Keterangan Foto wajibbaca.com dan Tribunnews.com
“Gus Dur memahami bahwa utang sering kali menjadi jebakan oleh kekuatan global, beliau sangat hati hati, bahkan berusaha keras ingin moratorium utang.”

Oleh : Mukhlas Syarkun*

TEMA besar dalam perdebatan yang selalu mencuat antara dua pendukung (Prabowo dan Jokowi red.) adalah tentang utang dan subsidi. Jika ada yang mempersoalkan, langsung dibully oleh team Pak Jokowi, bahkan, dicelatu, dianggap tak mengerti persoalan dan bahkan langsung divonis sebagai penyebar kebencian dan hoax.

Intinya tak boleh dikritik, sebab menurut team Pak Jokowi yang  mengerti hanya Bu Sri Mulyani dan bahkan diagungkan diyakini mempunyai kebenaran absolut.

Padahal bicara utang dan subsidi tidak perlu sekelas Bu Sri Mulyani, penjual nasi kucing saja bisa memahami ‘bahwa banyak utang itu tanda tidak baik, dan dicabutnya subsidi  menyebabkan beban rakyat semakin bertambah’.

Saya mencoba membandingkan dengan Gus Dur karena zaman Gus Dur (ketika itu) dalam keadaan krisis, berbeda ketika zaman Pak Jokowi dilantik, ekonomi relatif stabil.

Cara berpikir kedua presiden ini bertolak belakang. Gus Dur berusaha sekuat tenaga untuk tidak utang bahkan ingin moratorium, sementara Pak Jokowi keranjingan utang.

Mengapa demikian?

Pertama, Gus Dur seorang intelektual muslim yang mengerti  bahwa dalam ajaran Islam utang harus dijauhi, karena itu, beliau tidak mau meninggalkan utang yang menumpuk. Sementara Pak Jokowi melihat utang adalah potensi untuk pembangunan. Maka wajar Pak Jokowi terus menambah utang dalam tiga tahun saja tambahan utang hampir  mencapai Rp 2000 triliun, sementara enam presiden dalam waktu panjang, enam puluh tahun, hanya ninggalin utang Rp 2600 triliun

Kedua,Gus Dur seorang tokoh yang tumbuh menjadi sosok negarawan, maka cara berpikir-nya adalah bagaimana memberi kemaslahatan pada rakyat, sementara Pak Jokowi adalah pedagang dan lazimnya berpikir bagaimana mendapat keuntungan, maka wajar subsidi menurut Pak Jokowi adalah pemborosan dan dianggap memberatkan APBN. Sementara Gus Dur berpikir subsidi adalah sedekah untuk rakyatnya dan tanggung jawab konstitusi. Selain itu Subsidi sangat bermanfaat untuk menjaga daya beli dan upaya pemberdayaan rakyat yang lemah.

Ketiga, Gus Dur memahami bahwa utang sering kali menjadi jebakan oleh kekuatan global, beliau sangat hati hati, bahkan berusaha keras ingin moratorium utang, sementara Pak Jokowi tidak demikian. ‘Tentu ini bisa jadi karena Pak Jokowi tidak mempunya kapasitas pengetahuan yang memadai seperti Gus Dur tentang situasi global, maka, bagi Pak Jokowi utang dianggap sebagai durian runtuh.

Semua Tergantung Rakyat

Lalu bagaimana dampaknya? Meskipun zaman Gus Dur situasi krisis, tetapi beliau mampu bertahan dan bahkan pertumbuhan ekonomi mencapai 7% dan dapat menurunkan angka kemiskinan tertinggi yaitu 5,5%*, sementara Pak Jokowi ketika dilantik keadaan ekonomi relatif stabil, tetapi pertumbuhan ekonomi yang dijanjikan tidak tercapai, ekonomi hanya tumbuh 5% dan hanya mampu menurunkan 1,1% angka lemiskinan.

Hal ini terjadi karena beda kapasitas antara seorang intelektual yang negarawan dan  pedagang. Ini mengingatkan firman Allah bahwa pemimpin dipilih sosok yang mempunyai kapasitas keilmuan lebih. “….Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu  yang luas dan tubuh yang perkasa… (QS.Al-Baqarah: 247). Juga sabda nabi yang wanti-wanti agar tidak menyerahkan urusan pada mereka yang tidak punya kapasitas keilmuan yang memadai.

Di pilpres 2019 tentu semua tergantung pada rakyat, sebab dialam demokrasi ini, semua bebas menentukan pilihan: Apakah melanjutkan atau mengganti yang dianggap mempunyai kapasitas lebih,..!!! (*)

*Mukhlas Syarkun adalah mantan Pengurus Pesat GP Ansor.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry