eSURABAYA | duta.co – Pengurus Muhammadiyah sedang sibuk. Maklum, tidak lama, mereka menggelar Muktamar ke-48 Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah di Surakarta. Tepatnya hari Jumat 18-20 November 2022 M, bertepatan dengan 23-25 Rabiulakhir 1444 H.

“Muktamar adalah permusyawaratan tertinggi di Muhammadiyah. Selain momen regenerasi, Muktamar adalah momen silaturahmi dan kolaborasi warga persyarikatan. Muktamar diikuti ribuan orang perwakilan wilayah dan daerah Muhammadiyah, juga dimeriahkan warga Muhammadiyah se-Indonesia bahkan dunia,” demikian kabar muktamar48.id yang terbaca duta.co, Rabu (19/10/22).

Artinya, kini, pelaksanaan Muktamar Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah ke 48, tinggal satu bulan lagi. Panitia, mulai dari pusat hingga daerah mempersiapkan berbagai hal guna memastikan Muktamar dapat berjalan dengan sukses, menggembirakan, dan mencerahkan.

Dan, tak hanya warga Muhammadiyah yang sudah sibuk menyiapkan Muktamar, umat Katolik se Solo Raya juga sudah mengambil ancang-ancang untuk ikut menyukseskan Muktamar kali ini.

Dr KH Tafsir, MAg selaku Ketua PWM Jawa Tengah sekaligus Penanggungjawab Panitia Muktamar, saat dihubungi redaksi pwmjateng.com menyampaikan, bahwa umat Katolik se Solo Raya siap menyukseskan Muktamar sekaligus menyambut penggembira.

“Umat Katolik se-Solo, melalui Romo Didik yang ada di Keuskupan Semarang telah menyampaikan, bahwa, mereka siap menyambut dan melayani para penggembira muktamar,” demikian Tafsir.

Ia menambahkan, bahwa. umat Katolik se Solo Raya rencananya akan menyiapkan berbagai makanan untuk penggembira Muktamar di gereja-gereja Katolik se Solo Raya.

“Ada kemarin yang nelfon saya, ‘boleh nggak Pak Tafsir nanti di halaman gereka kami siapkan makanan dan sebagainya untuk penggembira Muktamar?’. Lalu saya menjawab, sepanjang makanan itu halal, jadi sah-sah saja,” imbuhnya.

Bertemu Khusus
Romo Didik Keuskupan Semarang. Foto : Arsip/pwmjateng.com

Kiai Tafsir juga menyampaikan bahwa umat Katolik sudah meminta waktunya untuk bertemu dalam rangka membahas niat baik mereka.

“Selagi itu menyangkut muamalah bisa bekerjasama dengan siapapun. Sebagaimana kaidah fikih : Al Ashlu Fil Mua’malati Al Ibahah Hatta Yadullu Ad Daliilu Ala Tahrimiha (Hukum asal dalam urusan muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya). Tidak ada dalil yang melarang kita memakan makanan dari orang non-muslim, selagi makanan itu dzatnya halal,” tegas Tafsir.

Tak hanya umat Katolik, tambahnya, masih terdapat umat non-muslim lainnya yang siap menyukseskan Muktamar.

Kiai Tafsir juga berpesan kepada warga Muhammadiyah agar tidak khawatir dan galau ketika nantinya ingin menikmati hidangan yang mereka suguhkan dari umat non-muslim dan harus senantiasa berprasangka baik. Terjamin kehalalannya.

Sejarah Singkat Muhammadiyah

Dari muktamar48.id, juga terbaca sejarah singkat Muhammadiyah. Pendiri organisasi ini adalah KH Ahmad Dahlan, di Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330 H).

Persyarikatan Muhammadiyah lahir untuk mendukung usaha KH Ahmad Dahlan untuk memurnikan ajaran Islam yang menurutnya banyak terpengaruh hal-hal mistik.

Kegiatan ini pada awalnya juga memiliki basis dakwah untuk wanita dan kaum muda berupa pengajian Sidratul Muntaha.

Selain itu peran dalam pendidikan diwujudkan dalam pendirian sekolah dasar dan sekolah lanjutan, yang dikenal sebagai Hogere School Moehammadijah dan selanjutnya berganti nama menjadi Kweek School Moehammadijah (sekarang dikenal dengan Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta khusus laki-laki, yang bertempat di Jalan S Parman no 68 Patangpuluhan kecamatan Wirobrajan.

Sementara Madrasah Mu’allimat Muhammadiyah Yogyakarta khusus Perempuan, di Suronatan Yogyakarta yang keduanya sekarang menjadi Sekolah Kader Muhammadiyah) yang bertempat di Yogyakarta dan berada dalam naungan langsung Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Dalam catatan Adaby Darban, ahli sejarah dari UGM kelahiran Kauman, nama “Muhammadiyah” pada mulanya menjadi usulan kerabat dan sekaligus sahabat Kyai Ahmad Dahlan yang bernama Muhammad Sangidu, seorang Ketib Anom Kraton Yogyakarta dan tokoh pembaruan yang kemudian menjadi penghulu Kraton Yogyakarta, yang kemudian Kyai Dahlan putuskan setelah melalui salat istikharah (Darban, 2000: 34).

Pada masa kepemimpinan Kyai Dahlan (1912-1923), pengaruh Muhammadiyah terbatas di karesidenan-karesidenan seperti: Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, dan Pekajangan, sekitar daerah Pekalongan sekarang. Selain Yogya, cabang-cabang Muhammadiyah berdiri di kota-kota tersebut pada tahun 1922.

Pada tahun 1925, Abdul Karim Amrullah membawa Muhammadiyah ke Sumatera Barat dengan membuka cabang di Sungai Batang, Agam. Dalam tempo yang relatif singkat, arus gelombang Muhammadiyah telah menyebar ke seluruh Sumatra Barat, dan dari daerah inilah kemudian Muhammadiyah bergerak ke seluruh Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Pada tahun 1938, Muhammadiyah telah tersebar ke seluruh Indonesia. (mtu)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry