PERCAYA DIRI: Basuki ‘Ahok’ Tjahaja Purnama dalam sidang kesepuluh kasus penistaan agama di Auditorium Kementan Jakarta, Senin (13/2). (IST)

Presiden Minta Mendagri Berkonsultasi kepada MA

JAKARTA-Sebanyak 90 anggota DPR pendukung hak angket pengaktifan Basuki ‘Ahok’ Tjahaja Purnama sebagai gubernur walaupun sudah berstatus terdakwa resmi mengusulkan hak angket, Senin (13/2). Mereka berasal dari empat fraksi yang teken usulan hak angket ‘Ahok Gate’.

Empat fraksi yang mengusulkan hak angket ini adalah Partai Demokrat, Gerindra, PKS, dan PAN. Para pengusul ini diterima oleh tiga pimpinan DPR yaitu Fadli Zon, Fahri Hamzah, dan Agus Hermanto. Mereka pun menyerahkan hak angket yang sudah ditandatangani kepada para pimpinan.

Fraksi Partai Demokrat yang diwakili oleh Fandi Utomo mengatakan, kedatangan mereka untuk menyampaikan hak angket kepada para pimpinan DPR. Dia pun penjabarkan komposisi 90 tanda tangan yang sudah dikumpulkan sejak pagi kemarin.

“Kami empat fraksi, Partai Demokrat, Gerindra, PKS dan PAN bermaksud mengajukan hak angket terkait pengangkatan Saudara Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai gubernur DKI. Untuk memenuhi itu, Fraksi Gerindra mengumpulkan 22 tanda tangan anggota, Partai Demokrat 42 anggota, PAN 10 anggota dan PKS 16 anggota. Atas nama empat fraksi ini, mohon kiranya pimpinan bisa meneruskan ke tahapan selanjutnya,” ujar Fandi saat bertemu pimpinan DPR RI di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (13/2).

Sementara perwakilan FPKS DPR Al Muzzammil Yusuf mengatakan, pengajuan hak angket tersebut sebagai salah satu dari fungsi DPR, yaitu fungsi pengawasan. “Selain itu dalam sumpah presiden di pasal 9 disebutkan akan sepenuhnya mejalankan UUD 1945. Dalam konteks itu, konstitusi ada hak angket dalam pelanggaran undang-undang,” paparnya.

Yandi Susanto yang mewakili FPAN mengatakan, banyak kejanggalan yang terjadi pada pengangkatan kembali Ahok sebagai gubernur DKI. Salah satunya adalah pemilihan hari serah terima jabatan yang masih pada masa kampanye, yakni Sabtu (11/2) lalu.

“Dari 560 anggota DPR, kalau ada waktu akan lebih banyak yang tanda tangan. Tapi karena berpacu dengan waktu, apalagi ini mendidik masyarakat bahwa apa yang sedang terjadi di masyarakat kita respons cepat,” ujar Yandri.

Dia melanjutkan, banyak yang janggal pada serah terima jabatan Ahok. Pertama, kenapa dilakukan di hari Sabtu pada masa kampanye. Kedua, kenapa kepala daerah lain diberhentikan secara langsung, kenapa Ahok ‘dianakemaskan’.

“Kami sebagai anggota DPR yang concern untuk mengusulkan hak angket, ini semua akan kita kawal. Yang tidak tanda tangan bukan berarti tidak mendukung,” lanjut Yandri.

Ahmad Riza Patria, mewakili Fraksi Gerindra mengatakan, dengan mengajukan hak angket ‘Ahok-Gate’, mereka ingin memberikan kesamaan hukum bagi semua warga negara. Selain itu, dengan adanya hak angket bisa menunjukkan adanya keberpihakan dari pemerintah terhadap salah satu calon dalam Pilkada.

“Ini tugas kita dalam amanat konstitusi. Serah terima jabatan bila itu melanggar bisa didiskualifikasi calon tersebut (dari Pilkada). KPU, Bawaslu dan DKPP harus bertindak cepat. Yang paling penting, pemerintah bisa menujukkan keadilan dan tidak berpihak,” ujarnya.

Sementara Fadli Zon yang mewakili pimpinan DPR mengatakan akan meneruskan hak angket yang sudah diserahkan sesuai dengan mekanisme yang berlaku. Dia ingin semua orang mendapat perlakuan yang sama di depan hukum. Dia juga merasa ada yang janggal pada serah terima jabatan untuk mengembalikan posisi Ahok sebagai Gubernur DKI.

“Akan diuji bersama hak angket ini. Tadi disebutkan ini didukung empat fraksi. Kalau bisa meneruskan, siapa tahu lebih banyak yang mau ikut (hak angket),” tutupnya.

 

6 Fraksi DPRD DKI ‘Boikot’ Pemprov

Sementara itu, enam fraksi di DPRD DKI Jakarta menyatakan bakal menghentikan hubungan dengan eksekutif, dalam hal ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Penolakan sebagian anggota DPRD ini terkait status Gubernur Ahok sebagai terdakwa kasus penodaan agama. Sejumlah fraksi itu tidak terima Ahok masih menjabat dengan statusnya sebagai terdakwa.

“Jadi, selama tidak jelas, legislatif berisiko mau membahas apa pun. Tidak ada rapat kerja dengan eksekutif dan kegiatan lain- lainnya,” kata Wakil Ketua DPRD DKI Fraksi Partai Gerindra, Muhammad Taufik di Jakarta, Senin (13/2).

Pernyataan tersebut berasal dari Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi PPP, Fraksi PKS, Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi PAN.

Bila Ahok menjadi gubernur, kata Taufik, dikhawatirkan keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah berpotensi cacat secara hukum. Untuk itu dia mendesak agar Kementerian Dalam Negeri memutuskan segera kepastian pemberhentian Ahok.

“Setelah ini kami berlima akan bersurat ke Kemendagri dan Presiden. Lebih parah lagi kalau kami kerja, tapi cacat hukum. Dan ini sampai statusnya jelas,” ujar Taufik.

Produk hukum yang dikeluarkan seperti instruksi gubernur, peraturan gubernur, keputusan gubernur dan pencairan anggaran menurut dia berpotensi dipermasalahkan publik lantaran status Ahok saat ini sebagai terdakwa. “Kami khawatir dengan adanya keputusan gubernur dilakukan bisa jadi dispute di ranah publik,” kata Wakil Ketua DPRD Triwisaksana.

 

Mendagri Konsultasi MA

Terkait masalah ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meminta Mendagri Tjahjo Kumolo untuk mendapatkan berkonsultasi ke Mahkamah Agung (MA).  Hal ini disampaikan oleh Haedar Nashir, ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, usai menemui Jokowi di Istana Negara.

“Ini kan banyak tafsir. Bahkan Pak Presiden sendiri betul-betul memahami, menyadari banyak tafsir itu. Bahkan beliau meminta Mendagri untuk minta pandangan resmi dari MA,” kata Haedar usai menemui Presiden Jokowi di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (13/2).

Haedar pun meminta, jika sudah terdapat pandangan resmi dari MA maka Mendagri perlu melaksanakan pandangan tersebut. Pandangan dari MA ini diperlukan lantaran banyaknya pemahaman di masyarakat terkait hukum yang menyangkut Ahok tersebut.

Secara terpisah, endagri Tjahjo Kumolo sendiri menyatakan, , Selasa (14/2) hari ini akan berkonsultasi dengan MA terkait pasal pemberhentian Ahok. Langkah ini diambil karena ada perbedaan tafsir hukum atas pencopotan Ahok.

Beberapa fraksi partai seperti PAN, PKS, Partai Demokrat dan Partai Gerindra menilai Kemendagri melanggar Pasal 83 Ayat (1), (2), dan (3) UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Tjahjo ingin MA memberikan penafsiran hukum yang jelas apakah bisa mencopot Ahok jika belum masuk tahap penuntutan.

Tjahjo menjelaskan, alasan belum menonaktifkan Ahok karena jaksa penuntut umum (JPU) menuntut dengan dakwaan alternatif. Dakwaan primer, jaksa menjerat Ahok dengan Pasal 156a KUHP. Sedangkan, dakwaan alternatif kedua mencatut Pasal 156 KUHP.

“Kami mau inventarisasi semua masalah, kami baru pertama kali pengalaman saya menandatangani surat pemberhentian kepala daerah maupun tidak diberhentikan kasus sebagai terdakwa atau tidak, baru ini ada alternatif. Apakah ini salah atau benar? Semua orang punya tafsir, maka dari itu kami minta kepada MA yang lebih fair,” kata Tjahjo di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (12/2).

Politisi PDIP ini menjelaskan, alasan belum memberhentikan Ahok karena dakwaan jaksa masih bersifat alternatif selain dakwaan primer. Kendati demikian, dia mengaku akan menerima segala pendapat dan kritik terkait status Ahok.

“Setelah Kemendagri menerima register dari pengadilan, dakwaannya alternatif, pasal ini alternatif pasal ini. Ini nanti keputusan pengadilan atau tuntutannya beda, bukan berarti kami memonopoli pendapat pemerintah. Pendapat para pakar, anggota DPR kami terima,” tegasnya.

Berbeda halnya jika kepala daerah yang tersangkut kasus tindak pidana korupsi atau terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT). Oknum pejabat daerah terbukti melakukan korupsi, maka Kemendagri bisa langsung mencopotnya.

“Pemerintah sebagaimana kebiasaan yang dulu kalau ada pejabat Kemendagri maupun kepala daerah tersangkut masalah hukum itu dakwaannya jelas sehingga kalau di-OTT langsung dihentikan. Ada juga kepala daerah yang terdakwa di bawah lima tahun tidak kami berhentikan,” tegasnya.

Alasan lainnya, kata Tjahjo, karena Ahok merupakan calon gubernur DKI Jakarta yang akan bersaing di Pilkada Serentak 15 Februari mendatang. “Ini yang terdakwa ikut Pilkada kan tidak enak,” tutup Tjahjo.

Sebelumnya, pakar hukum dan tata negara Mahfud MD mempertanyakan alasan Mendagri yang menunggu sidang tuntutan. Sebab, dasar penonaktifan kepala daerah yang terlibat tindak pidana sesuai UU Pemda adalah dakwaan. Sedangkan dakwaan kepada Ahok sudah jelas ancamannya hukumannya lima tahun penjara. ful, hud, net

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry