Shodiq, S.Pd.M.MD – Dosen Fakultas Keperawatan dan Kebidanan (FKK)

ETIKA secara etimologis berasal bahasa Yunani, asal kata ethos yang artinya watak kesusilaan atau adat. Etika bersumber dari ilmu filsafat, beberapa aliran etika yaitu :

  1. Etika deontologi

Ini adalah etika yang memandang bahwa tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Etika deontologi tidak mempersoalkan akibat dari tindakan tersebut, baik atau buruk. Kebaikan adalah ketika seseorang melaksanakan apa yang sudah menjadi kewajibannya.

Etika deontologi adalah cabang dalam filsafat moral yang menekankan pentingnya tindakan-tindakan yang sesuai dengan kewajiban moral dan prinsip-prinsip universal, terlepas dari konsekuensi yang mungkin timbul dari tindakan tersebut.

Info Lebih Lengkap Kunjungi Website Resmi Unusa

Etika deontologi berfokus pada ide bahwa ada aturan moral yang harus diikuti, yang mana tindakan-tindakan tersebut dianggap baik atau buruk berdasarkan apakah mereka sesuai dengan aturan tersebut atau tidak. Konsep etika deontologi berasal dari karya filsuf Jerman, Immanuel Kant.

Kant mengembangkan teori moralnya berdasarkan ide bahwa tindakan-tindakan memiliki nilai moral yang tidak dapat diubah oleh konsekuensi yang mungkin terjadi. Menurut Kant, ada kewajiban moral yang berlaku secara universal, dan tindakan-tindakan harus dievaluasi berdasarkan apakah mereka sesuai dengan prinsip-prinsip moral yang universal atau tidak.

Dalam etika deontologi, terdapat beberapa prinsip utama:

  1. a) Kewajiban: Tindakan-tindakan dievaluasi berdasarkan apakah mereka memenuhi kewajiban moral atau tidak.
  2. b) Universalitas: Aturan-aturan moral harus dapat diterapkan secara universal pada semua orang dalam situasi yang serupa.
  3. c) Niat: Moralitas sebuah tindakan ditentukan oleh niat di baliknya, bukan oleh konsekuensi yang dihasilkan.
  4. d) Hak: Individu memiliki hak-hak tertentu yang harus dihormati terlepas dari hasil akhir.
  5. e) Keadilan: Etika deontologi sering menekankan prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan dalam pengambilan keputusan moral.

Meskipun etika deontologi menawarkan pendekatan yang jelas dan konsisten dalam membuat keputusan moral, para kritikus mengatakan bahwa pendekatan ini dapat menjadi terlalu kaku dan tidak dapat menangani situasi yang kompleks dengan baik, terutama situasi di mana konsekuensi menjadi faktor penting dalam penilaian moral. Namun demikian, para pendukung etika deontologi berpendapat bahwa pendekatan ini memberikan kerangka kerja yang kuat untuk membuat keputusan moral yang berasal dari prinsip-prinsip universal yang jelas.

Indonesia mempunyai beraneka ragam etika atau yang dikenal dengan norma yang tumbuh dan berkembang di masyarakat diantarnya adalah budaya Jawa, konsep moral sering kali dinyatakan dalam istilah “adat,” “adat istiadat,” atau “sopan-santun.” Adat dalam budaya Jawa tidak hanya mengacu pada norma-norma sosial atau tata cara yang harus diikuti, tetapi juga mencakup nilai-nilai moral yang mendasari tindakan dan perilaku seseorang dalam masyarakat. Dalam konteks budaya Jawa, moralitas sering kali dikaitkan dengan konsep “laku,” yang mengacu pada perilaku yang sesuai  dengan nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial. “Laku” yang baik biasanya didefinisikan sebagai perilaku yang sopan, hormat, dan memperhatikan kepentingan bersama.

Selain itu, dalam kepercayaan Jawa, terdapat juga konsep “budi pekerti” atau “budi luhur” yang mencerminkan sikap dan perilaku yang baik. Budi pekerti mencakup aspek-aspek seperti kejujuran, kerendahan hati, kesabaran, kasih sayang, dan rasa hormat terhadap sesama. Jadi, dalam konteks budaya Jawa, moralitas tidak hanya tentang kepatuhan pada aturan atau norma-norma sosial, tetapi juga tentang mengembangkan karakter dan sikap yang baik dalam hubungan dengan orang lain dan lingkungan sekitar.

  1. Etika teleologi

Etika ini disebut etika konsekuensialisme, adalah salah satu pendekatan dalam etika normatif yang menilai moralitas tindakan berdasarkan akibat atau konsekuensinya. Istilah “teleologi” berasal dari bahasa Yunani “telos”, yang berarti tujuan atau akhir, sehingga fokus utama dari pendekatan ini adalah pada hasil atau tujuan dari tindakan tersebut.

Prinsip dasar dari etika teleologi adalah bahwa suatu tindakan dianggap baik atau benar jika akibatnya menghasilkan konsekuensi yang diinginkan atau dianggap baik. Dalam konteks ini, “baik” sering diartikan sebagai apa pun yang meningkatkan kesejahteraan, kebahagiaan, atau kebaikan umum.

Salah satu bentuk etika teleologi yang paling terkenal adalah utilitarianisme, yang menekankan bahwa tindakan yang dianggap baik adalah tindakan yang menghasilkan hasil atau konsekuensi yang memberikan jumlah kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang yang paling besar. Namun, ada juga berbagai variasi dari etika teleologi, termasuk etika konsekuensialisme lainnya seperti etika konsekuensialisme egois dan etika akibat lainnya.

Meskipun etika teleologi memberikan pandangan yang jelas dan sederhana tentang cara menilai tindakan moral, ada beberapa kekhawatiran terkait dengan pendekatan ini. Salah satu kritik utama adalah bahwa ini dapat mengabaikan prinsip-prinsip moral lainnya, seperti hak asasi manusia atau keadilan, jika konsekuensi yang diinginkan tidak selaras dengan nilai-nilai tersebut.

Selain itu, ada keraguan tentang kemampuan kita untuk memprediksi semua konsekuensi tindakan kita dengan akurat, dan ada risiko bahwa fokus pada hasil akhir dapat mengaburkan pertimbangan etis tentang proses atau niat di balik tindakan tersebut.

Dalam praktiknya, banyak kerangka kerja etika mencoba untuk emadukan aspek teleologis dengan aspek deontologis (yang menekankan kewajiban atau aturan moral) dan aspek etika yang lainnya untuk memperoleh pendekatan yang lebih holistik dan berimbang dalam menilai tindakan moral. */bersambung

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry