Surokim Abdusshomad dan Surabaya Survey Center (SSC), Mochtar W Oetomo. (FT/DUTA.CO/SUUD)

SURABAYA – Peluang poros baru di Pilgub Jatim kian tipis, seiring dengan opsi DPW PAN Jatim yang lebih memilih mendukung salah satu pasangan calon yang sudah muncul yakni pasangan Gus Ipul-Anas atau pasangan Khofifah-Emil.

“Potensi membuat poros baru di Pilgub Jatim tinggal 20 persen, 80 persen suara parpol-parpol di Jatim di luar PAN dan Gerindra sudah ikut poros Gus Ipul atau Khofifah. Kemungkinan besar PAN juga akan ikut bergabung dalam poros yang sudah ada sebab komunikasi politik dengan paslon maupun parpol sudah terjalin baik,” ujar Bendahara DPW PAN Jatim, Agus Maimun, Rabu (20/12/2017).

Di antara kendala membentuk poros baru di Pilgub Jatim, kata Agus adalah belum adanya titik temu antara para kandidat calon dengan bakal calon pasangan maupun dengan koalisi partai pengusung.

“PAN Jatim punya banyak calon seperti Pak Masfuk, Kang Yoto dan Anang Hermansyah tapi calon pasangannya tidak mau, padahal partai pengusung sudah siap mengusung atau sebaliknya, bakal calonnya mau tapi tak dikehendaki partai pengusung, variabel penentunya banyak,” ungkapnya.

Sementara ditanya soal dukungan terhadap La Nyalla Mattalitti, dengan lugas Agus Maimun menyatakan bahwa partai memiliki mekanisme untuk mengusung calon. Namun hingga saat ini La Nyalla enggan silaturrahim dan membangun komunikasi politik dengan DPW PAN Jatim. Padahal DPP sebelum mengeluarkan rekom paslon, tentu minta masukan DPW.

“La Nyalla hanya melakukan komunikasi personal dengan sejumlah pengurus sehingga itu tak masuk mekanisme internal partai. Kalau dia serius harusnya silaturrahim dengan DPW dan memaparkan visi-misi dihadapan kader PAN Jatim. Itu juga pernah dilakukan Pakde Karwo saat mau maju Pilgub Jatim 2008 dan 2013 lalu,” sindir politisi asli Tuban ini.

Dukungan PAN Jatim untuk Pilgub Jatim 2018, secara resmi akan diberikan saat pendaftaran paslon di KPU Jatim yang dijadwal dilaksanakan pada 8-10 Januari 2018. “Dengan Gus Ipul, PAN sudah bekerjasama cukup lama dan selama ini komunikasinya berjalan baik. Begitu pula dengan Emil Dardak, PAN punya sejarah di Trenggalek. Tunggu saja, tinggal didefinitifkan antara 8-10 Januari nanti,” dalih Agus Maimun.

Terpisah, pengamat politik dari Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Surokim Abdusshomad mengatakan jika serius maju mewujudkan poros emas di Pilgub Jatim, maka komunikasi DPP khususnya Partai Gerindra  dengan PAN serta PKS harus semakin intens karena waktu juga terus mendekati pendaftaran, dan calon yang diajukan juga harus bisa menarik serta memiliki daya magnitute bagi koalisi dan memiliki peluang kompetitif dengan paslon yang sudah ada.

“Kalau akhirnya poros emas tidak bisa diwujudkan, maka Gerindra akan mengalami kerugian besar. Sebagai partai pemegang 13 kursi parlemen di Jatim, jika bergabung ke salah satu poros yang sudah ada itu artinya Gerindra hanya akan menjadi follower dan tidak ikut menentukan serta tidak akan mendapat coatile effect elektoral signifikan di Pileg dan Pilpres,” beber Surokim.

Diakui Surokim, jika PAN cenderung memilih bergabung ke salah satu paslon yang sudah ada, itu artinya terbuka peluang Gerindra sendirian. “Kalau momentum tidak kunjung datang Gerindra bisa menuai akibat dari politik delay yang dimainkan DPP dan itu bisa jadi kerugian,” tambah Dekan Fisip UTM.

Apalagi politik last minute untuk dapat momentum rebound tidak selalu bisa datang manis di kala waktu sudah semakin mepet, bahkan bisa jadi ketinggalan kereta karena bagaimanapun Gerindra tetap membutuhkan koalisi untuk mengusung calon tidak mungkin sendirian.

“Kesempatan itu terus mengecil karena politik delay yang dimainkan DPP, sementara perkembangan politik di tingkat lokal sangat dinamis. Gerindra sebagai partai komando jika tidak gesit berpacu dengan waktu akan ketinggalan kereta,” kelakar Surokim.

Sebaliknya, pengamat politik dari Surabaya Survey Center (SSC), Mochtar W Oetomo mengibaratkan upaya poros tengah mengusung paslon di Pilgub Jatim itu seperti Bandung Bondowoso yang harus menyelesaikan seribu candi dalam satu malam. “Kelihatannya muskil bahkan saat itu seluruh rakyat Kerajaan Baka sengaja keluar rumah bukan untuk menyemangati Bandung Bondowoso tapi justru bersiap-siap untuk meledek kegagalannya,” ungkap Mochtar.

Namun siapa sangka menjelang fajar, Bandung Bondowoso bisa menyelesaikan 999 candi sehingga membuat jantung seluruh rakyat Kerajaan Baka berdenyut dengan cepat. “Artinya, politik itu begitu dinamis dan fluktuatif, dan bahkan turbulen sehingga hitungannya tidak lagi bulan dan minggu tapi perubahan bisa saja terjadi dalam hitungan jam. Apa yang tak mungkin bisa saja menjadi mungkin,” kelakar Mochtar.

Dia mengingatkan, Pilgub DKI Jakarta dulu juga injury times munculnya pasangan AHY-Sylvi. Kemudian siapa sangka di Pilgub Jabar, Gerindra merekom Sudrajat, dan rekom Golkar Jabar kepada Ridwan Kamil dievaluasi.

“Bisa jadi La Nyalla gagal memenuhi surat tugas sesuai batasan hari, tapi itu bukan akhir cerita karena masih ada waktu sampai tanggal 10 Januari batas masa pendaftaran bagi Gerindra untuk merajut komunikasi politik dengan parpol lain, toh NasDem, PPP, PAN  dan PKS hingga saat ini belum turunkan rekom resmi,” jelasnya

Menurutnya kebanyakan yang dipikirkan orang adalah jika poros tengah wujud. Hanya sedikit orang yang memikirkan apa dampaknya jika poros tengah tidak terwujud hanya karena gagal terbentuk koalisi parpol.

“Akankah menjadi amarah Bandung Bondowoso yang mengutuk Roro Jonggrang jadi batu? Mudah-mudahan saja tidak menjadi gejolak baru dan Pilgub Jatim tetap akan berjalan dengan aman dan menghibur masyarakat,” pungkas Mochtar.

Entah, yang jelas, menurut sumber duta.co, kalau gagal membentuk poros emas, maka, Gerindra lebih memilih parkir. Masuk akal, minimal tidak ikut keok dalamm pertandingan yang sudah semakin jelas siapa pemenangnya ini.  (ud)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry