Sidang MK (foto atas) dan tragedi Mei 1998 (FT/AFP/BBC/Liputan6.com)

“Di ujung Ramadhan 1445 H ini, ada doa untuk 278 juta lebih warga Indonesia. Semoga dari Gedung MK, ada lorong terang untuk memperbaiki nasib bangsa. Apa pun putusan MK, kita terima sebagai solusi bersama.”

Oleh Mokhammad Kaiyis*

PREDIKSI putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terus berkembang. Di WA grup ada yang menviralkan putusan MK ‘mendiskualifikasi’ Prabowo-Gibran. Lalu, digelar Pilpres ulang, hanya ada 2 pasangan calon, Anies-Muhaimin Vs Ganjar-Mahfud. Padahal, itu petitum pemohon.

Ada prediksi lain, MK mendiskualifisi Gibran saja, tidak dengan Prabowo (presiden terpilih). Artinya MK memotong habis peran Presiden Jokowi yang dinilai ‘cawe-cawe’ plus menguras duit negara demi kemenangan anaknya.

Lalu, ada pula keyakinan, MK menolak seluruh tuntutan pemohon. Paslon Prabowo-Gibran (yang didukung 96,21 juta suara, tertinggi dalam 5 kali Pilpres sebelumnya) menjadi pemenang (sah) Pilpres 2024.

Spekulasi terakhir ini, jelas, lebih mewakili Prof Yusril dkk – sebagai pihak terkait alias kuasa hukum Prabowo-Gibran di sidang MK. Kita tunggu saja putusan MK, Senin 22 April 2024.

Petaka Reformasi

Sekarang, ajakan demo di mana-mana. Intinya, saat putusan dibacakan, ribuan orang siap mengepung Gedung MK. Bahkan ada semacam penyesalan atas nama agama. Katanya, mengapa tidak ada ulama (Islam) yang tampil menjadi saksi ‘kecurangan’ di sidang MK, sementara tokoh non-muslim bicara soal pelanggaran etika di depan 8 hakim mahkamah. Padahal, Indonesia, mayoritas muslim.

Meletakkan seluruh kesalahan orde reformasi di pundak Presiden Jokowi, jelas, tidak bijak. Apalagi menyalahkan Gibran Rakabuming Raka. Di mana saat Orba (Presiden Soeharto) runtuh — melalui kerusuhan Mei 1998 – usia Gibran masih SMP,  11 tahun (Lahir 1987). Bahkan Jokowi pun, belum tampak ‘batang hidungnya’.

Maka, ‘kejengkelan’ Cak Nun – sampai menyebut Firaun, Haman dan Qorun – bisa dipahami. Karena Cak Nun adalah ‘orang penting’ di balik proses mundurnya Pak Harto. Maka, kesalahan fatal di era reformasi, baginya, sangat menjengkelkan. Tapi, jengkel, bukan solusi. Cak Nun harus mencari ‘pintu baru’ guna mengembalikan orde reformasi ke agenda yang benar.

1 dari 5 Orang Itu

MK tidak mendatangkan Presiden Jokowi di ruang persidangan. Alasannya tidak elok. Hanya dua Menko dan dua menteri (Menko PMK Muhadjir Effendy, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Menteri Sosial Tri Rismaharini) yang dicecar soal bantuan sosial (Bansos) dan cawe-cawe pemerintah dalam Pilpres 2024.

Hasilnya, bisa ditebak, 4 menteri itu justru mematahkan tudingan penyalahgunaan Bansos. Di sini, kuasa hukum pemohon dan termohon, sampai pihak terkait tidak boleh bertanya. Sidang ketujuh itu, menjadi pamungkas (babak akhir) menuju rapat permusyawaratan hakim (RPH).

Mahkamah kemudian memberi kesempatan kepada pemohon untuk menyampaikan kesimpulan tertulis agar diserahkan maksimal 16 April 2024 pukul 16.00 WIB. Tampak sebuah proses hukum yang hebat. Tapi, masih terkesan kuat, sangat sulit dan berat bagi mahkamah.

Ceramah Tahun 2006

Saat membolak-balik kitab Nashaihul Ibad, karya Syekh Nawawi Al Bantani, tiba-tiba masuk algoritma baru. Isinya: Ceramah  almaghfurlah KH Saerozi (Lamongan) tahun 2006, di Desa Ngrandu, Kecamatan Peterongan, Kabupaten Jombang.

Di sini, Kiai Saerozi membahas sebagian dari isi kita tersebut, yakni larangan meremehkan 5 orang (ulama, umara, tetangga, anak dan istri) yang berada di sekitar kita. Dalam tulisan ini, hanya dicuplik satu bagian: Tidak boleh meremehkan umara.

Barangsiapa yang meremehkan umara (para pemimpin), maka akan rugilah dunianya,” demikian Kiai Saerozi sambil menyuguhkan tamsil proses runtuhnya orde baru dan era reformasi yang terus menimbulkan petaka bagi kita.

KH Saerozi, menyebut proses runtuhnya Presiden Soeharto, itu menjadi penyebab petaka yang beruntun. Kalau model suksesi seperti itu dibiarkan, akan terus menyulitkan kita dalam merawat kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Kendaraan pejabat dibakar. POM Bensin dibakar. Gedung yang tidak salah, dibakar. Rakyat tidak (lagi) menghormati pemimpin. Caci-maki menjadi barang lumrah. “MasyaAllah, bejat-bejatan. Negara tambah baik apa tambah jelek? Tambah rusak, hutang tambah jero (banyak),” jelasnya sedih.

“Bahwa memperbaiki pemimpin, itu penting. Tetapi jauh lebih penting adalah memperbaiki masyarakatnya. Mengapa? Karena masyarakat yang baik akan melahirkan pemimpin baik. Masyarakat jelek, akan melahirkan pemimpin jelek,” tambah Kiai Saerozi.

Almaghfurlah juga mencontohkan betapa rakyat (dulu) sangat hormat kepada Presiden Soeharto. “Saya pernah disuruh baris di jalan (hanya) untuk menghormati Pak Harto. Lalu saya tanya; Apakah Pak Harto lewat sini? Jawabnya, ‘tidak’. Lho, sampai segitunya hormat kita kepada beliau,” tegasnya.

Contoh lain adalah Pilkades di Desa Ngrandu. “Kalau masyarakat Ngrandu mayoritas jelek, maka, yang menjadi kepala desa orang jelek. Sebaliknya, kalau masyarakat Ngrandu mayoritas baik, maka, yang jadi kepala desa orang baik. Kalau mayoritas masyarakat baik, kok dapat pemimpin jelek, itu berarti  ada orang jelek bergaya baik. Kaidah ini tidak boleh dibantah,” tegasnya.

Tahun 2006, sewindu setelah Pak Harto jatuh, Kiai Saerozi sudah merasakan petaka datang bertubi-tubi. “Makanya kalau ada pemimpin baik, harus dihormati. Kalau ada pemimpin jelek tetap harus dihormati. Caranya diingatkan dengan baik. Kalau tidak bisa, jangan dipilih. Selesai,” tegasnya.

Jadi, membenahi pemimpin tanpa membenahi masyarakat, omong kosong. Itulah sebabnya, konsistensi Ketua DPD RI, La Nyalla Mattalitti mengembalikan kedaulatan rakyat dengan cara kembali ke UUD 1945 asli, patut kita apresiasi. Karena terbukti amandemen UUD 45 telah mengubah mental rakyat menjadi mata duitan, termasuk dalam memilih pemimpin.

Meminjam bahasa Hakim MK (Arif Hidayat ), bahwa, Indonesia (sekarang) sedang tidak baik-baik saja, karena berbagai sektor kekuatan politik (eksekutif, legistalif, yudikatif)  sudah terpusat di tangan (orang) tertentu. Apakah mungkin kondisi seperti ini dibenahi dengan putusan MK? Waallhau’alam bish-shawab. Kita tunggu! (*)

*MOKHAMMAD KAIYIS adalah Anggota Dewan Kehormatan PWI Jawa Timur.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry