Abdul Wahid adalah Wakil Direktur I Bidang akademik Program Pascasarjana Universitas Islam Malang dan pengurus AP-HTN/HAN dan penulis sejumlah buku terorisme.

“Jangankan cuma gereja dan  masjid, markas aparat keamanan pun diserang dan dibom, yang kesemua ini dilakukan untuk menjawab (membalas) “surat dari bidadari”.

Oleh: Abdul Wahid*

BEBERAPA minggu belakangan ini, atmosfir keamanan relatif aman dari gangguan teroris. Para pelaku kejahatan ini tidak mengusik keharmonisan publik. Secara umum, masyarakat dapat menjalankan aktifitasnya tanpa merasa dihantui ketakutan.

Ketika  kondisi masyarakat seperti itu, pertanyaan muncul, apakah ini karena aparat keamanan tergolong sukses melindungi atau menjaga kamtibmas ataukah karena para terorisnya masih tiarap?

Asumsi teroris masih tiarap merupakan asumsi yang tepat dengan tidak bermaksud mengecilkan peran aparat keamanan, pasalnya selama ini teroris tiba-tiba membuat kejutan dengan cara menjalankan aksinya. Mereka tiba-tiba memproduk peledakan bom atau menciptakan “perang” di tengah masyarakat.

Kekhawatiran itu juga didasarkan pada kesalahan pemahaman yang diyakini oleh seseorang atau sejumlah orang tentang pilihan menjadi “keluarga teroris”, sehingga diniscayakan suatu saat, mereka bisa saja melakukan gerakan yang bersifat tiba-tiba dan mengerikan.

Ada teroris yang menjadi pelaku peledakan suatu gereja. Sebelum terjun menjadi teroris ini, ia pernah diminta oleh orang tuanya untuk pulang dan menikah. Teroris ini menolaknya, dan kemudian memberi jawaban pada orangnya, bahwa ia hanya ingin menikah dengan bidadari.

Teroris itu sudah mendapatkan doktrin dari pimpinannya bahwa jika nanti meninggal dalam perjuangan, ia akan masuk surga dan dikawal oleh para bidadari. Teroris ini demikian kuat mempercayai apa yang disampaikan oleh pimpinan organisasinya, bahwa hidupnya akan terjamin jika sampai  mati di medan perjungan.

Rupanya teroris itu sudah mendapatkan “surat dari bidadari” yang mengundangnya, bahwa dirinya sudah ditunggu di surga.  Teroris ini senang dan bangga sebagai sosok pemuda yang dipilih masuk surga, sehingga instruksi dari  pemimpin organisasi teroris untuk menggunakan berbagai cara, termasuk mengebom gereja dan mati di tempat kejadian ditempuhnya.

Dalam dirinya menjadi tidak ada kata “takut”, karena “surat dari bidadari” telah mempengaruhi psikologis dan keyakinannya. Jangankan cuma gereja dan  masjid, markas aparat keamanan pun diserang dan dibom, yang kesemua ini dilakukan untuk menjawab (membalas) “surat dari bidadari”.

“Surat dari bidadari” itu disebar oleh kelompok teroris untuk merekrut dan meyakinkan sejumlah anak muda. Mereka dipengaruhi melalui selebaran, media sosial, buku, dan lainnya supaya mau mencerna dan meyakini kebenaran “surat dari bidadari”.

Tidak ada keluarga beradab atau beragama yang menghormati harkat kemanusiaan, yang merelakan anaknya menjadi teroris. Meski demikian, tidak sedikit di antara kita yang kaget setelah tahu ada di antara anak-anaknya yang terseret menjadi anggota “keluarga teroris: setelah mendapatkan “surat dari bidadari”.

Menyikapi ancaman seperti itu, maka keluarga atau orang tua dan lembaga-lembaga pendidikan harus semakin serius melakukan pengawasan terhadap perkembangan pergaulan atau kegiatan yang dijalankan anak-anak.

Salah satu ilmuwan dan pemenang nobel perdamaian dunia bernama Alberth Enstein pernah menyusun rumus “kimiawi sosial”, bahwa dunia ini akan semakin berbahaya (banyak kejadian buruk seperti ledakan bom), sehingga tidak layak  dihuni bukan akibat ulah penjahat, tetapi akibat sikap kita yang membiarkan kejahatan terjadi dan ”unjuk kekuatan” di tengah masyarakat”.

Kekhawatiran yang disebut Enstein itu sejatinya bangunan politik sosial yang berelasi dengan pencegahan dan penanganan kejahatan. Kimiawan ini mengajarkan kepada segmen sosial untuk tidak membiarkan, apalagi meliberalisasikan penjahat membikin “rumah” atau memproduk kawasan rentan terhadap tumbuh berkembangnya terorisme.

Kita sudah demikian sering dikejutkan oleh ulah seseorang atau sekelmpok orang yang tiba-tiba dengan “gagah berani” meledakkan dirinya di tengah kerumunan masyarakat, yang mengindikasikan kalau nyawanya sudah ada penjamin yang menerimanya atau memberikannya tempat terhormat, sehingga mereka seperti tidak punya beban social, psikologis, dan kemanusiaaan ketika menjalankan aksinya.

Enstein itu juga secara tidak langsung mengingatkan secara radikal terhadap setiap Negara, masyarakat, atau keluarga, bahwa dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara ini, terdapat banyak unit-unit sosial, politik, budaya,  dan keagamaan yang bisa saja memunculkan dan mengembangkan sekolah terorisme dalam bentuk penyebaran kandungan doktrin “surat dari bidadari”.

Perlu Menajamkan Kewaspadaan

Kimiawan itu telah menawarkan paradigma edukasi sosial, bahwa kita diminta selalu membentuk setiap unsur keluarga supaya mempunyai ketahanan moral, agama, dan psikologis supaya saat dihadapkan dengan tantangan (tawaran) ideologis dan teologis yang bersifat menyesatkan, kita tidak sampai terjerumus menjatuhkan pilihan berpihak kepadanya.

Jika dipahami dalam ranah filosofis, Enstein mencoba menggugah dan bahkan merekonstruksi kesadaran dan alam rasionalitas kita, bahwa  kejahatan itu tidak akan menjadi ancaman berbahaya dan tampil ”superior” bilamana setiap subyek sosial dan agama di tengah masyarakat, khususnya dalam komunitas keluarga supaya  selalu menajamkan kewaspdaaannya terhadap setiap gejala baik dalam lingkup keluarga maupun masyarakat yang berhubungan dengan terorisme.

Dalam berbagai kasus kejahatan terorisme, paradigma itu benar, bahwa  dunia atau masyarakat ini menjadi tidak aman dan sering dinodai oleh teroris akibat kurang serius (maksimal) dalam menciptakan konstruksi kehidupan keluarga dan masyarakat yang cepat tanggap atau cerdas membaca tawaran dan ”serangan” ideologis atau doktrin semacam ”surat dari bidadari”.

Teroris yang kerapkali mengguncang negeri ini, sejatinya layak digolongkan sebagai subyek sosial yang sakit, namun mobilitasnya mampu terwujud akibat rentannya ketahanan konstruksi masyarakat atau buruknya berbagai bentuk kontrol sosial (keluarga) dan keamanan. Kerentanan inilah yang membuat mereka bisa lebih leluasa menyerang dan menguasai (menghegemoni) sebagian elemen keluarga, khususnya anak-anak remaja dan mahasiswa.

Keaspadaan atau kecurigaan terhadap perilaku elemen keluarga dan orang lain, yang diikuti meminta keterangan identitasnya secara santun, serta lebih sering menciptakan dialog soal keagamaan dan ideologi demi mencegah bahaya lebih besar, merupakan  bagian dari pembumian “jihad” melawan segala ragam potensi kriminogen atau sel-sel radikalitas. (*)

*Abdul Wahid  adalah Wakil Direktur I Bidang akademik Program Pascasarjana Universitas Islam Malang dan pengurus AP-HTN/HAN dan penulis sejumlah buku terorisme.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry