FOTO ATAS: KH Ghofar dan Prasasti Empu Sindok. FOTO BAWAH: Para Bupati Sidoarjo yang bermasalah dengan KPK (FT/detikcom)

SIDOARJO | duta.co – Miris! Membaca komentar warganet (instragram) Sidoarjo terkait dugaan korupsi Bupati Sidoarjo H Ahmad Muhdlor Ali (Gus Muhdlor) benar-benar miris. Apalagi disambung dengan jeratan korupsi bupati sebelumnya, Win Hendarso dan Saiful Ilah.

Begitu pun komentar mereka terkait penunjukan Wakil Bupati Sidoarjo, Subandi sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Bupati Sidoarjo, Rabu (8/5/2024) tak kalah miris. Warganet masih ragu, bupati berikutnya lebih bersih. Mengapa ‘Kursi Bupati Sidoarjo’ semakin panas?

“Tragis, memang. Bagaimana tidak, kursi ‘panas’ Bupati Sidoarjo sudah makan korban 3 orang (pucuk pimpinan) berturut-turut. Semuanya, orang nomor satu (1) di kabupaten ini. Apa ini karena kelalaian? Atau ketidakmampuan personal?” tanya KH Abdul Ghofar, tokoh NU Sidoarjo dengan dana heran, Rabu (8/5/24).

Selain itu, ia juga menyoal. Apakah kerusakan ini karena buruknya manajemen? Atau unstabilitas lingkungan birokrasi? Pejabat yang suka gencet sana, gencet sini. “Atau faktor kutukan Empu Sindok? Waallahu’alam,” begitu disampaikan KH Abdul Ghofar, tokoh nahdliyin Sidoarjo dengan dana heran, Rabu (8/5/24).

Menurut KH Ghofar, meski pengadilan Tipikor sudah ketuk palu, atau sudah inkracht sekalipun, yang sudah pasti, baik Pak Win (Win Hendarso), Abah Saiful (H Saiful Ilah), Gus Muhdlor, tidak merasa bersalah. “Saya pun haqul yakin  mereka tidak menikmati serupiah pun uang rakyat yang dituduhkan Jaksa Tipikor,” katanya.

Tetapi, lanjutnya, karena duduk di kursi bupati itulah yang membuat dia harus ikhlas  tidur di Lapas bertahun-tahun. “Bagaimana dengan Gus Muhdor? Saya masih yakin dia tidak beda dengan pendahulunya. Tidak menikmati tuduhan jaksa Tipikor,” terangnya.

Nah, untuk menghindari itu semua, maka, banyak hal perlu diperhatikan. Pertama, jangan pernah lupa, bahwa, jabatan adalah amanah. Kedua, perbaiki manajemen, jangan masuk jebakan batman. Ketiga, hindari unstabilitas di lingkungan birokrasi. Jangan sampai tumbuh keinginan birokrasi, budaya ‘gencet sana, gencet sini’. “Gus Muhdlor harus terpelanting karena disangka terima uang dari anak buahnya,” pungkas KH Ghofar.

‘Sambung’ Empu Sindok

Tidak berlebihan kalau ada yang mengaitkan dengan kutukan empu Sindok, yang konon punya nama asli Sri Maharaja Rake Hino Empu Sindok Sri Isanawikrama Dharmottungadewa.

Empu Sindok dalam kisahnya adalah raja terakhir dari dinasti Sanjaya yang memerintah kerajaan Mataram dari Jawa Tengah pada abad ke 10 Masehi. Dalam catatan sejarah, Empu Sindok diyakini merupakan figur yang memindahkan pusat kerajaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur pada tahun 929 Masehi.

Dalam prasastinya yang ditemukan, memang, menyinggung nama-nama daerah dan tokoh utusan yang saat itu diperintahkan Empu Sindok sebelum bangunan diresmikan. Dalam prasasti bertuliskan aksara Jawa kuno ini, Empu Sindok terlihat tidak semena-mena membangun di atas lahan masyarakat sebelum dibeli.

Setiap prasasti Empu Sindok, konon berisikan kutukan bagi yang tidak mematuhi aturan penguasa. Biasanya naskah kutukan terletak di sisi sebelah kanan prasasti. Kutukan seperti itu lazim pada sebuah prasasti. Ada pun inti dari kutukan Empu Sindok adalah ‘terkutuk’ penguasa yang sewenang-wenang. Dan, bahkan disebutkan matinya begitu mengerikan. Waallahu’alam. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry