“Adagium “dalam politik tidak ada teman abadi yang ada adalah kepentingan abadi” belum sepenuhnya disadari oleh sebagian  masyarakat. Ada missing link antara prosedur politik dan massa sebagai elemen politik.”

Oleh Achmad Murtafi Haris

BELAKANGAN ada gerak politik yang membuat bingung publik dan menimbulkan  respons keras netizen. Pertama, kunjungan Muhaimin Iskandar, bacawapres Anies Baswedan ke Habib Rizieq Shihab. Kedua, masuknya Kaesang Pangarep ke Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang langsung menjadi Ketua Umum.

Seperti diketahui, antara HRS dan Gus Dur, pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) terjadi perseteruan hingga HRS tega mencaci maki Gus Dur. Bagaimana pula Muhaimin berkunjung ke orang yang pernah menyakiti orang yang paling berjasa terhadap partainya dan terhadap dirinya sendiri?

Dalam perjalanan politik Islam, PKB pun menjadi lawan ideologis Front Pembela Islam yang dinahkodai Rizieq Shihab yang mengusung identitas Islam. Pada pilpres 2019, HRS bersama PKS dan elemen sefaham membuat  gerakan massa 212 yang mengular dari bunderan HI hingga Monas dan mendukung Prabowo Subianto sebagai capres untuk mengalahkan Jokowi.

Pertarungan begitu sengit dan mencerminkan konflik ideologis antara kelompok pengusung identitas Islam dan pendukung  kelompok nasionalis yang berkuasa.

Kedatangan Muhaimin bersama Anies Baswedan, tentu dipersoalkan oleh loyalis NU yang tidak senang dengan perangai politik Rizieq Shihab selama ini. Betapa mudahnya  perubahan sikap terjadi dari lawan menjadi kawan. Setelah ditelusuri ternyata kehadiran itu adalah untuk memenuhi undangan resepsi pernikahan anak HRS. Suatu yang kemudian bisa dimaklumi karena jauh dari politik.

Masyarakat akar rumput tidak mudah melupakan lawan. Sementara politisi dengan mudahnya berbalik arah tanpa proses panjang. Pelaku politik yang berada dalam sistem atau partai berada dalam dinamika yang cepat sementara masyarakat konstan.

Di sinilah terjadi perbedaan sikap politik antara masyarakat dan aktivis parpol.  Masyarakat maunya konsisten, yang lawan akan terus menjadi lawan yang kawan akan terus menjadi kawan. Sementara bagi politisi tidak ada kawan dan  lawan yang abadi.

Siapa mengira Anies yang representasi oposisi Jokowi tiba-tiba menggaet Muhaimin yang pendukung utama Jokowi. Siapa mengira pula partai Nasionalis Demokrat (Nasdem) yang mendukung Jokowi mengusung Anies yang banyak didukung PKS dan dan demokrat, partai oposisi.

Merasa gacoannya diambil orang, Fahri Hamzah dari partai Gelora berkomentar, bagaimana Nasdem tiba-tiba menjadi partai Islam karena mengusung Anies yang representasi Islam padahal dia adalah partai nasionalis.

Bagi Anies yang politisi, seperti halnya partai, dia tidak masalah dengan dicalonkan oleh kubu yang semula adalah lawan di Pilgub Jakarta. Pencalonan oleh partai apa pun bagi Anies adalah syarat awal untuk mengikuti kontestasi pilpres. Yang penting dapat tiket dulu. Perkara pendukung, itu nanti pasca pencalonan resmi dilalui. Keberadaan massa pendukung bukanlah  syarat pencalonan. Syarat pencalonan adalah oleh partai bukan oleh massa  Kecuali jika calon independen diperbolehkan.

Demikian juga dengan Muhaimin, dengan definisi politik adalah seni merebut kekuasaan, maka yang terpenting baginya adalah tiket cawapres didapat. Daripada bertahan bersama Prabowo tapi tidak kunjung diresmikan,  mending yang pasti-pasti aja. Dia pun menerima tawaran kubu “lawan” yang telah pasti memberinya posisi itu.

Adagium “dalam politik tidak ada teman abadi yang ada adalah kepentingan abadi” belum sepenuhnya disadari oleh sebagian  masyarakat. Ada missing link antara prosedur politik dan massa sebagai elemen politik. Prosedur bekerja secara  administratif-formal sementara massa praktis-informal.

Pertimbangan praktis masyarakat adalah kesamaan faham (ideologi) dan latar belakang dengan calon pemimpin. Kesamaan faham muncul dalam bentuk jargon seperti memperjuangkan misi agama atau jargon perubahan yang kerap digunakan untuk mengganti rezim penguasa. Penguasa di mana pun tidak ada yang sempurna. Ini memberi celah harapan bagi munculnya penguasa baru.

Demokrasi mendukung pergantian pemimpin secara berkala dan tidak mendukung kekuasaan dinasti seperti dalam kerajaan. Lanjut dan tidaknya rezim  penguasa bergantung pada dukungan rakyat yang diputuskan oleh suara rakyat lewat pemilu.

Di sinilah perburuan dan perebutan suara rakyat terjadi untuk memenangkan calon yang diusung. Kelompok masyarakat dengan identitas ideologi yang tebal akan menjadi modal suara utama bagi partai dengan ideologi yang sama. Sementara rakyat dengan ideologi dan identitas yang tipis akan menjadi sasaran tambahan suara. Kelompok pertama sering disebut dengan kelompok tradisional atau basis suara yang secara turun temurun telah menentukan pilihan pada partai dan kelompok politik yang sama.

Sementara kelompok kedua sering disebut dengan basis massa mengambang yaitu yang tidak berasal dari keluarga yang berafiliasi pada kelompok politik dan ormas tertentu. Kelompok pertama dalam teori politik dikategorikan sebagai minimal simpatisan, atau supporter atau yang tertinggi fighter  (pejuang) yang akan membela dan mempromosikan dukungannya kepada yang lain. Level simpatisan bisa terlibat bisa tidak terlibat dalam perdebatan medsos.

Sementara supporter adalah yang paling aktif seperti halnya suporter sepak bola yang selalu hadir dalam pertandingan. Sementara fighter memiliki kemampuan mengendalikan diri lebih baik. Seperti para pengurus partai atau tim sukses mereka memahami apa dan bagaimana dunia politik. Mereka mengetahui batasan bahasa politik sehingga tidak berbicara secara sarkastik  berbeda dengan supporter yang kerap bersi tegang dan terlibat adu mulut hingga caci maki di laman medsos. Sesekali kalau ada yang keterlaluan dan membuat telinga terbakar (tidak cuma merah), muncul masalah ke permukaan dan menjadi delik aduan ITE.

Pemilih tradisional inilah yang sebenarnya kurang bisa menerima gerak zig-zag partai politik. Secara kuantitas, mereka masih kalah banyak dengan kelompok silent majority atau spectator (penonton). Mereka, pemilih tradisionalis terfragmentasi dalam kubu-kubu yang berseteru satu sama lain. Secara umum secara ideologis, mereka terbagi dalam kelompok Islam, nasionalis, dan hybrid.

Debat panas di medsos tentu membentuk emosi yang bertahan dalam benak seseorang. Sementara politisi bermain dengan tangan dingin. Otak boleh panas tapi hati tetap dingin. Sementara massa keduanya panas. Sehingga tidak bisa reda begitu saja ketika patron yang didukung mengajak orang yang menjadi patron musuh.

Inilah realitas politik yang harus dimengerti oleh massa tradisional dan inilah realitas massa yang harus dipertimbangkan oleh pelaku politik. Janganlah gajah berkelahi membuat banyak pelanduk mati di tengah.(*)

Achmad Murtafi Haris adalah dosen UIN Sunan Ampel Surabaya

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry