SURABAYA | duta.co – Keberadaan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan keimanan, akhlak, ilmu sekaligus pengamalannya kian mendapatkan kepercayaan masyarakat, termasuk di kalangan klas menengah dan masyarakat kota.

Konsekuensinya, pesantren harus mampu memahami logika dan kebutuhan masyarakat kota yang cenderung lebih terbuka dalam memberikan kritik dan komentar khususnya melalui sosial media. Karena itu kalangan pesantren perlu memiliki kemampuan membangun pesan publik dan memenangkan pertarungan narasi di era digital.

Demikian kesimpulan diskusi terfokusi “Pendidikan Pesantren, Media dan Spiritualitas Masyarakat Kota” yang digelar Selasa (7/5)) oleh PWNU Jawa Timur bersama asosiasi pesantren NU yang tergabung dalam Rabithah Ma’ahadil Islamiyah (RMI) di Aula KH Bisri Syansuri PWNU Jatim.

Hadir dalam diskusi pra halal bihalal itu,  KH. M. Iffatul Lathoif Zainuddin atau Gus Thoif (Ketua RMI PWNU Jatim), Ivan Aulia Ahsan (Pemimpin Redaksi NU Online), Hari Nugroho (Alvara Research), jurnalis senior NU, Riadi Ngasiran dan CEO TV9 Nusantara, Hakim Jayli.

Lebih lanjut, Hakim Jayli mengungkapkan  Era digital dan media sosial ini adalah era perang narasi, karena itu pesantren harus siap ke sana agar nggak jadi bulan-bulanan media digital. Pesantren perlu meningkatkan kemampuannya memahami dan menyusun narasi, bersama media demi memenangkan pertarungan wacana dan perang narasi.

“Guyonan ala pesantren yang saling serang antarteman itu merupakan pendidikan mentalitas, tapi media yang nggak paham pesantren akan menilai ada bullying. Ini yang perlu diluruskan,” katanya.

Hakim menegaskan, kalangan media, khususnya media NU siap membantu pesantren dalam perang narasi itu utamanya dalam penanganan isu atau kasus khusus yang menimpa pesantren dan menjadi sorotan publik.

Ajakan serupa juga disampaikan Pemimpin Redaksi NU Online, Ivan Aulia Ahsan, yang mengajak kalangan pesantren untuk melawan framing dari media yang tak paham dunia pesantren.

“Ada dua framing media yang menyasar dunia pesantren yakni pelecehan seksual dan bullying, padahal guyonan ala pesantren itu sudah biasa dan sudah ada sejak dulu, namun tujuannya semacam guyon saja untuk menguji mentalitas teman sekamar atau sekadar membunuh sepi,” katanya.

Namun, kalangan pesantren juga tidak perlu terlalu buru-buru memakai UU ITE, melainkan cukup sabar dengan memberi penjelasan dan menerima permohonan maaf, lawan dengan cerdas agar kalangan non- pesantren memberi apresiasi dan simpati.

Sementara itu, peneliti Alvara Research, Hari Nugroho mengajak pesantren mampu membaca data dan fenomena masyarakat kota hari ini yang kian religius dan menjadikan agama sebagai hal utama dalam kehidupannya. Namun demikian, masyarakat kota cenderung lebih berisik, mudah melakukan komplain dan kritik terhadap apapun yang tidak sesuai dengan harapannya, termasuk tentang pesantren melalui media sosial.

“Tren Masyarakat kota memilihkan pendidikan Islam dan memondokkan anaknya di pesantren kian meningkat, karena itu   harus sigap mengantisipasi, misalnya keterbukaan memberikan informasi yang dibutuhkan mereka,” ujar Hari.

Ketua RMI Jatim, Gus Thoif berharap melalui diskusi ini, RMI dan pesantren lebih membuka diri bekerjasama dengan RMI dan media NU mengoptimalkan media untuk menyusun narasi tentang substansi dan kelebihan pendidikan pesantren sebagai lembaga tafaqquh fiddin, dan sigap memanfaatkan dengan media ketika ada kritik dan sorotan publik kepada pesantren.

Beberapa kali pesantren disorot karena kasus tertentu, yang kalau dibiarkan dan terjadi berulang bisa tidak baik bagi nama pesantren. “Selain pesantren harus mampu menjawab saat disorot, tetapi kita juga harus lihai menyampaikan keluhuran misi pesantren dalam mendidik akhlak ilmu generasi bangsa melalui medja,” harap Gus Thoif. (*)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry