SURABAYA | duta.co – Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi menegaskan bahwa dirinya siap merancang “Kawasan Langgar Gipo” di Jalan Kalimas Udik, Ampel, Surabaya, sebagai bagian dari “kota lama” di Surabaya yang akan dicanangkan pada HUT Kota Surabaya pada Mei 2024.

“Apa yang kita nikmati sekarang itu tidak terlepas dari mbah buyut yang mbabat alas kota ini,” kata Eri saat menerima Ketua Yayasan IKSA/KH Hasan Gipo, HA Wachid Zein, di Balai Kota Surabaya, Senin.

Saat menerima Ketua Yayasan IKSA (Insan Keturunan Sagipoddin), Sekretaris IKSA H Ach Hifni, dan dzurriyah Hasan Gipo lainnya, Eri didampingi jajaran dari dinas kebudayaan dan dinas cipta karya.

Menurut Wali Kota, sesepuh yang menjadi “cikal bakal” Kota Surabaya adalah para dzurriyah/keturunan Sunan Ampel, diantaranya mbah KH Hasan Gipo (Ketua Umum PBNU pertama) dan mbah/kakek lainnya.

“Karena itu, saya ingin mengembangkan Langgar Gipo di Jalan Kalimas Udik I, Nyamplungan, Ampel, Surabaya menjadi Kawasan Langgar Gipo untuk menghormati para kakek dan guru-guru kita,” katanya.

Kepada Yayasan IKSA dari “dzurriyah” KH Hasan Gipo, Wali Kota Eri Cahyadi meminta izin dan restu untuk membangun. “Saya akan bangun sebagai cagar budaya, nanti kalau bangunan sudah jadi, kunci akan saya serahkan kepada dzurriyah untuk pengelolaannya,” katanya.

Dalam kesempatan itu, ia juga meminta sinergitas jajaran Pemkot Surabaya dengan Yayasan IKSA untuk mengembalikan rancangan Langgar Gipo ke bentuk aslinya.

“Langgar Gipo itu sangat bersejarah, karena tidak hanya ada langgar/musholla, tapi juga ada sumur penggemblengan Arek-Arek Suroboyo, bunker, dan lantai atas untuk tempat singgah jamaah haji saat masih pakai kapal laut. Lantai atas akan kita jadikan museum dan ruang pertemuan bagi pengunjung/wisatawan,” katanya.

Menanggapi rencana Wali Kota Eri Cahyadi itu, Ketua Yayasan IKSA/KH Hasan Gipo, HA Wachid Zein, menyampaikan terima kasih atas perhatian dan dukungan Pemkot Surabaya pada Langgar Gipo.

“Kami siap diajak rembukan/koordinasi, karena Langgar Gipo memang tidak hanya memiliki bentuk fisik sebagai tempat ibadah yang menjadi milik keluarga, tapi Hasan Gipo itu milik umat atau warga kota, jadi kami berterima kasih karena mbah Hasan Gipo memang memiliki ikatan sejarah yang kuat dengan kota ini,” katanya.

Langgar Sagipodin/Gipo didirikan oleh keluarga Sagipoddin sekitar tahun 1700-an oleh Tsaqifuddin (tsaqif/perintis ad-din/agama) atau H. Abdul Latif bin Kamal bin Kadirun, seorang saudagar/pedagang kaya di kawasan kampung elit Ngampel. Langgar Sagipodin dibangun dengan kayu jati kuno dan tegel terakota.

Langgar Sagipoddin baru direnovasi ulang sekitar tahun 1800-an, memiliki 2 lantai dan berdiri di atas lahan sekitar 100 meter persegi. Hasan Gipo tak banyak ditulis dalam sejarah perjuangan bangsa, karena situs makam Hasan Gipo baru ditemukan di kompleks pemakaman Ngampel pada tahun 2015.

Langgar Gipo bukan hanya tempat sholat, tapi juga tempat berkumpul para Kyai dan tokoh pergerakan, seperti Kyai Wahab Hasbullah, KH. Mas Mansur, Hasan Gipo, HOS Tjokroaminoto, dan Soekarno. Dari langgar ini berdiri “Tashwirul Afkar” yang merupakan cikal bakal NU (Nahdlatul Ulama), Nahdlatul Wathon dan Nahdlatut Tujjar. (*)