SIDANG: Tampak suasana persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Duta/Henoch Kurniawan

SURABAYA | duta.co – Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang diketuai Maxi Sigarlaki kembali menggelar sidang dugaan perkara pemerasan dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang melibatkan mantan Direktur Pelindo III Djarwo Surdjanto dan istrinya, Maike Yolanda Fianciska alias Noni sebagai terdakwa, Senin (8/5).

Seperti saksi-saksi yang dihadirkan tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Tanjung Perak Surabaya pada sidang-sidang lalu, saksi yang dihadirkan kali ini juga mencabut keterangan yang sebelumnya diberikan pada Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Kepolisian.

Tiga saksi yang dihadirkan jaksa, antara lain Erika Asih Palupi, Kepala Bagian Hukum PT Terminal Petikemas Surabaya (TPS), Aji Roesbandono, Staf PT TPS bagian billing dan Faisal Januar, Impotir PT Lestari Persada Utama.

Di depan hakim, saksi Erika mengatakan bahwa dirinya mengetahui adanya proposal yang diajukan PT Akara Multi Karya (AMK) kepada PT TPS. “Proposal itu terkait permohonan kerjasama terkait Dipo Instalasi Karantina yang rencananya didirikan di kawasan lahan PT TPS. Saat itu yang menjabat sebagai Dirut PT TPS adalah pak Rahmad Satria dan wakil dirutnya Sanjay Meta. Sedangkan terdakwa Djarwo menjabat sebagai Dirut Pelindo III dan tidak mengetahui dan berperan soal persetujuan kerjasama itu,” ujar saksi.

Hal itu diperkuat dengan ditunjukannya surat balasan yang dikirimkan PT TPS ke PT Akara didepan persidangan. Saat ditunjukan oleh majelis hakim, terdakwa Djarwo baru mengetahui surat itu di persidangan ini.

Masih saksi, sesaat permohonan kerjasama disetujui oleh para pihak, PT TPS pun langsung melakukan sosialisasi kepada seluruh otoritas pelabuhan. “Jadi seluruh otoritas tahu melalui mekanisme sosialisasi hasil keputusan direksi yang kita lakukan. Kepala Otoritas Pelabuhan saat itu dijabat pak Sahat SH, MH. Dan tidak ada nama terdakwa Djarwo maupun Noni dalam persetujuan itu. Karena persetujuan kerjasama itu kewenangan Dirut dan wakil dirut PT TPS,” jelas saksi.

Saksi yang menjabat sejak November 2013 ini juga menegaskan bahwa tidak ada importir yang merasa keberatan terhadap tarif pelaksanaan karantina yang ditentukan dalam nota kerjasama antara PT TPS dan PT Akara. “Pengguna jasa pada blok W, sudah membayar sesuai tarif dalam perjanjian, yang langsung dibayarkan ke PT TPS, bukan PT Akara, walaupun dalam perjanjian PT Akara juga ada hak soal keuntungan kerjasama,” ungkap saksi.

Saksi juga menegaskan isi poin 33 dalam BAP nya. “Soal penetuan tarif yang diatur dalam Permenhub itu adalah ketentuan tarif jasa pelabuhan. Dan PT Akara bukan Badan Usaha Pelabuhan,” tambahnya.

Sedangkan saksi Aji Roesbandono menegaskan bahwa dirinya tidak pernah melakukan penagihan uang diluar ketentuan kewajiban PT Akara kepada PT TPS. “Setiap tagihan disetorkan kerekening PT TPS dan tidak pernah diserahkan ke rekening lainnya. Saya tidak pernah menagih uang diluar ketentuan perjanjian,” ujarnya.

Saksi juga mengetahui adanya perjanjian pembagian keuntungan dari perjanjian antara PT TPS dan PT Akara. Saksi juga mencabut beberap poin isi BAP nya. Karena menurut saksi, apa yang dijelaskan dalam BAP tidak ada kaitannya dengan PT Akara. Staf yang bekerja sejak 1999 ini juga mengatakan, sebelumnya, selain PT Akara, PT TPS juga menjalin kerjasama dengan pihak-pihak lain.

Saksi ketiga, Faisal Januar memberikan keterangan berbeda. Kendati sempat mencabut BAP, ia mengatakan pernah dimintai pungutan ketika membayar di kasir PT Akara. Namun saksi tidak bisa menjawab ketika ‘dikejar’ oleh Abdul Salam, salah satu anggita tim penasehat hukum terdakwa, mengapa hal itu tidak dilaporkan ke Asosiasi Importir yang menaungi usaha saksi. Saksi juga tidak menjelaskan secara detail berapa dan alasan pungutan.

Didik, ketua tim JPU saat dikonfirmasi usai sidang mengatakan bahwa keterangan saksi ketiga ini semakin menunjukan adanya praktek pemerasan yang dilakukan terdakwa. “Praktek pemerasan seperti yang kita dakwakan itu, implikasinya ya berupa pungutan seperti yang dikatakan saksi Faisal,” ujarnya.

Terpisah, Minola Sebayang, salah satu tim penasehat hukum terdakwa usai sidang mengatakan bahwa untuk menjalankan tugasnya, PT Akara mempunyai kontrak dengan TPS yang mengatur berbagai hal, di antaranya mengatur bahwa tarif pelayanan PT AKara kepada pengguna jasa yang membantu tindakan Karantina tidak boleh lebih tinggi dari fasilitas layanan jasa sejenis di sekitarnya.

“Layanan fasilitas Karantina di PT Jangkar Pacifik (JP), Depo Surabaya Sejahtera (DSS) dan Buana Amanah Karya (BAK), yang mengacu pada tarif kesepakatan Asdeki dengan pola tarif yang sama,” ujarnya.

Ia juga mengatakan layanan jasa PT Akara adalah jasa penunjang tindakan Karantina (bukan jasa kepelabuhanan) yang bisa dikategorikan sebagai jasa penyediaan depo Petikemas, yang sesuai dengan Permenhub No. 15/2014 tanggal 16 April 2014 termasuk jenis pelayanan jasa terkait kepelabuhanan yang dapat dilakukan oleh perusahaan yang tidak harus BUP (Pasal 2 dan 4).

“Pengenaan tarif di Blok W dan XP sesuai ketentuan Permenhub No. PM 15  Tahun 2014. Jadi pungutan di Blok W dan XP itu legal bukan pungli. Dan bahwa sesuai SK OP Tanjung Perak, Otoritas Pelabuhan akan memantau dan mengevaluasi SK OP tersebut. Sampai saat pemeriksaan oleh Bareskrim belum pernah ada teguran dari OP ke TPS tentang pelaksanaan di Blok W,” tambah Minola. eno

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry