Mukhlas Syarkun

“Lengkap sudah, publik pun ijma (sepakat) menilai polisi perlu direformasi, dikembalikan pada khittahnya menjadi pengayom masyarakat, alat Negara. Bukan alat kekuasaan.”

Oleh Mukhlas Syarkun

BELAKANGAN, perbincangan publik mengarah pada institusi polisi yang sudah dianggap salah arah. Ini tentu petaka bagi institusi alat (penegak hukum) negara.

Mula-mula penilaian miring soal polisi itu terbatas hanya di kalangan aktivis demokrasi, karena mereka melihat polisi sudah dinilai tidak menjalankan fungsinya sebagai alat negara, melainkan sebagai alat kekuasaan. Hal ini bisa menjadi ancaman bagi masa depan demokrasi, sekaligus pintu awal menjadi tirani.

Namun penilian itu tidak massif, bahkan sifatnya parsial karena menyentuh Pilpres, sehingga pihak yang diuntungkan tindakan polisi yang melanggar konstitusi, itu cenderung menutupi.

Walhasil, perkara ini hanya menjadi keprihatinan kelompok masyarakat yang prihatin atas masa depan demokrasi Indonesia, apalagi kita tahu indek demokrasi kita terus mengalami penurunan.

Masalah berikutnya yang menimpa polisi ketika terlibat dalam pembunuhan laskar FPI. Tindakan polisi  di kalangan aktivis hak asasi manusia, dianggap pelanggaran HAM,  namun lagi lagi isu itu juga tidak nendang, sebab masyarakat terbelah, rata rata pendukung pemerintah membenarkan tindakan polisi tersebut, bahkan ada oknum tokoh ormas Islam juga ikut-ikutan membenarkan tindakan polisi yang oleh pegiat hak azasi adalah pelanggaran HAM.

Nah, baru peristiwa SAMBO publik suara kompak, bersikap sinis dan apatis terhadap institusi polisi. Apalagi  muncul isu Konsorsium 303 dan laporan PPATK soal dana yang tidak jelas rimbanya, jumlahnya pun fantastis, sementara masyarakat pada umumnya tengah didera soal ekonomi yang datang silih berganti, maka kemarahan pada polisi sampai di ubun-ubun.

Kini, polisi semakin jadi bulan bulanan publik, menyusul tragedi yang menimpa Arema Malang. Bisa dipahami, ratusan anak bangsa meregang nyawa. Mayoritas menyalahkan polisi karena dianggap represif mengatasi keributan di lapangan.

Kini lengkap sudah, public pun ijma (sepakat) menilai polisi perlu direformasi, dikembalikan pada khittahnya menjadi pengayom masyarakat, alat Negara, bukan alat kekuasaan, sebagaimana yang diinginkan Gus Dur ketika memisahkan polisi dari tentara.

Tentu langkah yang paling fundamental untuk dilakukan adalah jangan lagi  menyeret-nyeret polisi dalam ranah politik kekuasaan, karena hal itu berpotensi polisi mengingkari sumpahnya dan janjinya, sementara sumpah itu akan membawa petaka dan karma jika diingkari. Bukankah demikian???

Jakarta 3 Oktober 2022

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry