“Oknum ‘kutu loncat’ ini justru pegang peran di MPR Periode 1999-2004 dengan memimpin Panitia Ad Hoc 1. Sementara yang lain boleh disebut ‘penggembira’ kalau tidak mau disebut ‘penghianat’.”

Oleh : dr Zulkifli S Ekomei

DOKTER, memang, terbiasa berpikir dan bertindak sistematis dalam menegakkan diagnosa pasien. Demikian juga seharusnya dalam melihat RUU Kesehatan yang telah menyulut unjuk rasa damai, ribuan tenaga kesehatan dari seluruh penjuru tanah air.

Lihat, para tenaga kesehatan (Nakes) itu sudah tumplek blek di Jakarta hari Senin 8 Mei 2023 kemarin. Mereka menolak RUU Kesehatan. Selain Jakarta, aksi juga digelar di beberapa kota lain. Inilah risiko yang harus mereka terima.

Seperti kita ketahui MPR periode 1999-2004 telah memberlakukan UUD Baru yaitu UUD NRI 1945, dengan tehnik seolah-olah melakukan perubahan bertahap sebanyak 4 kali terhadap UUD’45 yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945.

Pemberlakuan UUD NRI 1945 sebagai UUD baru itu, tidak serta merta terjadi seolah-olah untuk memenuhi tuntutan rakyat terhadap perlunya reformasi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, karena persiapannya dilakukan secara terstruktur, sistemastis dan masif.

Lembaga-lembaganya disiapkan lebih dahulu yang diisi oleh tenaga-tenaga yang dididik di Amerika melalui program-program beasiswa, kemudian tenaga-tenaga ini masuk ke lembaga-lembaga resmi pemerintah maupun swasta sambil melatih kader-kadernya, misalnya DPR, MPR, Partai Politik, Lembaga Swadaya Masyarakat, TNI dan Polri.

Langkah “konstitusional”nya dimulai dengan pencabutan TAP No.IV/MPR/1983 tentang referendum dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang referendum, sehingga penggantian atau perubahan Undang Undang Dasar tidak perlu lagi melalui referendum, tapi bisa dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat yang sebetulnya tidak berwenang merubah atau mengganti UUD.

Setelah itu, tim dibagi, ada yang melalui MPR dan ada yang melalui lembaga penekan di luar MPR, yang melalui MPR tentu harus melalui partai politik, maka terjadilah “eksodus” dari Partai Politik yang dianggap sebagai warisan Orde Baru yaitu Golongan Karya (padahal Golongan Karya adalah organisasi karya dan kekaryaan yang lahir di era Orde Lama) ke partai politik yang lahir dari fusi partai-partai politik yang ideologinya beragam yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang merupakan pecahan dari Partai Demokrasi Indonesia.

Oknum-oknum “kutu loncat” inilah justru yang pegang peran di Majelis Permusyawaratan Rakyat periode 1999-2004 dengan memimpin Panitia Ad Hoc 1, sementara anggota yang lain boleh disebut “penggembira” kalau tidak mau disebut “penghianat”. Menariknya bulan September 1999 mereka dilantik, bulan Oktober 1999 rancangan “perubahan” UUD sudah siap, tentu saja patut diduga rancangan ini bjkan disiapkan oleh MPR tapi oleh institusi di luar MPR.

Sementara oknum-oknum yang bertugas di lembaga penekan di luar MPR, melalui beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Organisasi Non Pemerintah (Ornop) kemudian membentuk Koalisi Ornop Untuk Konstitusi Baru, melakukan beberapa kegiatan terutama membangun opini publik tentang perlunya dilakukan perubahan terhadap UUD, dengan memunculkan issue-issue yang gampang memancing emosi publik seperti korupsi, kolusi dan nepotisme.

Setelah berhasil mengganti UUD’45 dengan UUD baru yaitu UUD NRI 1945, maka muluslah agenda mereka untuk membuat UU yang pro kapitalis termasuk UU Kesehatan yang akan sangat mengganggu masa depan profesi tenaga kerja kesehatan di negerinya sendiri Indonesia.

Sudah saatnya para dokter bangkit untuk menyelamatkan bangsa dan negara dari penjajahan gaya baru seperti yang pernah dilakukan para pendahulunya, para dokter yang tergabung dalam organisasi pergerakan Boedi Oetomo. (*)

Salam Perjuangan !!!!!!! Merdeka !!!!!!!

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry