Dari kiri, tampak Prof Rochmat Wahab dan almaghfurlah Gus Solah serta Prof Dr KH Nasihin Hasan dalam sebuah halaqah Komite Khittah. (FT/duta/co)

“Di sinilah lonceng pembakuan dan pembekuan terjadi. Warisan intelektual masa klasik, kitab-kitab kuning itu, menjadi tadarus pengajaran tanpa bacaan kritis dan transformatif.”

Oleh Suhermanto Ja’far*

SETIAP hari bergulir kita ke depan, hendaknya tidak sia-sia. Roda sejarah terus  berputar ke depan dan sungguh Allah SWT memberkahi kita karena melibatkan kita dalam momentum yang amat menentukan kebangkitan bangsa ini. Roda ini akan terus berputar sebagai gerak sejarah, dengan atau tanpa kita di dalamnya. Gerak sejarah ini tidak pernah dapat  dilawan. Sudah banyak cerita tentang tumbangnya rezim, termasuk Orde Baru, karena melawan gerak ini.

Pertanyaannya sekarang: Adakah kita hendak membantu mempercepat akselerasi sejarah itu atau kita menundanya, hingga ia sendiri yang datang menghampiri, tanpa kita pernah tahu berapa besar biaya sosial yang harus dikeluarkan untuk memperlambat roda waktu?

Semoga di abad ke-21 ini menjadi pertanda bangkitnya bangsa Indonesia menuju masa depan rahmatan lil’alamin yang gilang gemilang. Sesungguhnya, kita punya kesempatan untuk itu.

Dengan membaca kemandirian dan basis massa-bawah pesantren, Martin van Bruinessen, pengamat pesantren dan NU dari Belanda, percaya bahwa dalam tubuh pesantren terkandung potensi penting bagi terwujudnya masyarakat sipil (corpus civil society) sebagai pilar demokratisasi di negeri ini.

Namun, sungguhpun pola hubungan demokratis itu terjadi dalam gerak dinamis pesantren, menurutnya tetap tidak bisa mengharapkan demokratisasi-desa  melalui pesantren. Karena, dalam pandangan van Bruinessen kiai di pesantren adalah raja dan  tokoh kharismatik; sementara kharisma dan demokrasi tidak bisa menyatu.

Walaupun begitu, Van Bruinessen tetap percaya bahwa kaum tradisional, semisal komunitas pesantren, di banyak negara berkembang bukan sebagai arus umum konservatisme yang dalam praksisnya selalu mengancam “keniscayaan” modernisasi. Melainkan, di mata  kaum tradisional tampak sebagai semacam sinema yang merekam dan sekaligus menawarkan segala denyut emosional-intelektual-institusional kaum pribumi untuk tetap menjadi “diri sendiri” dalam pergulatan yang tak terelakkan dengan “wacana zaman”: modernitas. Pesantren, secara garis lurus, merupakan salah satu ‘judul’ sinema tersebut.

Karena watak otentiknya yang cenderung menolak pemusatan (sentralisasi) –bahkan, komunitas paling signifikan yang sangat terdesentralisasi– dan posisinya yang berada di tengah-tengah masyarakat (pedesaan), pesantren sangat bisa diharapkan memainkan peran pemberdayaan (empowerment) dan transformasi masyarakat secara efektif.

Dari banyak peristiwa yang melibatkan peran sosial pesantren, penulis ingin menyatakan bahwa pesantren hingga sekarang sesungguhnya mempunyai interaksi yang dinamis dengan masyarakat; pesantren adalah kekuatan masyarakat; pesantren sangat diperhitungkan oleh negara; pesantren masih berwibawa dan dipercaya masyarakat, walaupun bukan ujung tombak satu-satunya.

Karena itu, dalam kondisi sosial-politik yang serba menegara (statism) dan dihegemoni oleh wacana kemodernan, pesantren yang konsisten dengan ciri tradisionalitasnya mempunyai public sphere yang luas untuk melakukan pemberdayaan masyarakat, terutama kepada kaum yang tertindas, terpinggirkan, dan kaum yang selalu tidak diuntungkan dalam konstelasi sistem ini.

Penegasan ini memang terlalu menyederhanakan, tetapi paling tidak, bisa mengimbangi stereotyping yang sementara ini dilekatkan pada pesantren. Ini artinya, pesantren tidak identik an sich dengan sosok bersarung-berpeci yang berjalan menunduk sambil satu tangannya memegang kitab kuning sementara satu tangan lainnya menggenggam untaian tasbih, juga bukan sekadar lembaga pendidikan-pengajaran keagamaan belaka. Melainkan lebih jauh dari itu, pesantren adalah sebuah infrastruktur sosial, sebuah komunitas, dan sebuah kehidupan yang turut bernapas dalam atmosfir perkembangan sosial.

Dengan keteguhannya yang diimbangi denyut fleksibilitas, pesantren semestinya bisa mewarnai dan mengambil peran secara signifikan, bukan saja dalam wacana keagamaan, tetapi juga pada setting sosial-budaya, bahkan politik dan ideologi negara.

Dalam konteks sosial, tak seorang pun menyangsikan peran sosial pesantren. Begitu juga peran kiai sebagai pemimpin sentral pesantren. Semenjak kelahirannya hingga hari ini, pesantren tetap diakui memainkan peranan penting dan berarti didalam masyarakat.

Pesantren tidak saja menyediakan ruang pembelajaran yang murah dan dibutuhkan masyarakat-bawah (grassroots society), sehingga membentuk karakter sosial yang khas, melainkan juga menjadi “patron6 yang setia bagi masyarakat dalam mengarungi proses perubahan yang terjadi.

Adalah Hiroko Horikoshi, antropolog di bidang modernisasi dari Jepang, yang dalam penelitiannya di Garut Jawa Barat secara baik manangkap proses perubahan peran sosial kiai pesantren. Dengan menampilkan sosok Kiai Yusuf Tajri dari Cipari, ia berkesimpulan bahwa kiai berperan kreatif dalam perubahan sosial. Kiai mampu membawakan pandangan hidup tradisional ke arah modernitas hidup dengan watak emansipatoris.

Dengan kekuatan “kharisma” dan pikatan keagamaannya, kiai lewat lembaga pesantrennya tidak saja melayani pendidikan rakyat, dakwah keagamaan, pendampingan dan pembelaan pada kaum yang tertindas, tetapi juga menjadi pemain politik (political actor) yang cantik di atas panggung kekuasaan.

Kiai dalam penjelasan demikian adalah pribadi yang kompleks, tidak saja bergelut pada wilayah keagamaan karena ahli agama, melainkan juga menjalankan fungsi-fungsi sosial lain sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Multifungsi ini dijalankan oleh sang kiai secara unik dalam takaran modernisme dan positivisme.

Kharisma-tradisional dan kekayaan spiritualitas yang menebar ke dalam jantung sanubari masyarakat adalah modal dasar dari semua fungsi itu berjalan. Tidak sedikit beberapa keputusan penting, misalnya, harus ditentukan lewat jalur istikhârah—suatu upaya transedental untuk meminta petunjuk Tuhan dalam memutuskan satu pilihan, juga tidak jarang momentum penting yang melibatkan kekuatan besar harus dibantu oleh khadam—suatu barisan pembantu kiai yang berasal dari makhluk-makhluk gaib, seperti jin dan sejenisnya.

Dalam posisi sebagai lembaga pendidikan rakyat, sebagai pendakwah sosialisasi nilai dan ajaran keagamaan, serta sebagai pendamping masyarakat, peran pesantren senantiasa dinilai positif karena pertahanan diri dan kepercayaan dirinya yang kuat sehingga mengantarkan survivalitasnya di tengah suasana serba-modern dan serba-negara. Meski harus bernegosiasi terus menerus dengan ideologi modernisme dan intervensionisme negara, pesantren tetap masih dapat menunjukkan warna dan watak khas tradisionalitasnya sebagai komunitas non-negara (non governmental community).

Namun untuk peran pesantren yang terakhir, dalam gelanggang politik praktis, kiranya perlu diberi catatan tersendiri. Dalam kehidupan politik, yang kini menyedot banyak energi dan konsentrasi, peran dan arah perjuangan pesantren sesungguhnya tidak terlalu jelas. Sejauh ini, dalam bacaan penulis, pesantren tampak tidak lebih sebagai “pendukung” dan
“penggembira”dari“boneka-boneka”politikskenarionegara.

Kalaupun tampil sebagai “pemain”, kerapkali pilihannya terjebak dalam skenario permainan orang lain. Tak pernah jelas apa misi yang diemban dan ideologi perjuangan pesantren ketika “bola politik” berada dalam genggamannya. Kasus yang menimpa KH Abdurrahman Wahid ketika menjadi presiden RI adalah contoh dari ketidakjelasan para pendukung di belakangnya yang sebagian besar adalah orang-orang pesantren.

Dari semua kenyataan ini, menjadi menarik untuk dicatat bahwa akibat keterlibatannya dalam politik praktis, kiai kerapkali melupakan jati dirinya sebagai “penjaga tradisi” dan “patron” dari masyarakat-bawah dalam mengarungi proses perubahan sosial. Pesantren yang dipimpinnya menjadi tak terawat dengan baik.

Tradisi yang melekat dalam eksistensinya dibiarkan berjalan bersama dengan rutinitas santri tanpa hampiran spiritualitas dan nalar pembaruan yang berarti dalam menangkap “tanda-tanda zaman”. Kiai dan pesantren lalu tidak jarang menjadi sesuatu yang terpisah. Kiai berada dalam wilayah politik-kekuasaan dengan logika dan seleranya sendiri, sementara pesantren tetap dalam pergumulannya dengan rakyat yang “kumuh” dan selalu “dieksploitasi” dengan pakem-pakem tradisinya yang khas. “Tradisi” yang menjadi trade mark-nya kemudian menjadi identik dengan rutinisme belaka, alias menjadi apa yang disebut dengan “kebudayaan statis”, suatu kebudayaan yang membeku menjadi ritualisme-mekanik tanpa dinamika dan pemaknaan yang profetik dalam struktur sosial.

Di sinilah lonceng pembakuan dan pembekuan terjadi. Warisan intelektual masa klasik, kitab-kitab kuning itu, menjadi tadarus pengajaran tanpa bacaan kritis dan transformatif. Proses akulturasi dan asimilasi dengan kebudayaan lokal nyaris berhenti dan memisah bak air dan minyak.

Proses pelembagaan dan pemapanan tradisi, sebagai gantinya, menjadi motor gerak sehari-hari. Tidak ada lagi bacaan kritis dan tawaran baru sebagai ikhtiar pembaruan atas tradisi  dan warisan intelektual (al-turâst) dari masa lalu.

Kebudayaan dan kesenian lokal yang dulu menjadi persenyawaan dalam sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai keagamaan di masyarakat, kini dilalui tanpa basa-basi. Politik kekuasaan menjadi sasaran pengganti. Kiai lebih dekat dan tertarik dengan politik ketimbang merawat dan bergaul secara kreatif dengan kebudayaan dan tradisi lokal sekelilingnya.(*)

*Suhermanto Ja’far adalah  Dosen Pascasrajana dan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry