SURABAYA | duta.co – Habis sudah kesabaran sejumlah elemen masyarakat, terhadap pemerintah yang telah menyodorkan draf perundang-undangan Omnibus Law Cipta Kerja beserta dengan naskah akademik kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia.

“Kepada Presidan Republik Indonesia, tarik atau batalkan draf Undang-undang Cipta Kerja (CIKER) yang sudah di serahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia. Dan kepada DPR RI jangan coba-coba membahasnya. Hentikan karena ini bisa memberangus demokasi,” demikian teriak para demonstran yang terdiri dari 28 elemen masyarakat, Rabu (11/3/2020).

Menurut Kepala Bidang Perburuhan dan Miskin Kota, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) urabaya, Habibus Shalihin, SH, Omnibus Law ini memunculkan penolakan. Apalagi sejak draf tersebut diserahkan pemerintah, tidak akan penah lagi memanggil stekolder yang memiliki kepentingan langsung dalam perancangan perundang-undangan ini,” katanya.

Padahal, lanjutnya, dalam perjalanan Draf RUU Cipta kerja (Ciker) ini, mengancam masyarakat sipil karena ketidak-transparannya pemerintah terhadap masyarakat yang memiliki keterlibatan khusus, hanya melibatkan kalangan investor.

“Penolakan oleh berbagai kalangan, ini menandakan ketidakkonsistennya pemerintah dalam proses penyusunan RUU tersebut. Ini nyata, karena dari awal Rancangan Undang-undang Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka) sampai saat ini diubah menjadi RUU Cipta Kerja (RUU Ciker), terdapat pasal-pasal liar dan dapat mengancam demokrasi,” tegasnya.

Dalam penyusunannya saja, jelas Habibus Shalihin, terbukti tidak ada keterbukaan terhadap akses publik untuk bisa mengakses draft RUU Ciker. Akibat hal tersebut pemerintah berpotensi mengangkangi norma-norma konstitusi.

“Seperti Pasal I ayat (2) UUD 1945 yang meletakkan dasar bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu juga Pasal I ayat (3) UUD 1945 yang meletakkan dasar bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, maka, sepatutnya dalam penyusunan harus melibatkan seluruh steakholder yang berkepentingan,” terangnya.

Pemerintah demi melakukan perubahan dalam iklim Investasi, merasa harus mengeluarkan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU CIKER) dengan melakukan revisi 79 Undang-Undang. 15 Bab yang mana didalamnya terdapat ribuan pasal dan di ringkas menjadi 1 (satu) dengan 174 pasal dalam RUU CIKER.

Ada beberapa poin penolakan didalam kajian ini, antara lain:  Pertama, di dalam ketenagakerjaan akan ada penghilangan terhadap status pekerja tetap, maka, status pekerja menjadi kontrak atau pekerja tidak tetap. Alasannya sistem fleksibilitas kerja.

“Padahal, sebelumnya, dalam aturan Undang-Undang ketenagakerjaan pengunaan outsorching dibatasi dan hanya untuk tenaga kerja di luar usaha pokok. Kemudian upah minimum bagi pekerja juga akan hilang dikarenakan sistem fieksibilitas tenaga kerja, serta sistem pengupahan berbasis jam kerja yang cenderung ekspoitatif.”

Selain itu, Jaminan sosial berpotensi hilang akibat adanya fleksibilitas kerja. Ancaman hilangnya hak pesangon yang digantikan dengan tunjangan PHK selama 6 (enam) bulan dengan nominal yang lebih rendah dari ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan. “Dalam RUU Ciker ada pengurangan komponen dalam pasangon dan akan banyak merugikan para pekerja dan buruh. Ini masalah serius,” tegasnya.

Petani Bisa Kejet-kejet

Ancaman lain juga timbul, adalah untuk kalangan perempuan. Yaitu bagi hak perempuan terutama untuk cuti haid, waktu istirahat ibadah, cuti melahirkan dihilangkan, meski pun ada larangan pemutusan hubungan kerja terkait hal tersebut, namun banyak peluang yang bisa digunakan pengusaha seperti pemotongan upah.

“Ruang-ruang demokratis yang sebelumnya bisa digunakan pekerja dalam menyelesaiakan beberapa perselisihan hak, maupun kepentingan yang diwakili oleh serikat akan hilang, karena pengusaha dalam melakukan PHK tidak lagi berwajiban merundingkannya dengan serikat pekerja,” tambah Habibus Shalihin.

Selain itu, RUU CIKER berpotensi mengancam ekologi lingkungan, karena adanya kewenangan di dalam bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, menjadi kewenangan pemerintah pusat. Sehingga menimbulkan pembatasan akses masyarakat terhadap informasi, partisipasi dan keadilan, terutama dalam pengambilan keputusan.

“Ini jelas berpotensi pada lingkungan hidup, apalagi dengan banyaknya penghapusan pengenaan sanksi adminstrasi yang kemudian banyak diberikan tata caranya melalui peraturan pemerintah, sehingga dalam hal ini kewenangan pemerintah daerah hanya bersifat diskresi,” ujarnya.

Begitu juga dalam hal pertambangan. Untuk kewenangan perizinan pertambangan juga diambil alih pemerintah pusat, dengan didelegasikan melalui peraturan pemerintah sehingga potensi insentif terhadap pelaku usaha yang, melakukan kegiatan pengembangan dan pemanfaatan bisa diperpanjang izinnya, sampai seumur tambang.

Di sisi lain, petani juga terpukul. “Ditariknya kewenangan ke pusat, ini berpotensi terhadap perizinan pertanian. Apalagi dengan banyaknya penghapusan kewajiban penting (termasuk sanksinya) seperti memiliki izin lingkungan, membuat AMDAL, analisis resiko, pemantauan lingkungan hidup, bahkan penyediaan sarana-prasarana penanggulangan kebakaran juga dihapus, dalam hal ini keterlibatan masyarakat dalam pengawasan untuk lingkungan hidup yang sehat menjadi hilang.”

Tidak hanya itu, jelasnya, dalam kluster pertanian, jika dikaji secara mendalam terdapat perubahan dalam salah satu pasal. Pada Pasal I Ayat 7 Undang-Undang Pangan Nomor 18 tahun 2012 yang pada RUU Cipta Kerja diubah menjadi ketersediaan pangan adalah kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri, cadangan pangan nasional, dan impor pangan.

Padahal, sebelumnya untuk ketentuan impor hanya diperbolehkan apabila hasil produksi dan cadangan nasional tidak bisa memenuhi kebutuhan. Peletakan impor pangan sebagai elemen yang setara dalam pemenuhan ketersediaan pangan, ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak mengutamakan produksi dalam negeri, ini menimbulkan lemahnya upaya pemerintah untuk lebih memaksimalkan pemanfaatan produksi dalam negeri, serta tidak adanya keterbatasan impor sehingga, bukan tidak mungkin bahwa jalur impor pangan dibuka seluas-luasnya untuk pelaku usaha impor. “Matilah petani kita,” teriaknya.

Belum lagi soal kelautuan. Perluasan definisi terhadap nelayan ini, berpotensi menjadikan nelayan dengan kapal yang bermuatan besar (nelayan bemodal besar) termanjakan. Berdasarkan hal tersebut di atas, kami yang tergabung dalam Gerakan Tolak Omnibus Law (GETOL) menuntut sebagai berikut:

  1. Menuntut Kepada Presidan Republik Indonesia secepatnya menarik atau membatalkan Draf Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (CIKER) yang sudah di serahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia .
  2. Menuntutu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republk Indonesia untuk menghentikan pembahasan Draf Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (CIKER).

Pernyataan sikap ini diteken Habibus Shalihin (LBH Surabaya) Abdoel Moedjib (JARKOM) Jasuli (SEKJEN DPW FSPMI JATIM). Sementara 28 elemen tersebut adalah 1. YLBHI-LBH SURARAYA 2 KASBI 3 4 FSPMI 5. LAMRI SP KEP 6 SP DANAMON 1. WALHI JATIM 9. FBTPI 10. KPA JAWA TIMUR IL. SPN GRESIK 12 SPRI 13. BEM SI 14. PMI IS. FNKSDA 16 IMM CARANG SURARAYA 17. GMNI CABANG SURARAYA 18. BARA APM 19. KSBSI 20. SPSI LEM 21. LASKAR SPN SDA 22. KADER HUAU MUHAMMADIYAH 23. KAMIPARHO SBSI 24. JARKOM. 25. WADAS 26. KSN 27. KONTRAS 28. P2KFI. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry