SINGAPURA | duta.co – Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Singapura membantah tuduhan yang dilontarkan sejumlah pejabat Kepolisian RI bahwa mereka menolak rencana kerja sama bilateral di bidang hukum yaitu ekstradisi.

Dalam pernyataannya Minggu (2/3), Kemlu Singapura mengatakan, dua negara sudah menandatangani traktat ekstradisi Singapura-Indonesia, namun justru parlemen Indonesia atau DPR yang hingga sekarang belum meratifikasi.

“Sejumlah artikel mengutip pernyataan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Saiful Maltha bahwa Singapura ‘tidak mau’ bekerjasama dengan Indonesia terkait permintaan Traktrat Ekstradisi dan Kerjasama Hukum Dua Pihak,” bunyi pernyataan tersebut.

“Irjen Saiful mengatakan bahwa Indonesia telah mengirim draft traktat ke Singapura namun tidak mendapatkan jawaban.”

Siaran pers itu juga menyoroti pernyataan Sekretaris NCB Polri Brigjen Nauval Yahya bahwa Singapura ‘mengambangkan’ perjanjian ekstradisi dengan Indonesia karena lebih mementingkan kepentingan negaranya.

Mereka hanya bersedia menyerahkan buronan asal Indonesia jika yang bersangkutan tidak berinvestasi di Singapura, kurang lebih demikian pernyataan Nauval ketika itu.

“Singapura telah dengan jelas menyatakan fakta-fakta terkait masalah itu dalam berbagai kesempatan. Singapura dan Indonesia menandatangani Traktat Ekstradisi dan Perjanjian Kerjasama Pertahanan dalam satu paket pada April 2007 di Bali,” kata Kemlu Singapura.

“Penandatanganan paket itu disaksikan oleh presiden saat itu Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Lee Hsien Loong. Dua perjanjian itu masih menunggu ratifikasi dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Singapura siap melaksanakan dua perjanjian itu begitu Indonesia juga siap melakukannya.”

 

Syarat ‘Minta Pulau’

RI dan Singapura memang telah menandatangani perjanjian ekstradisi pada April 2007, namun kesepakatan itu tidak bisa diimplementasikan karena DPR belum meratifikasi.

Dalam hal ini, DPR tidak bisa disalahkan karena persyaratan yang diajukan Singapura jauh lebih mahal daripada kesediaannya mengembalikan para buronan kriminal ke Indonesia, yang semestinya bisa terlaksana tanpa banyak prosedur demi tata krama regional dan menjaga hubungan baik dua tetangga.

Bahkan ketika itu menjadi pertanyaan di DPR kenapa pemerintahan SBY bersedia meneken perjanjian tersebut dalam sebuah acara di Bali. Apa sebetulnya tuntutan Singapura yang dinilai memberatkan oleh DPR dan para pemerhati masalah hubungan internasional?

Dikutip dari beritasatu, Singapura bersikeras bahwa perjanjian ekstradisi harus satu paket dengan Perjanjian Kerjasama Pertahanan atau Defence Cooperation Agreement (DCA).

DCA ditandatangani oleh Menteri Pertahanan (Menhan) saat itu Juwono Sudarsono dan mitranya dari Singapura, Teo Chee Hean, dengan disaksikan SBY dan Perdana Menteri Lee Hsien Loong.

Implementasi DCA adalah Indonesia meminjamkan wilayah udara, darat, dan maritim untuk latihan militer Singapura, atau latihan militer dua negara, atau latihan militer Singapura dengan negara lain.

Beberapa kesepakatan itu antara lain: (1) Menjadikan Pulau Kayu Ara sebagai tempat latihan menembak bagi Angkatan Laut dua negara. (2) Restorasi dan perawatan infrastruktur serta instrumentasi untuk satu wilayah manuver pertempuran udara di Pekan Baru, yang akan digunakan sebagai tempat latihan tempur dan penyergapan pesawat dari Angkatan Udara dua negara.

(3) Restorasi dan perawatan wilayah persenjataan udara di Pekan Baru, yang akan digunakan untuk latihan menembak udara-ke-darat oleh pesawat-pesawat Angkatan Udara dari dua negara. (4) Ketentuan tentang bantuan teknis Angkatan Laut dan akses ke fasilitas-fasilitas latihan Angkatan Laut.

(5) Pembangunan area latihan Angkatan Darat di Baturaja dan infrastruktur penunjang untuk latihan Angkatan Darat dua negara. (6) Kelanjutan bantuan pelatihan oleh Militer Singapura kepada Tentara Nasional Indonesia dalam bidang latihan simulator dan kursus akademis.

Juga disebutkan, pemerintahan SBY menyetujui klausul dalam perjanjian itu bahwa tempat-tempat latihan dimaksud boleh digunakan oleh Militer Singapura atau Singapore Armed Forces (SAF) bersama dengan militer negara-negara lain yang menjadi mitra Singapura asal atas sepengetahuan Jakarta.

Selain itu, jangka waktu kesepakatan adalah 25 tahun dan setelah tahun ke-13 akan ditinjau ulang setiap enam tahun untuk dilihat apakah layak dilanjutkan atau tidak.

Singapura memang tidak memiliki ruang udara, laut, dan darat yang memadai untuk manuver militernya, sehingga sangat butuh bantuan dari tetangganya. Sementara Indonesia hanya butuh para pencoleng pulang untuk menjalani proses hukum.

Dengan demikian terlihat jelas siapa yang punya posisi tawar lebih tinggi. Tapi dalam kesepakatan itu, terlihat jelas siapa yang mendapat keuntungan lebih tinggi. Karena itu,  DPR belum meratifikasi hingga sekarang, dan mungkin malah tidak akan pernah melakukannya sampai isi kesepakatan itu diubah. hud, net

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry