SAKSI: Saksi Rahmat Satria dan Firdiat Firman saat memberikan keterangan di depan persidangan perkara pungli PT Akara yang melibatkan Augusto Hutapea sebagai terdakwa. Duta/Henoch Kurniawan

SURABAYA | duta.co – Mantan Presiden Direktur (Presdir) PT Terminal Petikemas Surabaya (TPS) Rahmat Satria dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Tanjung Perak Surabaya sebagai saksi dalam sidang perkara pungutan liar (pungli)  yang melibatkan Augusto Hutapea, Direktur Utama PT Akara Multi Karya (AKM) sebagai terdakwa.

Pada sidang yang digelar di ruang Garuda I Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Selasa (30/5), saksi mengakui bahwa uang yang dia terima dari David Hutapea (tersangka berkas terpisah, red) sekaligus pemilik PT Akara merupakan pembagian dana marketing fee.

“Tapi saya tidak dapat pembagian keuntungan dari PT Akara. Uang yang ditranfer dan saya pergunakan itu adalah marketing fee,” ujar Rahmat.

Tak tanggung-tanggung, saat jaksa Katrin menanyakan berapa total jumlah dana yang sudah ditranfer David, saksi menjawab sekitar Rp 2,5 miliar. “Dana itu ditranfer ke rekening BCA atas nama David Hutapea dan kartu ATM-nya diserahkan ke saya,” terang saksi.

Dari jumlah dana tersebut, saksi mengaku sebagian besar dipergunakan untuk kegiatan sosial dan menjamu rekan-rekan bisnisnya. Selain dirinya, saksi mengaku mengetahui ada pihak lain yang juga diserahi kartu ATM oleh David. Mereka adalah Djarwo, mantan Dirut Pelindo III dan Firdiat Firman, mantan manejer Energi Logistik Pelindo III, yang keduanya juga ditetapkan sebagai terdakwa dalam perkara ini.

Namun, pada November 2016, saksi mengaku bahwa dana tersebut dikembalikan oleh saksi kepada David. Saat ditanya jaksa alasan pengembalian uang tersebut, saksi mengatakan dirinya merasa khawatir saat ada informasi adanya pelanggaran yang PT Akara lakukan. “Saya takut,” tambahnya.

Saat masih menjabat, saksi mengatakan tidak pernah mendapat laporan dari terdakwa Augusto terkait hasil kinerja PT Akara. “Malah yang melapor ke saya adalah papanya, yaitu David Hutapea. Apabila ada peningkatan omset pak David laporan, sebaliknya juga gitu, apabila sepi juga melaporkan,” beber saksi.

Apabila kondisi PT Akara sepi, saksi mengaku langsung melakukan penggalangan kepada para impotir dan asosiasi yang ia kenal untuk memasukan barang ke PT Akara. “Saya membantu marketingnya, uang fee saya sebesar 25 persen,” terang saksi.

Selanjutnya, saksi mengaku mengeluarkan  memo pada Januari 2014 yang memerintahkan jajarannya untuk segera menindaklanjuti proposal PT Akara. Ia juga memerintahkan mengurus ijin ke otoritas pelabuhan soal penggunaan blok W oleh PT Akara.

Soal pemberlakuan tarif, saksi mengatakan tarif yang diberlakukan oleh PT Akara kepada pengguna jasa tidak perlu mendapat ijin dari Otoritas Pelabuhan.

Disetujuinya PT Akara beroperasi didalam lahan PT TPS, menurut saksi hal ini juga tindak lanjut dari diskusi dirinya bersama ombudsman yang menyarankan agar karantina ditempatkan di dalam kawasan pelabuhan, selama ini berada di luar pelabuhan.

“Sejauh saya menjabat, tidak pernah saya dengar ada keluhan yang terlontar dari para importir maupun asosiasi terkait kebijakan PT Akara. Malah sebaliknya, mereka selaku pengguna jasa malah senang karena sistemnya cepat,” tambah saksi.

Selain Rahmad Satria, jaksa juga menghadirkan Firdiat Firman sebagai saksi. Dalam keterangannya, Firdiat mengisahkan ihwal perannya pada kerjasama antara PT TPS dengan PT Akara. Firdiat merupakan ipar dari Djarwo. Ia merupakan sosok yang mengenalkan David Hutapea ke jajaran pejabat Pelindo III dan PT TPS.

Untuk diketahui, terdakwa Augusto dijadikan terdakwa sesaat Satgas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) bekerja sama dengan Satgas Dwelling Time Polres Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya,  meringkus terdakwa serta Direktur Operasional dan Pemasaran Pelindo III Rahmat Satria.

Rahmat diduga menerima uang pungutan liar yang dilakukan PT AKM. Keterlibatan Rahmat berawal saat menjadi presiden direktur PT TPS.

Terdakwa Augusto ditangkap terlebih dahulu ketimbang terdakwa lainnya seperti Rahmat Satria, Djarwo, Noni maupun Firdiat Firman. Saat dalam pemeriksaan, Augusto menyebut nama Rahmat. Menurut polisi, setiap bulan bisa menarik pungutan Rp 5 miliar sampai Rp 6 miliar. Jika praktik kotor itu telah berlangsung dua tahun, nilainya sungguh fantastis. Hingga ratusan miliar rupiah.

PT AKM berada di bawah naungan PT TPS. Mereka merupakan rekanan balai karantina pertanian. Sebagai pihak ketiga, PT AKM punya kewenangan membuka segel kontainer.

Jika importer mengirim sepuluh kontainer, PT AKM meminta pungutan untuk semua kontainer. Per kontainer dibanderol Rp 500 ribu hingga Rp 2 juta. Praktik itu dilakukan sejak lama. Selama ini, importer sama sekali tidak berdaya dengan pola tersebut. Bahkan, infonya barang masih di Singapura saja, sudah ditagih sama mereka.

PT AKM bertugas untuk fumigasi karantina. Mereka bertanggung jawab mencegah penyakit yang dibawa oleh hama di dalam kontainer. PT AKM ini penyedia alat. Kontainer-kontainer yang masuk harus melalui prosedur fumigasi.

PT AKM ditunjuk langsung oleh PT TPS. Alhasil, mereka menguasai lebih dari 50 persen pasar kontainer yang akan dikarantina. Penunjukan itu bukan tanpa balas jasa. Setiap bulan PT AKM menyetor upeti kepada PT TPS. Nah, sebagai presiden direktur PT TPS pada 2014, Rahmat diduga turut menikmati duit haram tersebut. eno

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry