yang membedakan hanya substansi saja tapi metode sama saja.

Jika pada era Khulafaurrasyidin menjadikan Islam sebagai undang-undang dalam bernegara seperti hukum Kriminal maka pemerintahan sekarang memiliki dasar falsafah yang berbeda tetapi bentuk Khilafah dengan bentuk pemerintahan saat ini sama saja.

Semestinya para pendukung berdirinya negara Khilafah seperti HTI tidak mesti berjuang apalagi menjadi teroris dan mendesakan kebenaran ala dirinya untuk mencapai tujuannya karena bentuk pemerintahan yang diinginkan sebenarnya sudah di depan mata, mereka tinggal mengisi dan memanfaatkan peluang tersebut.

Undang-undang negara dimanapun di dunia ini termasuk di Indonesia yang sudah mengadopsi sistem demokrasi di mana setiap warga negara memiliki hak memilih dan dipilih merupakan sebuah kesempatan emas untuk maju menjadi pemimpin.

Jika menang dalam pemilihan maka ini sebuah kemajuan konkrit yang dicapai oleh kelompok pendukung negara Khilafah. Artinya melalui kepemimpinanya ia dapat mengimpelementasikan esensi-esensi Islam tanpa harus merubah Konstitusi dan Undang-Undang Dasar Negara yang sudah menjadi komitmen bersama karena Islam sendiri tidak mempersoalkan bentuk dan falsafah negara yang penting substansinya tidak berbeda dengan esensi-esensi Islam. Tapi mengapa HTI ngotot ingin khilafah? Jawabannya jelas ada tujuan politis. * ud

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry