“Munas tinggal ketok palu, sekedar formalitas belaka. Pakeliran ditutup, wayang dimasukkan kotak sebelum goro-goro penanda dan pemilah kebaikan dan keburukan tergelar sempurna.:

Oleh Anis Ilahi Wahdati

PERHATIAN seluruh keluarga besar Gerakan Pramuka sedang tertuju ke hajatan Munas yang akan berlangsung Desember mendatang di Aceh.

Hal wajar karena Munas merupakan tonggak penting tata kelola Gerakan Pramuka. Segenap kebijakan strategis dan arah baru akan ditetapkan, termasuk pemilihan Ketua Kwarnas yang baru.

Sejak era reformasi pemilihan Ketua Kwarnas menggunakan sistem pemilihan langsung “one vote one delegation”. Sistem pemilihan ini berdampak segregatif, organisasi tidak solid, mandeg dan terbebani konflik internal yang berkepanjangan.

Namun demikian entah mengapa sistem tersebut masih dipertahankan, ditengah harapan banyak pihak agar kembali ke sistem formatur berbasis musyawarah mufakat.

Sistem musyawarah mufakat dianggap lebih sejalan dengan nilai-nilai kepramukaan. Sistem ini juga dianggap paling pas dengan semangat para Pramuka untuk manusia Pancasila, sebagaima tertulis dalam syair hymne Pramuka yang dinyanyikan di setiap acara pramuka.

Kenapa Munas Aceh masih mempertahankan sistem pemilihan langsung, syak wasangkanya karena sistem ini dianggap lebih menjamin kemenangan para pihak yang ingin melanggengkan kekuasaanya. Tentu ini syak wasangka yang wajar terjadi, meski belum tentu benar.

Syak wasangka meski belum tentu benar menjadi makin bulat, ketika Kwarnas melalui surat edaran pengusulan bakal calon Ketua Kwarnas, mensyaratkan satu Kwartir Daerah hanya boleh mencalonkan satu nama. Aturan ini dianggap aneh, karena sepanjang beberapa kali munas sebelumnya setiap Kwarda boleh mengusulkan bakal calon lebih dari satu nama. Usulan semacam ini sudah dianggap sebagai sebuah konvensi.

Edaran dimaksud wajar jika kemudian menjadi bahan diskusi banyak pihak, diinterpretasikan secara liar untuk kemudian juga menimbulkan syak wasangka. Adakah maksud terselubung dari pembatasan ini, apa urgensinya sehingga perlu dilakukan pembatasan, kepentingan siapakah yang perlu diamankan, dan sederet pertanyaan lainnya. Lagi-lagi sebuah syak wasangka kembali merebak. Syak wasangka yang wajar meski belum tentu benar, tapi menarik untuk terus dicermati sampai sang waktu membuka tabir yang sesungguhnya.

Dalam sejarah pemilihan Ketua Kwarnas di era pemilihan langsung, sebenarnya perolehan jumlah suara pada tahap penjaringan bakal calon tidak berkorelasi dengan tingkat keterpilihan.

Ada kandidat yang hanya dicalonkan 1 Kwarda pada tahap penjaringan tapi malah terpilih jadi Ketua Kwarnas, sebaliknya ada kandidat yang diusulkan oleh banyak Kwarda malah kalah dalam pemungutan suara tahap akhir di munas. Itu fakta historis yang terjadi ketika bakal calon dari tiap Kwarda lebih dari satu orang.

Lantas kalau kandidatnya hanya 1 calon, apa yang akan terjadi ? Ada banyak kemungkinan sekaligus ada banyak syak wasangka, yang juga sah-sah saja meski belum tentu sahih.

Mungkin saja dengan usulan hanya 1 nama, maka nama yang diusulkan oleh paling banyak Kwarda pada tahap penjaringan “dianggap atau malah dipaksakan” sudah memenangkan pemilihan, sudah legitimed, sehingga calon yang kalah dukungan “diminta, dipaksa, dirayu” untuk mundur dari percaturan dengan beragam justifikasi.

Munas tinggal ketok palu, sekedar formalitas belaka. Pakeliran ditutup, wayang dimasukkan kotak sebelum goro-goro penanda dan pemilah kebaikan dan keburukan tergelar sempurna.

Kemungkinan kedua Kwarda-kwarda pemilik suara tetap menuntut dilaksanakan pilihan lanjutan di arena munas seperti yang sudah-sudah Jika ini yang terjadi kemungkinan akan deadlock. Justifikasi dan rasionalisasi akan dilontarkan para pihak untuk mempertahankan argumennya masing-masing. Mungkin akan sangat seru meskipun mengingkari azas kepramukaan itu sendiri.

Kemungkinan-kemungkinan diatas sama buruknya dalam perspektif pentingnya keteladanan orang dewasa dalam sebuah lingkungan pendidikan kepramukaan. Kehendak mendahului kersaning Gusti Allah dengan rekayasa kuasa, hanya bisa dilakukan ketika hati nurani ditinggalkan. Keteladanan memang seperti menjadi barang langka. Tragis jadinya !

Banyak jalan jika hanya sekedar ingin berkuasa dan menguasai Gerakan Pramuka. Hanya sedikit jalan itupun berliku dan berpeluh untuk memimpin Gerakan Pramuka dengan segenap problematikanya yang kompleks. Di kelindan nafsu bermuara kekuasaan, di kelindan nurani bertabur kepemimpinan

Jakarta September 2023
Gerakan Kembali ke Hati Nurani

*Anis Ilahi Wahdati adalah Andalan Nasional Gerakan Pramuka.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry