Sri Mulyani (ist)

JAKARTA | duta.co – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indarwati meminta aparat penegak hukum terus mengejar sejumlah obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang belum memenuhi kewajibannya.

“Pada dasarnya, kewajibannya belum dipenuhi. Apalagi setelah ada perjanjian antara obligor dan pemerintah, namun mereka belum juga memenuhi jumlah kewajibannya, ya harus dikejar,” ujar Sri di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (26/4).

Sri Mulyani mengaku bahwa dirinya sudah sering berkoordinasi dengan Polri, Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga International Criminal Police Organization (Interpol). “Kita kan selama ini menyampaikan bahwa itu masalah law enforcement,” ujar Sri Mulyani. “Kami selalu menyampaikan data-data yang diperlukan mereka,” imbuhnya.

Dia mengingatkan bahwa para obligor itu juga harus membayar bunga likuiditas yang pernah dipinjamnya. “Itu disertai dengan bunganya ya. Karena ini kan kejadiannya sejak 20 tahun yang lalu,” ujar Sri. Meski demikian, Sri Mulyani mengaku lupa berapa nilai yang harus dipenuhi para obligor kepada negara tersebut.

Sebelumnya, KPK membuka kembali penyidikan perkara korupsi BLBI, dan menetapkan mantan Kepala BPPN Syafrudin Temenggung sebagai tersangka pada Selasa (25/4/2017). Perkara korupsi BLBI berawal dari dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 oleh Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri.

Berdasarkan Inpres itu, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) mengeluarkan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada penerima (obligor) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengungkapkan, sebelum SKL diterbitkan, Syafrudin Arsyad Tumenggung selakuketua BPPPN meminta Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) mengurangi nilai yang harus dikembalikan obligor.

Hasilnya, kewajiban obligor yang tadinya senilai Rp 4,8 triliun berkurang menjadi Rp 1,1 triliun saja. Sementara itu, nilai Rp 3,7 triliun sisanya tidak dibahas dalam proses restrukturisasi. “Sehingga seharusnya masih ada kewajiban obligor setidaknya Rp 3,7 triliun yang masih belum ditagihkan,” ujarr Basaria di Gedung KPK, Selasa (25/4).

Meski tagihan kurang, Syafrudin tetap mengeluarkan SKL bagi obligor bernama Sjamsul Nursalim pada 2004. KPK menduga kuat ada tindak pidana dalam proses penerbitan SKL tersebut.

Basaria juga mengungkapkan terkait keluarnya Inpres No 8/2002, kebijakan itu bisa saja menjadi tindak pidana korupsi apabila dalam proses yang berjalan muncul adanya suatu manfaat yang diambil oleh orang yang mengeluarkan kebijakan.

Manfaat atau keuntungan itu bisa untuk kepentingan diri sendiri, kelompok atau orang lain. “Kemungkinan bisa saja, tapi sampai hari ini kami fokus ke tersangka SAT, yang seharusnya dibayar dulu Rp 4,8 triliun, baru ada SKL,” kata Basaria.

Basaria juga memastikan dan berjanji pengusutan kasus ini tidak hanya berhenti dengan penetapan Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka. Syafruddin akan menjadi pintu masuk untuk membongkar kasus ini dan menetapkan tersangka lain.

“Pengusutan kasus SKL BLBI pastinya tidak akan berhenti sampai di sini (penetapan Syafruddin sebagai tersangka),” tegasnya.

 

Jokowi Bela Megawati

Sementara itu, Presiden Joko Widodo menilai Inpres yang pernah diterbitkan Megawati Soekarnoputri dalam persoalan Bantuan Liquiditas Bank Indonesia (BLBI) tidak bermasalah. Sebab, hal itu merupakan kebijakan. Jika pelaksanaan melenceng dari kebijakan, itu masalah lain lagi.

Instruksi dari Presiden Megawati yang dimaksud Jokowi adalah Inpres Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum Kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham.

Hal itu diungkapkan Jokowi saat menyikapi penetapan tersangka mantan Kepala BPPN Syarifuddin Arsyad Temenggung oleh KPK. Syarifuddin terjerat kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia terhadap Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) tahun 2004.

“Bedakan, yang paling penting bedakan. Mana kebijakan dan mana pelaksanaan. Ya Keputusan Presiden, Peraturan Presiden, Instruksi Presiden itu adalah sebuah kebijakan. Itu kebijakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada. Pelaksanaan itu wilayah yang berbeda lagi. Tapi detail itu tanyakan ke KPK,” kata Jokowi usai membuka acara Inacraft 2017 di Jakarta Conventional Centeri, Rabu (26/4).

 

BPK Siap Bantu Data

Sementara itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) siap membuka pintu selebar-lebarnya bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk berkoordinasi menangai kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Data terkait kasus ini disebut masih lengkap di BPK. “Data masih lengkap, masih ada,” kata Ketua BPK Harry Azhar, Rabu (26/4).

Harry menjelaskan, memang sudah menjadi kewenangan dari KPK untuk membuka kembali kasus korupsi BLBI, khususnya pada objek tertentu. Dalam hal ini, BPK hanya membantu dalam perhitungan kerugian negara akibat kasus tersebut.

Harry memprediksi sudah ada koordinasi dari peyidik KPK denga auditor BPK untuk mendapatkan data lengkap dari kasus ini. Pembicaraan tersebut masuk dalam hal teknis kedua lembaga. Meski demikian, jika memang KPK membutuhkan secara langsung bantuan dari BPK untuk data BLBI, Harry menyebut, pihaknya akan membantu KPK semaksimal mungkin sehingga kasus ini bisa terselesaikan. hud, viv, tri

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry