Basuki Tjahja Purnama (Ahok) tidak bisa kembali menjadi gubernur DKI Jakarta meski mendapatkan status tahanan kota. (FT/IST)

JAKARTA | duta.co – Tuntutan pendukung Ahok agar terdakwa penistaan agama ini dilepaskan dan menjadi Gubernur DKI lagi, semakin sulit terpenuhi. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyebut Basuki Tjahja Purnama (Ahok) tidak bisa kembali menjadi gubernur DKI Jakarta meski mendapatkan status tahanan kota. Status tahanan yang melekat pada Ahok menjadi kendala.

“Saya orang hukum tapi bukan pakar, kita tunggu dulu. Karena keputusan kemarin itu menjadi satu bagian dihukum dua tahun dan penahanan,” kata Tjahjo Kumolo di Istana Kepresidenan, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Jumat (12/5/2017).

“Misalnya, banding diputuskan tahanan kota, saya nggak melihat bebasnya, nggak melihat kotanya. Ditahan. Soal ditahan, ditahan di Cipinang, ditahan di Brimob, ditahan di Kota, tahan kampung, tahan RW, kan ditahan,” sambungnya secara serius.

Menurutnya, status tahanan yang melekat kepada Ahok membuatnya tidak bisa menjalankan tugas-tugas pemerintahannya. Pada kesempatan itu, Tjahjo berharap salinan resmi keputusan pengadilan soal Ahok dapat diterima hari ini (Jumat).

“Kalau hari ini (Jumat red.) minimal dapat nomornya saja, mungkin hari ini sudah bisa diberhentikan sementara. Sampai hukum tetap, apakah banding, ataukah nanti ada tahap lain,” terangnya.

Proses pelantikan Djarot Saiful Hidayat sebagai plt gubernur untuk menggantikan Ahok yang dilakukan cepat setelah putusan pengadilan karena pemerintah menginginkan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat Jakarta tetap berjalan. Apalagi, wakil gubernur tidak dapat menandatangani surat-surat penting.

“Bahwa seseorang kepala daerah yang ditahan dia tidak berwenang untuk menjabat, maka ditunjuk wakilnya. Kalau wakil nggak ada bisa Sekda, atau kami bisa menunjuk eselon satu di Depdagri,” kata Tjahjo.

Kondisi ini juga harus disadari oleh pendukung Ahok. Menurut Hersubeno Arief, Konsultan Media dan Politik, kondisi sekarang ini sudah semrawut. Emosi pendukung Ahok bisa dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk melampiaskan kekalahannya dengan cara tiji tibeh, alias mati siji mati kabeh (mati satu mati semua).

“Ada kelompok-kelompok tertentu yang memanfaatkan para pendukung Ahok untuk menerapkan strategi yang dikenal sebagai Tiji tibeh. Mati siji, mati kabeh. Alias kalau gua nggak dapet, lu juga gak boleh dapet. Kalau gua mati, lu semua pade juga harus mati,demikian analisa Hersu panggilan akrabnya sebagaimana diwartakan swamedium.com.

Mantan wartawan Majalah Editor ini kemudian merujuk aksi para pendukung Ahok di depan Rutan Cipinang dan kemudian pindah ke depan Markas Komando (Mako) Brimob di Kelapa Dua, Depok. Mereka melakukan unjuk rasa yang menabrak semua aturan. Dari pagi sampai tengah malam. Dan itu semua dibiarkan oleh aparat kepolisian.

“Namanya juga sesuatu yang berlebihan pasti akan ada yang menabrak aturan, offside. Salah seorang pendukung Ahok melakukan orasi yang mengecam rezim Jokowi lebih buruk dari rezim SBY. Ehemmm…. Sikap Ahoker bernama Veronica Koman Lia —yang semula diduga Veronica Tan istri Ahok— ini membuat Mendagri Tjahjo Kumolo berang dan mengancam akan mengejarnya sampai dapat,” jelasnya.

Tapi, lanjut Hersu, sikap Mendagri menuntut Veronica Koman meminta maaf, mestinya cukup. Tapi menjadi tidak benar ketika Mendagri menyebar identitas e-KTP Veronica ke media. Ini juga offside.

“Di dunia maya aksi para pendukung Ahok lebih mengerikan lagi. Mereka melakukan peretasan sejumlah situs. Salah satunya adalah situs milik Tempo. Padahal seperti diakui oleh pendiri Tempo Gunawan Muhammad, Tempo adalah sarang Ahoker. Ini kalau di kalangan anak gaul namanya PMP, P(f)riend makan P(f)riend. Teman makan teman,” tambahnya.

Di sini, lelaki asal Lampung ini berpesan: “Nah strategi ini yang paling berbahaya. Ahok dan keluarga serta para pendukungnya harus super hati-hati, super waspada. Jangan terlena dengan berbagai sanjungan, puja puji dan aliran karangan bunga. Semua itu bukan pujian yang tulus. Jangan mau dijadikan korban dan kemudian dieksploitasi. Ada kekuatan besar yang tengah mengintai dan menjadikan Anda sebagai sarana mereka untuk mencapai tujuan.”

Menurut Hersu akan lebih baik Ahok tetap di dalam tahanan Mako Brimob. Lebih aman. Jangan mau dilakukan penangguhan penahanan, untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk. Kalau perlu pengamanan di Mako Brimob khusus untuk Ahok malah harus ditingkatkan.

“Semua kekuatan politik, seluruh elemen masyarakat, semua pemuka agama harus ikut menyadarkan adanya bahaya besar yang sedang mengintai. Jangan lagi menganggap unjuk rasa Ahoker sebagai bercanda dan main-main. Mereka dimanfaatkan jadi pintu masuk, sementara mereka tidak menyadari skenario besar yang akan memanfaatkan mereka,” tulisnya.

Walhasil, polisi pun harus bertindak cepat, tidak boleh membiarkan aksi yang melanggar aturan. Jangan sampai ada kesan aksi Ahoker dibiarkan. Akhirnya aksi unjuk rasa yang digelar pendukung Ahok di depan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Jumat (12/5) harus berhadapan dengan water canon lantaran tidak membubarkan diri, meski telah melewati batas waktu menggelar unjuk rasa yang ditentukan.

“Harap bapak ibu pulang ke rumah masing masing, kami menghargai penyampaian pendapat bapak ibu, tapi ini sudah melebihi waktu,” ujar Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Suyudi Ario Seto di lokasi. (hud,dt)

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry