SURABAYA | duta.co – Seru! Dialog ‘Melawan Kebangkitan PKI dalam Prespektif Mempertahankan Pancasila dan NKRI’ di Museum Nahdlatul Ulama (NU), Rabu (5/8/2020) berlangsung seru.

Ratusan peserta dengan semangat mengusulkan segera dibentuk Sekretaris Bersama (Sekber) anti-PKI. “Ini lebih serius dari 1965. Umat beragama dibuat lengah. Tidak paham, bahwa medan sudah berubah. Kini perang tanpa bentuk (proxy war). Komunis gaya baru sudah merusak hampir seluruh tananan kehidupan,” demikian disampaikan salah seorang peserta dari Magaten.

Ia kemudian menyontohkan RUU HIP serta Keppres 24 tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila 1 Juni yang, diterbitkan Presiden Jokowi. “Di mana 3000 rektor kampus, kok tidak ada yang bersuara. RUU HIP maupun Keppres 24 tahun 2016 jelas-jelas menyimpang, kok semua diam,” tukasnya.

Ketua Umum GERAK (Gerakan Rakyat Anti Komunis) Drs Arukat Djaswadi mengakui, bahwa, sejumlah manuver kader PKI lolos dari perhatian umat beragama. Mereka berhasil menyekolahkan anak-anaknya ke luar negeri, setelah menjadi doktor, mereka pulang dan menempati posisi strategis. Ini tidak disadari umat beragama.

“Ada sorang jenderal yang telepon saya, pesannya jangan hanya bakar bendera, orasi, demo, seminar-seminar, sementara tidak ada kader yang berada di jantung kekuasaan. Karena itu, kita harus melakukan gerakan massif. Lawan komunisme, tentu, secara konstitusional,” jelasnya.

Arukat juga menjelaskan, betapa bangsa Indonesia telah kecolongan sehingga muncul yang namanya SKKPH (Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM) yang diterbitkan Komnas HAM. Padahal, di sisi lain, keluarga PKI ini juga mendapat perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

“Saya pernah menghadiri acara Komnas HAM di Jatim, dan ternyata yang datang keluarga PKI yang mereka sebut sebagai korban. Saya protes. Apa jawaban Komnas HAM? Ternyata saya diminta untuk membuat hal yang sama, atau kalau tidak terima, bisa gugat ke pengadilan,” jelasnya.

Ada Konsekuensi

Masih menurut Arukat, dengan terbitnya SKKPH, maka, ada konsekuensi yang harus dihadapi. Pertama, kalau dia disebut korban pelanggaran HAM, lalu siapa pelaku pelanggar HAM-nya? Kedua, Kalau dia korban, berarti harus ada rehabilitasi? Ketiga, Kalau dia korban, maka, presiden bisa minta maaf. “Ini berbahayanya. Padahal PKI itu pelaku, bukan korban,” tegasnya.

Tahun 2016, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Abdul Haris Semendawai sudah mengakui, bahwa, institusinya diberikan mandat untuk memberikan bantuan medis, psikologis, psikososial dan lainnya kepada korban sebuah kejahatan.

Kemudian, Semendawai melanjutkan, intitusinya juga diberikan mandat memfasilitasi korban untuk mendapatkan restitusi atau kompensasi. Dalam konteks isu PKI atau komunisme, Semendawai mengaku peristiwa yang terjadi pada tahun 1966 itu merupakan pelanggaran HAM berat.

“Kami harus melaksanakan UU tersebut. Sekarang pertanyaannya, siapa yang disebut sebagai korban. Tentu LPSK tidak bisa menentukan sendiri si A atau si B sebagai korban,” kata Semendawai di Kuta, Bali, Kamis 2 Juni 2016 sebagaimana dikutip https://news.klikpositif.com.

Karuan, SKKPH ini menjadi isu serius dalam acara di Museum NU. Kalau selema ini SKKPH disembunyikan, sehingga tidak bisa diseret ke pengadilan, maka, jalan keluarnya Komnas HAM harus diminta secara resmi, tertulis. Dari sini, dia kewajiban untuk menerangkan perihal SKKPH.

“Karenanya, kita butuh lembaga hukum untuk mengawal semua ini,” jelas Dr Zainal Abidin, Dosen Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Surabaya, Jawa Timur.

Pun soal Keppres 24 Tahun 2016, ini harus segera dimasukkan ke pengadilan. “Saya ini guru PPKN. Kalau ada murid jawab hari lahir Pancasila itu 1 Juni, jelas gak lulus. Kalau ada calon TNI jawab hari lahir Pancasila itu 1 Juni, jelas gak lulus. Kalau ada hakim jawab hari lahir Pancasila itu 1 Juni, jelas gak lulus,” tegas peserta dari Kediri.

Sementara, penetapan Harlah Pancasila 1 Juni, juga membawa konsekuensi tersendiri. “Kalau Pancasila 1 Juni, bunyinya tidak sama dengan Pancasila 22 Juni (Piagam Jakarta), juga tidak sama dengan Pancasila 18 Agustus yang telah menjadi kesepakatan bersama. Saya setuju ini harus diluruskan,“ demikian Prof Dr Aminuddin Kasdi salah satu pembicara.

Gugatan Keppres 24 Tahun 2016 kini sedang dirumuskan oleh LBH Astranawa. Dijadwalkan 18 Agustus gugatan sudah masuk ke pengadilan tata usaha Negara (PTUN). “Sambil menunggu pendapat para pakar di Webinar terkait Harlah Pancasila,” demikian Direktur LBH Astranawa Andi Mulya, SH, MH kepada duta.co.

Selain Cak Anam dan Arukat Djaswadi, hadir pula dalam acara dialog yang dimoderatori Dr Latief ini, adalah KH KH Ibrahim Rais,  Ketua Pembina Yayasan Kanigoro yang mengalami langsung kekejaman PKI. Juga Dr Ir Zainal Abidin, MS Koordinator Mata Kuliah Bela Negara UPN ‘Veteran’ Jawa Timur, serta Prof Prof DR Misranto SH MHum Rektor Universitas Merdeka, Pasuruan.  (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry