NIHIL TAM munitum quod non expugnari pecunia possit   (tiada benteng yang sedemikian kuat yang tidak dapat ditaklukkan dengan uang) (Cicero)
Oleh : Abdul Wahid*

MENARIK pernyataan Cecero itu. Filosof ini meyakini, bahwa tidak ada kekuatan apapun di dunia ini yang tidak dapat ditembus dengan kekuatan uang. Kekuatan uang dianggapnya jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan kekuatan apapun di dunia.

Moral (etika), hukum, budaya, dan agama, tidak akan mampu mengalahkan kekuatan uang. Ketika mereka dihadapkan dalam suatu laga untuk melawan uang, bisa dipastikan mereka akan kalah. Uang mampu membuat seseorang atau sekumpulan orang yang semula cendekiawan, bisa bergeser  menjadi sekumpulan para bajingan berdasi.

Itulah yang membuat mengapa Indonesia hingga kini tidak pernah lepas dari stigma sebagai negeri yang banjir dan “dihegemoni” korupsi. Dimana-mana, tidak akan mengalami kesulitan untuk menemukan koruptor. Selalu saja ada sosok yang  terjerat dengan urusan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Banyaknya koruptor yang  “berkeliaran” itu jugalah yang membuat para pemburu kekuasaan, gampang berjanji akan berdiri di garda utama dalam pemberantasan korupsi. Bahkan ada beberapa diantaranya sampai  berujar kalau dirinya nanti terpilih menjadi penguasa di zona apapun, Indonesia akan dibentuknya menjadi Negara yang bebas korupsi.

Itu sejatinya menunjukkan bahwa koruptor masihlah sosok manusia “paling” bermasalah. Sepak terjangnya telah membuat  negeri ini berada dalam cengkeramannya yang sangat kuat, sehingga membuat siapapun, khususnya legislator yang baru saja “menikmati” kursinya yang berjuang untuk membebaskan negeri ini tidak mudah melakukannya.

Ironisnya lagi, tidak sedikit sosok yang berjuang atau sangat keras menyuarakan perlawanan terhadap koruptor, justru terjerumus menjadi segmentasi sindikasi dari kumpulan para penjahat berdasi (koruptor). Mereka bisa saja secara gradualitas dan bahkan sistemik dan masif terseret menjadi elemen kekuasaan yang “mencintai” uang ilegal.

Kalau hal itu nanti realitasnya makin masif, terstruktur, dan sistemik  tentulah jargon membebaskan negeri dari korupsi hanyalah fatamorgana. Setiap pemburu kekuasaan (legislator) yang gagal mengalahkan pesona uang, menjadi sulit untuk tidak terseret dalam pusaran korupsi. Berbagai jenis korupsi dengan gampang dijadikan sebagai opsinya. Logis jika diversifikasi dan “progresifitas” korupsi akhirnya terasa mustahil bisa dibendung.

Filosof kenamaan Aristotelas mengingatkan, “semakin tinggi oenghargaan manusia terhadap kekayaan (uang), maka semakin rendahlah penghargaan manusia terhadap nilai-nilai kebenaran, kesusilaan, keadilan, dan kepatutan”.

Ucapan Aristoteles tidaklah salah. Filosof asal Yunani ini mengingatkan tentang kebenaran rumus kausalitas terjadinya dan maraknya kejahatan, khususnya wthoe collar crime dalam kehidupan bernegara yang bersumber pada penahbisan uang.

Saat seseorang atau sekelompok orang beridentitas pemburu kursi dan berlimpah uang dengan jabatannya ini masih tergelincir pada praktik pemujaan atau pengabsolutan uang, maka norma apapun, termasuk norma agama dan hukum bisa dilindas atau dderadasikannya.

Meski penguasanya ini berasal dari tokoh-tokoh agama yang saat berkampenye menggunakan ayat-ayat suci yang bersubstansikan penolaka korupsi, namun jika uang diberikan tempat yang  “berdaulat”, maka  korupsilah yang tetap menghegemoni.

Magnet uang terbukti sangat istimewa (exstra ordinary)  misalnya bagi sebagian elemen penegak hukum yang “oknum” di negeri ini. Pengaruhnya mampu menarik dan menjadikannya kehilangan kecerdasan moral, edukatif, spiritual, dan hukum. Daya pesonanya membuat aparat peegak hokum itu takluk dan menyerah dikuasainya.

Dalam beberapa kasus dapat terbaca, oknum aparat penegak hukum yang menyerah kalah itu ironisnya justru menikmati kekalahanya. Mereka senang dan bahkan arogan atas penyimpangan yang diperbuatnya. Semakin banyak uang yang diperoleh dari mempermainkan hukum  membuatnya menjadi manusia “sukses” dalam ranah strata elitisme.

Mereka itu rela dan “memperbudak” dirinya menjadi koruptor dan tak merasa malu merendahkan dirinya terjerumus dalam praktik “pembumihangusan” akal sehat. Mereka rela meyumbat dan bahkan menghancurkan kepintaran atau kecendekiaannya dengan cara menggarong kekayaan yang bukan menjadi haknya, atau mempermainkan norma yang seharusnya menjadi panduan utama hidup berbangsa.

Jika sudah seperti itu, “bunuh diri” negara hukum menjadi tak terhindarkan akibat aparat (semula pemburu kekuasaan) yang berperan mengemban amnat menjaganya, lebih menjatuhkan opsi menahbiskan atau mengabsolutkan berburu uang secara terus menerus dan masif. Uang diposisikan sebagai “berhala” yang wajib dikultuskannya.

Kekuasaan yang didudukinya jutsru dijadikannya sebagai “korporasi” istimewa dan berdaulat yang digunakan menjasi mesin untuk memproduksi uang tanpa kenal titik nadir. Begitu mesnnya bisa digunakan atau dioperasikan, maka siapapun yan berhubungan dengannya diseret menjadi subordinasinya.

Selama ini terbaca, bahwa tinggi rendahnya jabatan seseorang atau sekelompok orang berkorelasi dengan jumlah korupsi yang dilakukannya. Semakin tinggi seseorang menjabat, semakin besar dan masif pula korupsi yang dilakukannya.

Saling Melindungi Karakter Utama Korupsi Berjamaah

Bagi setiap pemburu kekuasaan, ini jelas menjadi tantangan fundamentalnya, pasalnya tinggi rendahnya jabatan atau kekuasaan yang digenggam, identik dengan “pembentukan”  tinggi rendahnya penderitaan terhadap rakyat. Rakyat akan semakin banyak dan beragam kehilangan hajat vitalnya ketika sumberdaya penopangnya sudah didestruksi lewat korupsi oleh para “okum” penggenggam kedududkan.

Mereka (para penggenggam kekuasaan) itu bisa menjadi penikmat secara lestasi, terstruktur, dan masif penyalahgunaan jabatannnya, pasalnya mereka bisa menggandeng, berkolaborasi, atau mendorong pihak-pihak lain menjadi “tangan-tangan gaib” (the  nvisible hands).  Logikanya, kasus demikian menciptakan agregasi dan masifikasi secara berjamaah  yang bukan hanya nntuk mengamankan keuntungan, tetapi juga salng melindungi dalam proses  purifikasi (penyucian) atas modus operandi kejahatannya.

Upaya saling melindungi merupakan karakter utama korupsi berjamaah. Semakin besar jamaah  yang dikonstruksi, maka semakin kuat pula politik perlawanan yang ditunjukkannya pada aparat penegak hukum atau pejuang kebenaran dan keadilan, sehingga semakin sulit menentukan dan menemukan siapa sosok yang benar-benar masih punya komitmen dan militansi membebaskan negeri dari korupsi. Diantara mereka, bisa saja saling melempar stigma kalau dirinyalah yang paling bersih, sementara yang lainnya “mandi basah” dengan korupsi.

Realitas itu menunjukkan, bahwa menjadi pejuang (elitis) pembebas negeri dari korupsi bukanlah permainan kata-kata, melainkan eksaminasi empiric yang menuntut pembuktian komitmen, bahwa, saatnya sudah, tidak ada lagi ingkar janji.

*Pengajar Program Pascasarjana Universitas Islam Malang dan pengurus AP-HTN/HAN

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry