Drs Arukat Djaswadi: Generasi muda harus paham betul kekejaman PKI, agar peristiwa keji itu tak terulang lagi. (FT/MKY)

SURABAYA | duta.co – Besok, Sabtu 5 Oktober 2019, di Surabaya pelajar dan pemuda mengikuti lomba pidato ‘melawan lupa’ kekejaman PKI. Sementara, Kamis (3/10), anak cucu PKI yang tergabung dalam Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) keliling instansi, menyerahkan temuan barunya berupa 346 titik kuburan massal korban tragedi 65/66.

Perang data dan opini tentang komunis tak kunjung selesai. Karenanya, generasi Islam tidak boleh cuek, harus paham kisah kebiadaban Ormas terlarang ini. “Mereka ingin membalik fakta. Menekan pemerintah agar PKI dan anak cucunya dinyatakan sebagai korban. Kalau mereka korban, lalu, siapa pelakunya? Apakah kiai-kiai, santri, umat Islam yang telah menjadi korban kebiadabannya? Kita harus bangkit ‘melawan lupa’,” demikian tokoh anti komunis, Drs Arukat Djaswad yang juga Direktur Center for Indonesia Comunity Studies (CICS) kepada duta.co.

Usaha anak cucu PKI membalik fakta, ini memang bica memicu ketegangan baru. Ini sekaligus bisa melupakan kepedihan yang dialamai keluarga para jenderal revolusi, korban kebengisan PKI. Seperti disampaikan Hendrianti Sahara Nasution, alias Ibu Yanti Nasution, putri pertama alm. Jendral Abdul Haris Nasution. Ia menyesalkan adanya ‘penyederhanaan’ kebiadaban PKI.

Kepada TV One Ibu Yanti berharap, agar pejabat pemerintah tahu kisah kekejaman PKI, sehingga tidak seenaknya berkomentar kepada publik. “Coba deh sesekali ketemu dengan kami, anak-anak para pahlawan revolusi, agar mereka tahu apa yang seharusnya diucapkan sebelum berbicara kepada publik. Saya dulu umur 13 tahun, melihat dan mengalami sendiri. Bagaimana orang-orang terdekat kami dibunuh. Saya yang membangunkan Om Pierre malam itu,” demikian Ibu Yanti kepada reporter TV One di rumah kediaman Jendral AH Nasution, yang kini jadi museum.

Cerita ini kemudian viral melalui WA grup. Intinya, putra putri pahlawan revolusi yang menyaksikan sendiri bagaimana proses ayah mereka dieksekusi, dibentak-bentak, ditembak, dipukul dengan popor senjata, tubuh/jasadnya diseret-seret seperti binatang dan sejumlah perlakuan tidak manusiawi lainnya, berharap agar kita punya sedikit saja rasa empati.

Trauma psikis yang mereka alami membekas seumur hidup. Pada dini hari itu mereka harus mengalami sendiri kekejian dan kesadisan terjadi di depan mata, menimpa orang-orang terdekat mereka. Lalu mereka masih harus terus berada dalam kondisi mencekam berhari-hari kemudian.

“Masih tegakah kita mengecilkan penderitaan mereka dengan mengatakan “TIDAK BENAR ADA PENYIKSAAN”. Atau… film (G30/S/PKI red.) itu terlalu sadis? Padahal kalau dibuat seperti aslinya, malah bisa lebih sadis lagi,” begitu komentar salah seorang netizen usai membaca kisah putri pahlawan revolusi.

Jaman itu, katanya, tidak ada Komnas HAM, tidak ada Komnas Perlindungan Anak, tidak ada bantuan  trauma healing bagi anak-anak para Jendral yang dibunuh atau santri-santri di ponpes-ponpes yang menyaksikan kiai-kiai mereka diburu, guru-guru ngajinya disiksa, ponpes diobrak-abrik, dibakar, dan semua itu terjadi di depan mata mereka.

“Mereka menyimpan memory kelam itu dalam pikiran dan perasaan mereka sepanjang hayatnya. Intinya, putra putri pahlawan revolusi itu hanya ingin agar anak-anak jaman sekarang tahu, bahwa, kejadian seperti itu benar-benar terjadi,” tambahnya.

MH Rofiq, Mantan Ketua GP Ansor Jatim juga bercerita bagaimana fakta kekejaman PKI di Kediri, Jawa Timur. Menurutnya, semua itu fakta, bukan rekayasa, bukan omong kosong, bukan buatan Soeharto. “Masih ada saksi hidup yang bisa bercerita. Saat itu, kondisinya sudah karut marut, dibunuh apa membunuh. Kalau umat Islam tidak bergerak, bisa habis dibunuh,” jelasnya.

Gerilya Bedjo Untung

Soal gerilya YPKP dengan membawa data kuburan massal, Ketua YPKP 65 Bedjo Untung mengatakan, ratusan titik ini merupakan data yang dikumpulkan hingga 1 Oktober 2019 dari berbagai wilayah di Indonesia. Di sini Bedjo berusaha meyakinkan bahwa keluarga PKI sebagai korban.

“Temuan tersebut bertambah hampir tiga kali lipat dibanding pada 2016 sebanyak 122 titik,” katanya seperti dikutip CNNIndonesia.com.

Bedjo memprediksi jumlah tersebut masih akan terus bertambah. Itulah sebabnya, sambung Bedjo, YPKP 65 meminta Komnas HAM untuk menindaklanjuti temuan. Salah satunya, kata dia, dengan melindungi lokasi yang diindikasi sebagai kuburan massal.

“Kami minta Komnas HAM menindaklanjuti berupa merawat dan menjaga supaya kuburan massal ini tidak dirusak dan dihilangkan. Sekarang ada indikasi, banyak tempat yang sudah di-buldoser; dijadikan mall, wisata. Saya lihat itu di Purwodadi, Malang kemudian di Pemalang dan di Widuri,” ungkap Bedjo kepada perwakilan Komnas HAM.

Data Kekejaman PKI Tak Kalah Banyak

Monumen Kresek menjadi saksi bisu kekejaman PKI saat membantai sejumlah tokoh dan ulama di Madiun. Gambaran kekejaman PKI tersebut dapat dilihat di sejumlah relief yang ada di seputaran monumen. Tak jarang pengunjung merasa miris dan tidak tega untuk melihatnya. Banyak korban dibunuh secara kejam. Diikat tangan dan kaki, diseret, serem. Monumen ini fakta sejarah yang telah terlewati.

Salah seorang pengunjung monument, Nia, kepada wartawan detik.com, mengatakan, ia sendiri mengaku datang ke monumen ini karena penasaran dengan cerita kekejaman PKI. Ia berharap dengan datang ke monumen itu, bisa menyampaikan cerita itu kepada anak cucunya kelak.

“Saat kejadian saya memang belum lahir, tapi saya akan menceritakan ke anak cucu saya kelak tentang kekejaman PKI dalam sejarah,” paparnya.

Dikisahkan salah satu pengelola Monumen Kresek, Heri Purwadi, dalam sejarahnya, mereka yang menjadi korban kekejaman PKI, baik dari tokoh ulama maupun santri dibunuh secara keji, dicambuk, disayat dengan pisau, bahkan juga ada yang dikubur hidup-hidup.

Ada pula yang menggambarkan seorang warga ditelanjangi dan diseret dengan tangan kaki terikat. Ada juga seorang kiai yang diikat, diseret, kondisi telanjang. Tak tanggung-tanggung, korban pembantaian PKI kala itu mencapai 1.920 orang, padahal PKI hanya menduduki Madiun selama 13 hari saja, terhitung sejak tanggal 18-30 September 1948. Benar-benar biadab.

Sesuai data resmi dari Kodim Madiun PKI menguasai Madiun sejak 18 hingga 30 September 1948. Singkat namun ada ribuan korban yang berhasil dibinasakan dengan kejam. Ini masih di Madiun, belum Kediri, Jombang, Banyuwangi, Malang dll. Terlalu banyak umat Islam menjadi korban kebengisan PKI. Apakah mereka tidak mau mengakui? Waallahu’alam. (dari berbagai sumber)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry