Pak Harto dan Gus Dur (ft/nuorid)

“Kaum santri dapat memilih pemikiran yang dapat dijadikan landasan pijak pergerakannya. Pasca runtuhnya Orde Baru 21 Mei 1998 banyak terjadi perubahan dalam proses politik. Hal itu diperkuat dengan banyaknya partai politik yang mengikuti pemilu pada tahun 1999.”

Oleh Suhermanto Ja’far*

DISKUSI warga NU di Yogyakarta tentang Khittah 1926 NU dan civil society (duta.co, 20 Januari 2024), menarik direnungkan. Sekalipun gerakan civil society di NU sudah dimulai sejak era almaghfurlah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi Ketum PBNU.

Gus Dur dengan gerakan civil Society-nya,  berhasil menjadikan NU sebagai kontrol masyarakat politik (Parpol dengan pemerintah) sebagaimana dikonsepsikan  oleh Gramsci.

Tulisan ini mencoba memberikan analisis guna memperkuat gerakan civil society dalam tubuh NU sebagaimana yang didiskusikan sejumlah kader NU di atas.

Civil society sebagai sebuah wacana kontemporer, sampai saat ini belum tercapai suatu kesepakatan utuh dan baku mengenai rumusan teoritis dan konsepnya.

Ini karena dalam mendefinisikan atau dalam perumusan teori, selalu  berangkat dari kondisi sosio- politik dan kultural yang berada atau tergantung di negara perumus teori itu (di mana) hidup.

Tetapi yang  jelas bahwa civil society lahir dari proses perjalanan politik masyarakat Barat sebagai upaya untuk demokratisasi sejumlah pemerintahan di belahan dunia, termasuk negara Islam. Ada beberapa teori yang cukup mengemuka yang dipandang representatif untuk mengetahui dan memahami tentang civil society tersebut.

Pertama, Aristoteles (384-322 SM) Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), Thomas Hebbes (1588-1679), dan John Locke (1632-1704 SM). Menurut pengertian mereka, civil society adalah negara yang Aristoteles, civil society dipahami sebagai eoinonia politike’, yaitu sebuah komunitas politik tempat warga untuk terlibat langsung dalam berbagai percaturan; ekonomi politik dan pengambilan keputusan.

Hal ini juga senada dengan Cicero, Hobbes dan Locke. Yaitu sebuah komunitas yang mendominasi komunitas lain yang mempunyai kekuasaan mutlak untuk mengontrol dan mengawasi secara ketat pola-pola interaksi (prilaku politik); melindungi kebebasan dan hak milik setiap warga Negara, Sebagaimana gagasan AS Hikam dalam buku Demokrasi dan Civiel society (AS. Hikam :1995, 32).

Kedua, menurut Thomas Paine (1737-1803), civil society adalah kelompok masyarakat yang memiliki posisi diametral atau Negara sebagai antitesis Negara. Negara, menurutnya, harus dibatasi sampai sekecil-kecilnya dan ia merupakan perwujudan dari delegasi atau utusan kekuasaan yang diberikan masyarakat untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Atau dengan kata lain, bahwa civil society adalah suatu ruang gerak yang menjadi dominan masyarakat untuk mengontrol dan mengawasi negara agar terwujud kesejahteraan umum.

Ketiga, Wacana atau teori yang dikembangkan oleh G.WF Hegel (1770-1831), Karl Mark (1818-1883 M), dan Antonio Gramsci lebih menekankan pada civil society sebagai elemen ideologi kelas dominan. Pengertian ini lebih merupakan reaksi atas teori yang disampaikan oleh Paine di atas.

Menurut Hegel, civil society adalah kelompok subordinatif dari negara. Lebih lanjut Hegel menjelaskan bahwa struktur sosial itu terbagi atas 3 (tiga) entitas; Keluarga, Civil Society dan Negara. Keluarga merupakan ruang sosialisasi pribadi sebagai anggota masyarakat yang bercirikan keharmonisan. Civil society merupakan tempat  berlangsungnya percaturan atau pergulatan berbagai kepentingan pribadi dan golongan terutama kepentingan ekonomi, sedangkan Negara adalah representasi ide universal yang bertugas melindungi kepentingan politik warganya dan berhak penuh untuk intervensi terhadap civil society.

Dengan demikian, Negara dan civil society merupakan dua entitas yang saling memperkuat satu sama lain. Karl Mark memahami civil society sebagai masyarakat borjuis yang keberadaannya merupakan kendala bagi pembebasan manusia dari penindasan sehingga keberadaan borjuis harus dilenyapkan demi terwujudnya masyarakat tanpa kelas.

Sementara, menurut Gramsci, civil society merupakan tempat perebutan posisi Hegemonik di luar kekuatan Negara yang dimotori oleh para cendikiawan yang mempunyai peranan besar dalam proses perubahan sosial dan politik. Gramsci, dengan demikian, melihat adanya sifat kemandirian dan politis walaupun pada sifat politis tersebut juga dipengaruhi oleh basis material (ekonomi). (Faranz Magnis Suseno:1995, 116).

Keempat, Zbigniew Rau dengan latar belakang kajiannya pada kawasan timur dan Uni Soviet. Menurutnya, civil society adalah suatu masyarakat yang berkembang dari sejarah yang mengandalkan ruang di mana individu dan perkumpulan tempat mereka berkembang dan bersaing satu sama lain untuk mencapai nilai-nilai yang mereka yakini sehingga akan terealisasi sebuah ruang yang bebas dari pengaruh keluarga dan kekuasaan negara. Hal ini mewujud dalam gambaran karakteristiknya, yaitu individualisme, pasar (market) dan pluralisme.

Kelima, Alexis De Tocgueville. Menurutnya, dengan mendasarkan pada pengalaman demokrasi Amerika, civil society merupakan entitas penyeimbang terhadap kekuatan negara dan juga merupakan sesuatu yang tidak apriori subordinatif terhadap negara dan bersifat otonom yang memiliki kapasitas politik yang cukup tinggi menjadi kekuatan penyeimbang untuk menahan kecenderungan intervensionis negara. Civil society juga dapat menjadi sumber legitimasi negara tetapi pada saat tertentu ia juga mampu melahirkan kritik-reflektif untuk mengurangi frekwensi konflik dalam masyarakat sebagai akibat proses formasi sosial modern.

Dari beberapa definisi di atas, maka kaum santri dapat memilih pemikiran yang dapat dijadikan landasan pijak pergerakannya. Mengingat pasca runtuhnya Orde Baru pada tanggal 21 Mei 1998 tercatat banyak terjadi perubahan dalam proses politik bangsa Indonesia. Hal itu diperkuat dengan banyaknya partai politik yang mengikuti pemilu pada tahun 1999.

Dalam  hasanah perpolitikan di Indonesia seperti digambarkan oleh Clifford Geertz (1960) bahwa  Islam merupakan kekuatan penting dalam proses politik di tanah air. Tahun 1999 merupakan harapan demokrasi digulirkan, banyak ilmuwan berharap pemilu 1999 akan sama dengan   pemilu tahun 1955 yang demokratis, di mana terdapat kurang lebih 70 partai politik yang ikut berpesta demokrasi.

Politik aliran dalam deskripsi Clifford Geertz tidak kontekstual dengan     peta sosio-politik dewasa ini, sehingga penulis hanya mengambil beberapa tesis tentang posisi   ummat Islam Indonesia dalam politik. Dapat dibedakan antara santri dalam Pesantren sebagai  kekuatan politik dengan sebagai kekuatan dalam mainstrem civil society di mana pesantre bisa mandiri dari negara dan sistem pasar bebas.

Ada fenomena menarik dalam pesantren menyangkut keterlibatannya dalam proses pemilu mulai kampanye sampai pemilihan. Bahkan ada beberapa pondok pesantren di Jawa Timur mewajibkan santrinya dalam memilih partai politik tertentu.

Fenomena ini memberikan  stigma tersendiri bagi pesantren, yaitu tempat strategis untuk melakukan sosialisasi politik. Gabriel Almond menyatakan bahwa sosialisasi politik dapat dilakukan secara efektif melalui lembaga pendidikan, seperti Pesantren.

Namun berbeda dalam perpolitikan bahwa persoalan politik adalah masalah kebebasan perseorangan dan keterlibatan aktif dalam dunia politik tentu akan berimplikasi pada konsekwensi-konsekwensi politik yang tidak ramah, seperti lengsernya  Gus Dur dari kursi kepresidenan.

Ivan Doherti, menyatakan bahwa civil society merupakan tatanan masyarakat yang mampu mandiri dan tidak bergantung pada negara dalam politik dan ekonomi, civil society tidak dapat diletakkan, santri yang berada dalam pesantren diposisikan sebagai civil society melalui aspek multidimensi seperti kemandirian politik, ekonomi, bahkan budaya. Dengan kemandirian ia dapat melakukan kritik atau counter terhadap kapitalisme.

Pemberdayaan pesantren (kaum santri) kepada masyarakat masih dalam tataran formal sehingga penerimaan masyarakat juga cenderung formal tidak mengakar pada kesadaran kultural. Pemberdayaan masyarakat pada kenyatannya kurang memberikan perubahan. Karena pemberdayaan mengacu pada sistem di mana pesantren diposisikan sebagai sub-kultur dalam masyarakat atau menjadi kultur sendiri dalam masyarakat yang komunal. Jarak antara pesantren dan masyarakat menjadi salah satu penyebab signifikan dalam proses pemberdayaan.

Pemberdayaan (penyadaran) dapat dilakukan dalam internal pesantren   dengan membedah seluruh peta kapitalisme dan modernisme yang timpang dan merugikan serta menindas pada seluruh lapisan masyarakat. Dengan membedah hal ini, diharapkan akan  muncul satu kesadaran masyarakat untuk melawan kapitalisme dan tangan-tangannya dan dapat mengamati gejala-gejala sosial yang timpang.

Dalam proses memahami apa dan bagaimana proses penyelenggaraan negara yang baik dan korporasi yang bertanggung jawab, penghormatan atas nilai-nilai hak asasi manusia merupakan bagian yang paling integral. Nilai-nilai tersebut bisa disebut dengan pilar yang sangat penting bagi pembangunan masyarakat dan warga. Dalam pandangan ini nilai-nilai hak asasi manusia merupakan soko guru bagi pengembangan masyarakat dan warga itu sendiri.

Mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial di dalam pengertian good governance yang substansi dan pelaksanaannya menunjang pembangunan yang stabil dengan syarat yang utama: efisiensi dan pemerataan. Dalam pelaksanaannya, good governance mengandalkan rule of law terutama yang mencakup bidang ekonomi dan politik, penentuan kebijakan yang transparan, pelaksanaan kebijakan yang accountable, birokrasi yang berkualitas dan juga masyarakat yang capable.

Elemen-elemen accountability (politik dan publik), adanya kerangka hukum dalam pembangunan yang menjelaskan prediktibilitas abdi negara terhadap sektor swasta, informasi mengenai kebijakan pemerintah yang terjangkau oleh publik dan transparan berisikan kebijakan terbuka untuk pengawasan yang sangat berkaitan dengan convenant on Civil and Political Rights dan Convenant on Economic, Social, and Cultural Rights.

Tentu tidak mudah beranjak dari partai yang semula beridentitas eksklusif menjadi partai terbuka. Akan selalu ada persoalan dan tantangan kultural untuk berubah dari satu kebiasaan lama menjadi kebiasaan baru. Jelasnya, bisa saja muncul percampuran antara kecanggungan menerima “orang luar” ataupun ketidakrelaan untuk berbagi  tempat dengan mereka. Semua itu sungguh manusiawi.

Hanya saja, sikap-sikap demikian harus  sebisa mungkin diminimalisir karena tidak sesuai lagi dengan cita-cita untuk mengembangkan   solidaritas dan persaudaraan keagamaan (ukhuwwah Islamiyyah), persaudaraan kebangsaan (ukhuwwah wathoniyyah), dan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwwah basyariyyah). (bersambung)

*Suhermanto Ja’far adalah  Dosen Pascasrajana dan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry