Prof Dr H Ahmad Zahro, MA. (FT/IST)

SURABAYA | duta.co – Launching Lomba Baca Kitab Kuning (LBKK) yang digelar Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) DPR RI, Kamis (22/10/2020), mendapat apresiasi banyak pihak. LBKK IV Tingkat Nasional kali ini, bertajuk “Meneladani Peran Ulama dan Santri dalam Meneguhkan Kedaulatan NKRI”.

Prof Dr H Ahmad Zahro, MA, Guru Besar Ilmu Fiqih Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UIN-SA) Surabaya, Rektor Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum (Unipdu) Jombang, ini berharap agar Partai Keadilan Sejahtera (PKS) istiqomah, terus menggelar acara serupa setiap tahunnya.

“Kalau boleh saya usul, lomba baca kitab kuning ini melibatkan seluruh strata yang ada. Dari yang paling dasar Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah (wustho), Aliyah bahkan umum, digelar secara berjenjang. Sehingga semua level merasakan,” demikian Prof Ahmad Zahro saat menjadi pembicara dalam acara Launching LBKK IV secara virtual tersebut.

Menurut Prof Zahro, kini ada tiga tradisi pesantren yang mulai hilang, tergeser dan tergusur. Pertama, tradisi membaca kitab kuning. Ini penting untuk menguasai isi kitab-kitab klasik karangan para ulama salaf. Tradisi ini harus dijaga, jangan sampai santri-santri ke depan tidak bisa membaca kita kuning.

“Terima kasih PKS! PKS sungguh berjasa besar terhadap kelangsungan ruh-ruh dan nilai-nilai pesantren atas terselenggaranya kegiatan lomba baca kitab kuning ini. Dulu, tradisi itu ditekuni betul oleh Mbah Hasyim, Mbah Wahab, para kiai linuwih masa lalu. Sekarang sangat berkurang. Bahkan kurang memadai,” tambah Mustasyar Komite Khitthah Nahdlatul Ulama 1926 (KKNU-26) ini.

Kedua, lanjutnya, tradisi pesantren yang mulai hilang adalah hafalan. Dulu, setiap santri harus menghafal. Menghafal Alquran, misalnya. Walau pun tidak hafal 30 juz, tetapi ada semangat untuk menghafal. “Sekarang, tradisi itu mulai hilang,” jelasnya.

Ketiga, tradisi pidato. Dalam dunia pesantren, lazim disebut muhadharah. Melatih kemampuan dalam orasi dan public speaking para santri adalah penting. Santri harus bisa berbicara di depan umum. Jangan hanya menguasai keilmuannya, tetapi tidak bisa menyampaikan ke umat. “Santri harus bisa berpidato,” katanya serius.

Tampak Foto Mbah Maimun Zubair menjadi contoh keteladan. (FT/IST)

Dalam paparannya, Prof Zahro juga menyuguhkan ciri-ciri kiai yang menonjol dalam kehidupan. Setidaknya, ada tujuh ciri-ciri yang melekat kepada sosok kiai. Di antaranya, pertama ikhlas. Ini ciri paling utama. “Kalau tidak ikhlas, itu bukan ulama. Ini ruh pertama kali. Ikhlas bukan berati garingan, tetapi, hatinya bersih hanya berharap  ridho Allah swt,” tegasnya.

Kedua, Santun. “Seluruh kiai itu pasti santun. Bahkan seorang kiai, kalau berbicara dengan santri, misalnya dengan bahasa Jawa, itu halus. Almaghfurlah Kiai Hamid Pasuruan, itu kalau mendidik santrinya, sangat santun. Akhlaq! Ini yang berada di depan,” tambahnya.

Ketiga, Kiai juga harus Sakti. “Semua kiai yang saya tau, itu sakti. Punya kelebihan dalam hal spiritual. Kiai Abdullah Abbas rahimahullah, Buntet Jawa Barat kalau memegang senjata Tank penjajah, langsung macet. Dulu, hampir seluruh pesantren ada ilmu kanoragan (kedigdayaan red.) yang bersih. Saya juga lama sekali, menekuni itu,” terangnya.

Berbicara soal andil ulama dan santri dalam kemerdekaan Republik Indonesia (RI), menurut Prof Zahro tidak ternilai. “Negeri ini, dalam keyakinan tulus saya, tidak akan merdeka kalau tidak ada perjuangan kiai. Tanpa Resolusi Jihad tidak akan ada pertempuran dahsyat 10 November 1945. Tidak masuk akal, para kiai dan santri, dengan senjata bambu runcing bisa mengalahkan meriam Belanda. Ini lantaran maunah Allah swt,” urai Prof Zahro.

NKRI, ujarnya, tanpa bermaksud menyisihkan elemen lain, adalah perjuangan para kiai. Fatwa jihad Mbah Hasyim menjadi bahan pencarian umat. Mati sahid, saat itu, dicari. Tidak ada rasa takut.  “Kalau tidak ada Resolusi Jihad, tidak ada pertempuran 10 November 1945. Habis sudah Indonesia, tak ada merdeka,” tambahnya lagi.

Pun dalam jihad konstitusi. Pelatak dasar Pancasila dan UUD 1945 adalah berkat perjuangan para ulama. Semuanya, bersumber dari ajaran Islam. Bahkan, tanggal 22 Juni sudah diputuskan Pigama Jakarta. Sila pertama Pancasila berbunyi: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.

Namun, pada rumusan 18 Agustus 1945 berubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Itu juga atas perjuangan ulama. “Saya melihat perubahan itu ke arah positif. Kehilangan uceng (ikan kecil) dapat delek (ikan besar). Kalimat Yang Maha Esa, ini syâmil kâmil (menyeluruh dan sempurna red.). Jadi, jelas, Pancasila itu bukan 1 Juni,” tegasnya.

Tak kalah penting, jelasnya, adalah mengenai nilai-nilai Perjuangan dan Pengorbanan Kiai Santri demi NKRI. Dari jihad konstitusi 22 Juni 1945, Resolusi Jihad 22 Okt 45, Totalitas Jihad 10 November 45, Pengorbanan Jihad 18 Sep 48, hingga Jihad menghadapi pemberontakan PKI pada 30 September 1965.

Hadir dalam Launching Lomba Baca Kitab Kuning yang dimoderatori Nur Arif Hidayat ini, selain Prof Dr A Zahro Al Hafizh, adalah Dr H M Hidayat Nur Wahid MA  (Wakil Ketua MPR RI dan Ketua I Badan Wakaf Pesantren Gontor. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry