“Di sini Pemerintah dan DPR sudah jelas tidak lagi mau menggunakan Pancasila sebagai dasar untuk membuat UU Cipta Lapangan kerja, sehingga regulasi tersebut semakin jauh dari Industrial Pancasila.”
Oleh : Prihandoyo Kuswanto, Pusat Studi Rumah Pancasila

PARAH! Sejak UUD 1945 diamandemen, negara sudah tidak lagi berdasarkan Pancasila. Salah satu buktinya, Pancasila tidak lagi menjadi dasar hubungan industrial. Lahirnya UU Omnibus Law menjadi bukti, bahwa, Pancasila tinggal nama. Wakil rakyat (DPRI RI), tanpa hati, menetapkan UU Sapujagat yang jelas-jelas jauh dari hubungan Industrial Pancasila.

Padahal, hubungan Industrial Pancasila adalah hubungan antara para pelaku dalam proses produksi barang dan jasa (pekerja, pengusaha dan pemerintah). Ini haruslah didasarkan atas nilai dan manisvestasi dari keseluruhan sila-sila Pancasila dan Undang-undang 1945 yang tumbuh dan berkembang di atas kepribadian bangsa dan negara.

Lihatlah, betapa indah ciri-ciri hubungan Industrial Pancasila. Pertama, mengakui dan menyakini bahwa bekerja bukan sekedar mencari nafkah saja, melainkan juga sebagai pengabdian manusia kepada Tuhannya, sesama manusia, masyarakat, bangsa dan negara.

Kedua, menganggap pekerja bukan hanya sekedar faktor produksi belaka, melainkan sebagai manusia pribadi dengan segala harkat dan martabatnya. Ketiga, melihat antara pekerja dan pengusaha bukan mempunyai kepentingan yang bertentangan, melainkan mempunyai kepentingan yang sama untuk kemajuan perusahaan.

Keempat, setiap perbedaan pendapat antara pekerja dan pengusaha harus disesuaikan dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat yang dilakukan secara kekeluargaan dan kelima, adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban untuk kedua belah pihak, atas dasar rasa keadilan dan kepatutan.

Sementara sarana Hubungan Industrial Pancasila meliputi Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Organisasi Pengusaha, Lembaga kerja sama Bipartit, Lembaga kerja sama Tripartitdilakukan, Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja Bersama, Peraturan Perundang-undangan Ketenagakerjaan dan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).

Hubungan apik ini, sekarang diobrak-abrik. Mari kita lihat, apa itu omnibus law? Secara terminologi, omnibus berasal dari Bahasa Latin yang berarti untuk semuanya. Dalam konteks hukum, omnibus law adalah hukum yang bisa mencakup untuk semua atau satu undang-undang yang mengatur banyak hal.

Dengan kata lain, omnibus law artinya metode atau konsep pembuatan regulasi yang menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda, menjadi satu peraturan dalam satu payung hukum.

RUU Cipta Kerja hanya salah satu bagian dari omnibus law. Dalam omnibus law, terdapat tiga RUU yang siap diundangkan, antara lain RUU tentang Cipta Kerja, RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, dan RUU tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.

Namun demikian, Omnibus Law Cipta Kerja, paling banyak jadi sorotan publik. Selain dianggap banyak memuat pasal kontroversial, RUU Cipta Kerja dinilai serikat buruh hanya mementingkan kepentingan investor.

Secara substansi, RUU Cipta Kerja adalah paket Omnibus Law yang dampaknya paling berpengaruh pada masyarakat luas, terutama jutaan pekerja di Indonesia. Hal ini yang membuat banyak serikat buruh mati-matian menolak RUU Cipta Kerja.

Terkait Upah Minimum

Dalam pasal 88C draft RUU berbunyi, Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. Dan dijelaskan lebih lanjut bahwa upah minimum tersebut merupakan minimum provinsi. Pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 tahun 2005, penetapan upah dilakukan di provinsi serta kabupaten/kota/ Sehingga menetapkan UMP sebagai satu-satunya acuan besar nilai gaji.

Memangkas Pesangon

Pemerintah akan memangkas pesangon yang diwajibkan pengusaha jika melakukan PHK (pemutusan hubungan kerja). Nilai pesangon bagi pekerja turun karena pemerintah mengganggap aturan yang ada pada UU Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan tidak implementatif.

Penghapusan Cuti Khusus

RUU Cipta kerja mengubah ketentuan cuti khusus atau izin yang tercantum dalam UU Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Penghapusan izin atau cuti khusus antara lain untuk cuti atau tidak masuk saat haid hari pertama, keperluan menikah, menikahkan, mengkhitankan, pembaptisan anak, istri melahirkan/keguguran dalam kandungan hingga adanya anggota keluarga dalam satu rumah yang meninggal dunia.

Outsourcing Semakin Tidak Jelas

Omnibus law membuat nasib pekerja alih daya atau outsourcing semakin tidak jelas karena menghapus pasal 64 dan 65 UU Ketenagakerjaan yang mengatur tentang pekerja outsourcing. Adapun Pasal 64 UU Ketenagakerjaan berbunyi; Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerja kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.

Lihatlah Pasal 65 mengatur;  (1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Ayat (2) mengatur; pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebaga berikut: dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan tidak menghambat proses produksi secara langsung.

Memberikan ruang bagi pengusaha mengontrak seorang pekerja tanpa batas waktu
Omnibus law cipta kerja akan memberikan ruang bagi pengusaha mengontrak seorang pekerja atau buruh tanpa batas waktu.

Ironisnya lagi, UU Cipta Kerja ini menghapus ketentuan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal tersebut mengatur tentang aturan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). PKWT hanya boleh dilakukan paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Itulah isi Omnibus Law Cipta Kerja yang dianggap merugikan pekerja!

Jadi? Di sini Pemerintah dan DPR sudah jelas tidak lagi mau menggunakan Pancasila sebagai dasar untuk membuat UU Cipta Lapangan kerja, sehingga regulasi tersebut semakin jauh dari Industrial Pancasila. Gembar gembor Saya Pancasila justru menjadi ironi, karena praktek berbangsa dan bernegaranya menggunakan liberalisme kapitalisme.

Karena itu, UU Cipta Kerja ini pantas disebut sebagai VOC gaya baru. VOC adalah Vereenigde Oostindische Compagnie, persekutuan dagang Belanda yang memonopoli aktivitas perdagangan di Asia, termasuk Indonesia. Lagi-lagi kita ‘dicengkeram’ kapitalis asing. Wallahu’alam. (*)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry