ASTINAPURA, DRUPADI DAN GERAKAN PRAMUKA: DALAM PUSARAN KEKUASAAN

Oleh Anis Ilahi Wahdati*

MAHABARATA karya sastra besar, mengisahkan perebutan kekuasaan antar saudara sekeluarga yang sangat dramatis dan mengharu biru kemanusiaan. Saudara sepupu yang masih diikat oleh nilai nilai keluarga berseteru habis-habisan, penuh siasat, penuh muslihat memperebutkan kekuasaan. Nilai-nilai keluarga yang semestinya mempersatukan justru porak poranda, memecah belah, saling bunuh karena dorongan nafsu kuasa. Negara Astinapura yang oleh kakek nenek mereka berhasil dibangun menjadin kerajaaan besar, gemah ripah loh jinawi, pusat moralitas bernegara, pusat keteladanan, kehidupan para warganya memegang teguh satya dan darma, seketika ambruk ke titik nadir, ketika jatuh menjadi arena perebutan kekuasaan yang absurd.

Nasib Gerakan Pramuka bisa jadi akan beda tipis dengan negara Astinapura, jika proses rekrutman, dinamika budaya dan tata kelola pemilihanan pengurus organisasi lebih diwarnai trik dan tips menyiasati kekuasaan daripada melahirkan kepemimpinan yang berkepimpinan sesuai norma satya serta darma pramuka. Kehancuran akan terjadi jika dinamika pemilihan pengurus organsiasi lebih diwarnai gerakan kekuasaan yang pragmatis transaksional daripada gerakan pemikian, gerakan moral maupun gerakan pembaruan yang idealis transformatif sesuai kebutuhan dan tantangan yang dihadapi. Sebagai gerakan pendidikan yang mengusung nilai-nilai darma dan satya yang adiluhung, Gerakan Pramuka bisa saja seketika runtuh, tenggelam kehilangan kredibilitasnya seperti negara Atinapura jika terjebak dalam arus perebutan kekuasaan tanpa nilai.

Institusi sebesar atau sesetrategis apapun akan tenggelam, ketika terjadi disorientasi, terseret arus pusaran kekuasaan sehingga melahirkan sikap “saling mencaci, saling meniadakan, saling ancam, saling berwacana kebun binatang, diklaim sebagai tindakan suci dalam pikiran dan perbuatan”. Juga ketika “antara tindak menodai nilai-nilai organisasi diklaim sebagai tindak menjaga dan menyelamatkan organisasi”. Juga antara tindak “menghancurkan diklaim sebagai tindak membangun”. Kehancuran akan makin sempurna, ketika orang pandai, orang bijak bestari, orang yang semestinya menjadi penjaga api keteladanan, lebih memilih diam. Lebih memilih jalan aman dihadapan kekuasaan. Ukuran benar, sukses, berhasil, maju, dsb menjadi monopoli kekuasaan tanpa koreksi.

Gerakan Pramuka sebagai organisasi pendidikan sudah semestinya terbebas dari berbagai intrik kekuasaan dalam proses rekrutmen dan pembentukan kepengurusannya. Proses transisi kepengurusan harus menjadi arena konsolidasi dan desiminasi ide-ide tranformasi organisasi untuk menjawab tantangan dan masalah yang dihadapi, bukan menjadi arena transaksi kekuasaan yang pragmatis mengamakankan kepentingan dan bagi-bagi kekuasaan kelompok tertentu. Transisi kepengurusan Gerakan Pramuka semestinya menjadi ladang memperkokoh semangat pengabdian, kerelawanan, dan persaudaraan bakti bukan melahirkan perseteruan, fragmentasi, pembelahan dan konflik entah berantah.

Geger Astinapura, menempatkan Drupadi, tokoh perempuan simbol kesetiaan, kecantikan, berbudi luhur, teliti, sabar dan bijaksana, menjadi korban dalam pertarungan kekuasaan yang absurd. Nasibnya begitu tragis, ketika akan ditelanjangi di tengah sidang istana oleh Dursasana. Drupadi berhasil selamat dari aib yang tak terkirakan oleh tangan Sri Kresna. Namun airmatanya deras mengalir, teriakan pedihnya menjerit-njerit menembus langit. Dia berduka, dia terluka karena orang bijak, pemimpin besar, orang cerdik pandai yang ada di sekitar dirinya, semua terdiam tidak mengulurkan tangan membantu atau mencegah melihat rudapaksa yang sedang dialaminya.

Dipadang Kurusetra ketika Drupadi berhasil memenuhi sumpahnya, berkeramas mencuci rambutnya dengan darah Dursasana yang berhasil dibunuh oleh Bima, Drupadi tidak sepenuhnya berbahagia. Dia mengutuk pusaran kekuasaan yang telah menjadikan manusia hilang akal dan budi, manusia kehilangan rasa welas asihnya, manusia kehilangan kewarasannya.

_”… seret dan hinakan aku, permalukan harkat dan martabatku didepan meja pengadian, seolah aku tidak pernah mewariskan nilai-nilai persaudaraan bakti untukk mengkahiri silang sengketa. Lumuri wajahku dengan peribahasa kebun bintang yang kasar tak bertepi. Bakar tubuhku, cabik-cabik asetku yang tak seberapa itu hingga tak tersisa. Rantailah tanganku kuat kuat hingga aku tak dapat memeluk tubuh kecil anak-anaku dengan hangat sambil membisiki mereka agar lebih suka menempuh jalan kepemimpinan daripada memilih jalan kekuasaan. Runtuhkanlah jejak sejarahku sebagai pemersatu, habisilah jejakku sebagai pemberi energi persatuaan, gantilah jejaku sebagai pemecah belah dan sumber percekcokan. Jika semua itu masih kurang …. ini … ya ini … ini wajahku … permalukan wajahku dengan kisah kisah buruk ke seantero jagat digital seluas kamu mampu, jika perlu semut pun kau kabari tentang aibku …..,”_ Drupadi berteriak histeris, melengking tajam penuh duka, di padang Kurusetra.

Sang dalang membawakan kisah Drupadi dengan sangat dramatis. Suara gamelan betalu talu mengiringi penuh irama duka. Beberapa penonton terisak, menahan air mata, dada sesak ikut berduka atas nasib Drupadi yang naas. Jleb ! tiba-tiba listrik mati. Semua terdiam dalam gelap. Entah penanda apa. Di alam imajinasi tampak Drupadi memeluk Gerakan Pramuka dengan erat. Senasib sepenanggungan, bisik Drupadi dengan lirih, Gerakan Pramuka tersenyum, seperti tak pernah kehilangan asa !!!

Anis Ilahi Wahdati adalah Ketua Dewan Kerja Penegak dan Pandega Kwarda DI Yogyakarta, masa bakti 1987-1991.

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry