Ilhann saat berkhutbah di Jepang. DUTA/ist

SURABAYA | duta.co – Menjadi seorang khatib di Jepang tidak pernah terlintas dibenak Mokhammad Ramadhani Ilham Akbar, mahasiswa program studi S1 Manajemen Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa).

Setelah menjalani pengalaman magang yang luar biasa di Sariraya Co., Ltd, Jepang, ia tidak menyangka akan terlibat dalam peran yang begitu unik, yaitu sebagai pembicara khutbah shalat Jumat bagi komunitas Muslim lokal di sana.

Pengalaman ini bukan hanya sekadar tantangan bagi kemampuan berbahasa Ilham, tetapi juga menjadi sumber wawasan mendalam tentang praktik Islam dalam konteks multikultural.

“Keluar dari zona nyaman menjadi seorang khatib, jadi tantangan baru bagi saya, tapi bisa memperluas jangkauan kompetensi di luar lingkup magang, biasanya fokus ke aspek profesional dan teknis tapi ini jadi pengalaman baru saya apalagi di luar negeri,” ujarnya.

Ketika menjadi khatib di Negeri Sakura itu, Ilham menyampaikan pesan-pesan agama dengan jelas dan meyakinkan, sambil mempertimbangkan keragaman latar belakang dan pemahaman agama dalam komunitas yang ia layani. Hal ini tidak hanya membutuhkan keahlian bahasa yang kuat, tetapi juga kepekaan terhadap dinamika sosial dan budaya yang ada di Jepang.

Selain itu, pengalaman ini memberikan Ilham pemahaman yang lebih dalam tentang Islam dalam konteks internasional. Hal ini memperkaya perspektifnya tentang Islam sebagai agama yang universal yang dapat diaplikasikan di berbagai konteks kehidupan.

“Dengan berinteraksi langsung dengan komunitas muslim lokal di Jepang, saya dapat melihat bagaimana praktik agama tersebut diadaptasi dan dihayati dalam lingkungan yang berbeda secara kultural dan sosial,” tukasnya.

Secara keseluruhan, pengalaman Ilham sebagai khatib dalam komunitas Muslim lokal di Jepang adalah sebuah contoh nyata bagaimana magang tidak hanya memberikan pengalaman profesional, tetapi juga membuka pintu bagi pertumbuhan pribadi yang signifikan.

Ia tidak hanya memperkaya dirinya sendiri, tetapi juga membawa kontribusi berharga dalam memperdalam pemahaman lintas budaya dan agama di era globalisasi ini. Jepang, terkenal dengan warisan budayanya yang kaya dan kemajuan teknologinya, adalah rumah bagi komunitas muslim yang kecil namun bersemangat.

“Selama magang saya, saya menemukan diri saya dalam posisi tanggung jawab sebagai ustadz, menyampaikan khutbah Jumat dalam bahasa Inggris. Tantangan ini ganda: menyampaikan pesan keagamaan secara efektif dan melakukannya dalam bahasa yang bukan bahasa ibu bagi sebagian besar orang,” cerita pria asal Mojokerto itu.

Anak pasangan almarhum Mokammad Efendi Santoso dan almarhumah Dewi Rikhana mengungkapkan bahwa hambatan awalnya yakni menyesuaikan khutbah agar sesuai dengan jamaah dengan latar belakang bahasa yang beragam. Meskipun bahasa Arab adalah bahasa universal Islam, banyak jamaah yang lebih nyaman dengan bahasa Jepang atau Inggris. Menemukan keseimbangan, Ilham menyertakan ayat-ayat Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad dalam bahasa Arab, diikuti oleh penjelasan dalam bahasa Inggris untuk memastikan pemahaman yang komprehensif.

Ditambahkannya, yang menjadi tantangan lain adalah menyelaraskan nuansa budaya komunitas Muslim Jepang. Memahami adat istiadat dan tradisi lokal memainkan peran penting dalam membangun hubungan dengan jamaah. Menyertakan unsur-unsur budaya Jepang dalam khutbah membantu menjembatani kesenjangan dan membina rasa persatuan di antara para jamaah.

“Meskipun menghadapi tantangan berbahasa dan budaya, saya menemukan komunitas yang mendukung dan ingin tahu untuk memahami lebih banyak tentang Islam. Sholat Jumat menjadi platform bukan hanya untuk bimbingan spiritual tetapi juga untuk membangun pemahaman dan rasa hormat di antara orang-orang dengan latar belakang yang berbeda,” ujarnya dengan penuh rasa syukur.

Lebih lanjut, pengalaman menjadi khatib di Jepang memungkinkan Ilham menyaksikan langsung kemampuan Islam untuk beradaptasi dengan konteks budaya yang berbeda. Hal tersebut menjadi pengalaman yang bertransformasi, mengajarkan pelajaran berharga dalam komunikasi, sensitivitas budaya, dan universalitas Islam.

“Saat saya melanjutkan perjalanan sebagai mahasiswa manajemen, pengalaman unik ini akan tetap menjadi bab yang berharga yang memperkaya pemahaman saya tentang keberagaman dan daya tarik universal Islam,” tukasnya. ril/hms