“Sampai pada tahapan ini saya teringat solusi dari Rasulullah yang telah melakukan lockdown pada zamannya.”

 Oleh:  Suparto Wijoyo

SUASANA panik traumatik semakin mengkristal menjadi daya letih yang ajak-ajak warga dunia. Coronavirus disease alias Covid-19 selaksa “berthafat” mengelilingi bumi sambil memangsa yang dikehendakinya.

Data terus berkembang mendekap lebih dari  188.000 orang di 163 negara terinfeksi, dan 7.551 meninggal. Meski 73.955 dinyatakan sembuh, tetap saja corona tampak perkasa di bandingkan manusia yang  semakin menyadari betapa lemah dirinya.

WHO menyuarakan sikap dengan menetapkan Covid-19 berstatus pandemi secara global. Italia, Irlandia, Denmark, Prancis,  Filipina dan Malaysia sudah mengambil langkah lockdown.

Sampai pada tahapan ini saya teringat solusi dari Rasulullah yang telah melakukan lockdown pada zamannya: Jika kalian mendengar tentang wabah-wabah di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Tetapi jika terjadi wabah di suatu tempat kalian berada, maka janganlah kalian meninggalkan tempat itu (HR. Bukhari dan Muslim).

Pada era Rasulullah sejatinya terdapat kekuasaan Kekaisaran Bizantium yang mengalami wabah Justinian sehubungan dengan penyebaran penyakit pes pada masa kekuasaan Justinian I di tahun 541-750. Berjuta orang saat itu menjadi korban dalam jumlah yang sangat massal. 30-50 juta warga semesta terhempas dalam mengahadapi pes ini sehingga Bizantium lumpuh serta areal kekuasannya di Timur Tengah dan Afrika Utara serta kawasan Asia protol berjamaah.

Ada lagi wabah yang dinamakan black death di tahun 1347-1351 yang “menggulung” Eropa dengan korban 25 juta penduduknya melayang nyawanya di serbu wabah pes. Dunia tidak sampai disitu mengingat dalam sejarahnya ada Cacar, Kolera, Flu Spanyol, Flu Kongkong, Flu Burung, HIV-Aids maupun Ebola, yang sejujurnya masih “berkoloni” di muka bumi sampai saat ini.

Menghadapi itu semua niscaya manusia berikhtiar dan  yakinlah bahwa doa adalah tetap  menjadi kata yang sedemikian perkasa memberikan harapan: corona ini bukan lonceng terakhir dari masa depan. Corona tak kan selamanya menghantui sebab badai pasti berlalu.

Begitulah optimisme yang harus dibangun dan pada saat waktu terus beranjak di esok waktu, soal corona juga akan munsret ke belakang sebab manusia terus akan melaju memenuhi panggilan hidupnya. Manusia yang kini melakukan lockdown alias “mengurung diri dalam sangkar” akan kembali semburat.  Keterkuncian diri dalam sebuah terirorial tertentu tetap membuncahkan semangat bahwa hidup normal adalah pilihan terbaik.

Waspada memanglah wajib dan jangan pernah meremehkan “serdadu corona” berikut konco-konconya, karena dia sangat lihai. Makhluk yang sangat renik ini siap menerkam manusia yang konon lebih kuat ternyata dibuat geger sendiri, dibuat ribut karepe dewe, takut yang mencekam, mengingat sang corona setiap memasuki wilayah  dia tanpa uluk salam, apalagi membawa visa dan passport.  

Corona  tengah tampil percaya diri menyerbu dengan sebaran seperti angin  yang tidak terjaring tetapi terasa sambil mengabarkan berita tragis dan bengis yang meneriakkan tangis.  Kantor-kantor pemerintah dan swasta, lembaga pendidikan maupun surau, langgar, musholla dan masjid serta tempat peribadatan lainnya kian sepi.

Allah swt Menguji Ketangguhan Kita

Sampai berapa lama lagi manusia beringsut mundur sejenak untuk melanjutkan kehidupannya?  Renungkanlah. Ini baru makhluk-Nya, apalagi kuasa dari yang pencipta makhluk corona? Tapi terhadap Allah SWT jujurlah apakah rakyat dibuat sedemikian takutnya seperti takutnya terhadap corona?

Belum usai ini mendedar dan menggedor untuk dientas tuntas, dolar turut menjelunggupkan rupiah. Ikutilah beritanya di hari-hari mendatang, semua akan sibuk dan demikianlah yang diniscayakan terhadap laku tata kelola negara  yang menyayat jiwa bangsa.

Perih dan semakin perih hati rakyat dengan kesedihan yang teraduk amat dalam, hingga publik tidak mampu menyimak dengan penuh kejernihan tentang apa yang sejatinya sedang terpentaskan di “halaman dalam rumah kita”: NKRI ini dikepung corona ataukah ini penanda bahwa ada yang tidak “sehat dalam memimpin negara”.

Corona semakin meneror  dan korban dipersembahkan, serta rakyat diminta tiarap. Tidak adakah ini menyangkut “politik virus” global yang sedemikian tercipta sebagaimana prasangka kaum intelejen sayap kanan-kiri? Apakah ini tidak terkait rute distribusi vaksin yang akan berdampak ekonomi yang  mengangakan derita? Bagaimana pula gumpalan kue negeri yang dikunya tanpa kenal kenyang oleh sebagian pihak dengan tetap demi investasi WNA China tetap diizinkan datang di Sultra? Kompleksitasnya kentara sekali meski hanya dapat dirasa dan tak terkatakan? Cukupkah untuk mengatasinya dengan “beruzla di rumah masing-masing”, sementara negara mengizinkan “TKA Tiongkok” masuk dengan alasan “sambang proyeknya”.

Negara harus memberikan kejernihan sikap bahwa masa depan selalu bersinar terang. Kalaulah negara terus “meminta rakyat semedi di gua-gua kampung halaman”, percayalah bahwa rakyat Indonesia akan “ambyar tetap memenuhi jalanan”, karena memang mereka pantang mengeluh dirundung corona, karena kita bukanlah bangsa yang mudah menyerah. Ada peribahasa Jawa yang telah lama menjelma menjasi selongsong sabda:

Mabur tiru manuk,

Tut wuri ilining banyu,

Ora wegah mbrangkang,

Ngendhani urip mung ongkang-ongkang

Peribahasa Jawa di atas mengajarkan agar kita dapat bermetamorfosis berani terbang seperti burung, berani  hayut  (responsif) di derasnya arus sungai, berani merangkak untuk menghindari hidup yang lontang-lantung (tidak berguna) dengan mengosongkan jalanan dan memenuhi kamar rumah sempitnya. Leluhur  mengajarkan: sopo tekun golek teken bakal tekan (siapa saja yang konsisten mencari tongkat (jalan hidup) akan memenangi kehidupan (sampai di tujuan). Allah SWT menguji ketangguhan dan kita tetap bersimpuh meneguhkan rasa takut itu  kepada sang pencipta corona. (*)

Suparto Wijoyo adalah Akademisi Fakultas Hukum dan Koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry